8.05.2012

LAWAS

HUJAN

Orang salah mengira ketika otaknya bekerja dan berpikir bahwa saat hujan, kita hanya menjadi makhluk lumpuh tanpa daya. Ingat, selalu ada pelangi ketika hujan reda, dan saat menunggunya menjadi waktu yang paling mendebarkan, lebih hebat dari sekedar  menanti benda besi beroda yang tak ada bosan berputar-putar di seputar kota. Pelangi mencul bagai perawan yang masih malu-malu, muda dan anggun, dan perlahan semburatnya menyeringai ketika senja datang -seperti sekarang-. Angin sepoi berhembus dari barat, menggerakan pohon oak dan bakung, mereka menari, fasih bagai tak ada waktu. Saya berdiri tepat di pelataran, hampir bersebelahan dengan bunga anggrek yang terlentang, bergantung pada kokohnya mangga. Simponi rintik air hujan mengalahkan fur elise. Saya beranjak ke dalam, menata jemari kemudian melantun. Sekarang fur elise menderu bersama gerimis, piano klasik bersahabat dengan melodi alam, seolah nada-nada menerjang dan bermain asyik seperti kanak-kanak. Ketika jemari tak bisa menahan laju hasrat, dari pucuk celah jendela, di seberang yang seharusnya jauh, terlihat samara-samar wajah halus. Melodi semakin menerjang tak terhalang. Wajah itu perlahan menipis dan menghilang. Payung marun yang terbawa seolah merona jingga tak pudar-pudar. Love at the first sight, maybe…



doc by www.sangbaco.com



Pagi, halimun bercampur sepoi datang menjenguk kabar. Entah siapa yang memulai, ketika keduanya saling bergumul intim menyerang. Saya hampir kalah tanpa daya. Semburatnya matahari pun sangar nanar tepat di muka, pukul 06.00 WIB kala itu. Sepersekian detik saya amnesia pada diri saya, kehidupan, sekitar, dan apa itu cinta. Haru membiru dan semakin sendu. Sepersekian detik kemudian saya sadar seperti terperanjat, bergegas membaui badan dengan air sabun, dan berpakaian jas kemudian. Eirik dan Erlend pun mendayu dengan dawai gitar mengiringi pagi itu. “...I’d rather dance than talk withyou...”, senandung mistis nan magis. Saya belum sadar benar karena waktu begitu cepat, atau mungkin saya yang akan terlambat bekerja. Duduk berdua dengan secangkir kopi, dan berbagi kisah, saya dengan hari-hari sepi saya, dan “dia” dengan kebanggaannya ketika bertemu jodoh sang gula. “Dia” mengharu, ketika bercerita bahwa “dia” sebelumnya bukan apa-apa kecuali si pahit. Namun, ketika gula yang manis mencintainya, hidup mereka menjadi indah. Perbincangan yang tak berkonklusi berakhir dengan perut saya yang sedikit kembung. Saya berlari terburu-buru. Diruang tamu masih terlihat wajah Mattew yang menyeringai, sayang dia kalender. Saya mendekat padanya dan mencari tahu sebenarnya apa hari ini. Sangat bodoh, bagai dinding yang tertawa malu melihat saya berpakaian rapi di hari Minggu, hari dimana bagi sebagian besar orang spesial karena dapat menghabiskannya dengan orang-orang terkasih, tapi untuk saya si Minggu tak ada bedanya dengan Senin, Selasa, Rabu, dan kawan-kawan. Ketika itu Eirik dan Erlend masih senantiasa bernada, tak bosan memecah kesunyian pagi, saya sekejap berpikir, apa yang akan saya lakukan di hari panjang yang sepi ini, pergi? tidur? membersihkan rumah? Sebenarnya yang saya butuh hanya “something new”.

Bernada tak berirama siang tak terik dan gerimis bergumul. Sebentar tapi membekas, gerimis menghilang diganti pesona mejiku. Pelangi muncul lagi, bagai di langit ketujuh warnanya pudar samar-samar. Masih dengan piano klasik, 5 menit kemudian, berganti dengan gitar tua berdawai nilon. Lentikan jari-jari tak berdosa mulai menghentak, menggugah setan kamar yang tak berpakaian dan lorong-lorong setengah lingkaran dibawah ranjang. Rona kemarin tak hinggap kali ini, bak tak ada anaphalis javanica untuk dihirup dan dipamerkan keabadiannya. Sementara gitar tua itu masih tertawa, kami (saya dan waktu) bergumam pada dingin udara melayangkan buah pikiran kami yang tak kunjung terjawab. Dimana rona kemarin yang berwarna merah jambu dan di kejauhan hitam pekat mengintainya. Tak berselang lama, langkah kaki mungil terdengar rapi. Seperti kaki yang berjajar dan tak tinggi ketika mengangkatnya berjalan. Suara lirih itu mendekat dan semakin dekat. Apa yang berbunyi di jantung? Waktu yang seketika berhenti. Padam dan sunyi.


P.S. Ini adalah tulisan lawas, mungkin tertulis pada pertengahan 2008, berarti sekitar 3 tahun lalu. Paragraf pertama tulisan ini pernah terpampang di blog lama, kemudian dilanjutkan tapi belum sempat di-publish sebelum akhirnya blogger sepertigaakhirmalam.blogspot.com tidak bisa diakses. Tulisan masih dengan diksi yang bikin saya ketawa, jadi jangan sungkan untuk meringis. Hihi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar