10.24.2011

Margabaya, Wonogiri
Pesona Hutan Pinus dan Horisontal Luas

Orang perlu sekali waktu singgah di suatu tempat dengan populasi pinus lebih banyak dari manusia dan lolongan anjing hutan lebih keras dari teriakkan mereka

Panggilan jiwa mendadak memutuskan untuk mencari tempat dengan batas pandang luas. Tidak ada alasan tertentu, hanya bosan dengan tembok persegi kamar yang semakin dilihat semakin merapat, semakin sempit. Sesekali melihat alam dari dekat, mengenali “mereka” lebih jauh, baru kita akan jatuh cinta pada hidup.
Musim hujan mengharuskan persiapan peralatan dan stamina dua kali lebih kuat. Jumat (21/10) itu udara sore hari sangat dingin dan bau aspal basah berkeliaran di jalan. Baru seperempat perjalanan dari Surakarta, tepatnya di Wonosari, Klaten, hujan lebih dulu mengguyur. Namun, bulat tekad masih lebih kuat dari hujan lebat. Perjalanan berlanjut sampai mampir terlebih dahulu membeli parafin, makanan, dan mengambil tenda.
Jarak Surakarta-Wonogiri tidak begitu jauh, dapat ditempuh satu jam bersepeda motor. Tetapi karena harus mengambil jarak memutar ke Klaten dahulu, sampai di Wonogiri sudah maghrib, padahal dari Surakarta sekitar jam 3 sore.
            Hujan tak lagi turun di perjalanan Klaten-Wonogiri, pertanda baik. Sendiri bersepeda dengan membawa gulungan tenda berwarna oranye cukup menyita perhatian orang-orang di jalan. Sebelum itu, sempat ada teman yang bertanya tentang  perjalanan yang dianggapnya akan membosankan karena musim hujan. Gelengan kepala dan senyum yang mengekor cukup menjawab. Naik gunung hingga puncak, garis batas pandang luas, dingin yang diusir matahari terbit, itu semua hanya kita dapat di gunung.
            Jalanan beton pun habis, terlihat rumah warga jarang, sepi dan tenang, khas kaki gunung. Kami yang akhirnya berempat memutuskan untuk menitipkan sepeda motor di salah satu hunian warga. “Mangga, silakan, Mas,” ujar pemilik rumah yang dengan senang hati menerima banteng-banteng besi kami.

Susur Hutan Pinus
            Perjalanan sekitar 2 jam dimulai dengan beberapa keluhan akibat badan yang kurang fit. Dengan bantuan obat-obatan perjalanan terus berlanjut melewati sawah-sawah warga dengan tekstur terasering hingga akhirnya sampai di hutan pinus. Di hutan tersebut terlihat jejak-jejak warga yang tergambar dari ratusan wadah yang menganga di bawah ratusan pohon pinus. Ada sebuah rumah kecil buatan manusia yang digunakan untuk ngaso ketika mereka merasa lelah memungut getah pinus. Beberapa wadah terisi penuh, beberapa kosong. Ada yang sudah mengental padat, ada yang bercampur air hujan, tetapi masih kental bau hutan pinusnya.
            Beberapa meter naik hutan pinus, jalan setapak tak terlihat. Seorang dari kami yang pernah naik sebelumnya bercerita tentang pohon jati sebagai tanda bahwa jalan sudah benar. Maklum saja, tanpa kompas, tanpa rasi bintang, hanya pohon jati itu pembimbing kami. Hujan gerimis pun menghiasi pencarian pohon jati. Setelah pencarian bermenit-menit akhirnya muncul juga suara keras. “Ketemu!” teriak salah satu dari kami. Pertanda baik, pertanda perjalanan boleh berlanjut.


Tenda Berdiri
            Sampai di tempat datar dengan puncak beberapa meter lagi, tenda didirikan. Pintu tenda menghadap tenggara, tepat di depan kami Waduk Gajah Mungkur. Lampu kota Kabupaten Wonogiri terlihat berkedip seolah menjadi refleksi dari jutaan bintang yang mulai terlihat seusai gerimis. Kami berdiskusi, beberapa kali turun mencari kayu bakar dan tebangan pohon sebagai penghangat badan, minum kopi panas, memasak masakan mewah khas pendaki gunung. Kami menanti pagi dan sesuatu yang ditawarkan dari puncak Margabaya.
            Pagi merapat, matahari tampak cerah. Kami memutuskan meninggalkan tenda sejenak untuk mulai mencari tahu keajaiban puncak Margabaya. Jalan lebih sulit dari pendakian awal, selain karena kemiringan lebih tinggi, juga licin karena girimis malam sebelumnya. Berhati-hati kami sampai tebing tempat puncak berada. Pendakian harus berlanjut dengan kebutuhan akan kehatia-hatian yang sangat, pasalnya sekali jatuh, jurang menanti. Berperalatan keberanian, pendakian dimulai dengan satu batu tebing di tangan, kemudian yang lain sebagai panjatan kaki. Seperti merangkak horizontal, kami memanjat. Tebing tersebut tidak terlalu berbahaya. Hanya beberapa menit, akhirnya sampai di puncak, puncak Gunung Margabaya.

Pencerahan di Puncak
Jarak pandang luas terhampar hijau. Dari puncak terlihat Gunug Gambar dan beberapa gunung lain tersebar di seberang. Pandangan jauh lebih baik dari melihat tembok rutinitas saat orang-orang berbicara tentang baik buruk, berbicara tentang benar salah. Batas pandang yang cukup untuk merenungkan kembali sekecil apa manusia di alam semesta, cukup untuk menyadari betapa sombong dan angkuh hingga terpaku pada satu masalah, terlebih dengan sesama manusia. Margabaya menawarkan kedekatan yang intim dengan alam. Saat langit biru dan hijau pinus terhampar, serta arakan awan menabrak, kita akan tahu hidup bukan tentang penyesalan, hidup adalah tentang menghargai alam, menghargai sesama manusia.
            Perenungan mistis pun usai. Perjalanan berlanjut kembali ke tenda, segera mengemas semua peralatan, dan siap turun menghadapi rutinitas dengan semangat menyesaki dada. Kami melewati lagi hutan pinus yang kali ini lebih indah karena mereka memantulkan cahaya hingga ke retina. Dibanding malam yang gelap, kali ini lebih memukau. “Mereka” seperti segerombolan raksasa tetapi meneduhkan. Satu sama lain berjarak tetapi bersama-sama menghidupi manusia. Terima kasih Maha Pengasih telah dengan senang hati menciptakan dunia dan isinya.
            Di perjalanan turun, sesekali kami iseng untuk adu sprint. Tidak kaget apabila sampai di bawah kami mengeluhkan sendi-sendi kami yang kelelahan. Namun, kelelahan adalah bagian ritual dari mendaki gunung. Ritual yang akan lebih jauh membawa dampak baik bagi si sombong rutinitas.
            Tiba di rumah warga kami mengambil tunggangan masing-masing. Tanpa lupa terima kasih dan sedikit rejeki untuk rumah tangga yang kendaraan kami singgahi, kami resmi pulang. Pulang dengan harapan besar atas semangat menghadapi sehari-hari, terlebih hidup. Manusia masing-masing, kita hanya perlu saling menghargai dan mengasihi. Tidak ada yang disebut kekurangan bila kita mau berbagi.




hutan pinus:








tenda meraung:







mendaki:






puncak Margabaya:






(cengik's doc)

10.06.2011

SESUATU TANPA TEORI




Pernah suatu ketika seorang guru fisika SMA kota ternama memulai pagi dengan mengajar muridnya. Vektor, skala, hukum Newton, Kirchoff, tekanan Archimedes, bla bla bla. Di setiap kelasnya, seperti hari itu, ia tak lupa mengajarkan hakekat ilmu bahwa jika ingin mengenal ilmu, orang harus mau tahu alasan sesuatu itu berada. Namun, hari itu hari beda. Ia mulai membicarakan hal-hal diluar pakem kebiasaan. Lebih tepatnya ia berbicara tentang metafisika. Ia menjabarkan sesuatu yang tak ditangkap nalar, sesuatu yang irasional. Di akhir kalimatnya, terkutip kalimat manis. “Namun, sebenarnya di dunia ini ada beberapa hal yang tak perlu ditanyakan alasannya. Orang tak perlu tahu, tak perlu mengerti. Cukup yakin saja”. Kalimat yang cakupannya luas, tak hanya metafisika.

Sesuatu irasional seperti ketika jatuh dan tak tahu cara untuk berdiri. Ketika kamu bingung menentukan pilihan dan yang paling bedebah adalah bahwa sebenarnya kamu tak punya pilihan. Duduk sendiri di teras rumah, minum kopi buatan sendiri, menjepit kretek diantara jari telunjuk dan jari manis. Terus diulang setiap pagi, setiap hari.

Pertanyaannya adalah apakah kamu benar-benar merasakan sukacita? Atau kamu hanya menatap dengan topeng muram segala kejadian di depan pagar rumahmu? Kecelakaan, gurauan tukang jamu, bel sepeda pak pos, ibu-ibu berangkat ke Balai Desa. Ada hal-hal yang tak perlu alasan seperti kenapa kamu mau melakukan itu sepanjang hari.
Manusia butuh berjemur matahari. Manusia butuh berkejaran di halaman rumah. Manusia butuh itu. Manusia bukan makhluk otonom. Ia bukan robot. Sayang, semua hanya teori.

Teori yang terkontruksi pada pola pikir itulah yang menyebabkan manusia stagnan. Orang jatuh cinta tak akan peduli jauhnya jarak. Yakin, ia tak akan tahu alasan kenapa ia tak peduli. Ibu akan membela anaknya mati-matian walaupun jelas anaknya seorang maling. Ia membela juga tanpa alasan. Ada sesuatu dari mereka yang membuat mereka betah melakukannya. Rasa sayang? Suka? Apa kamu benar-benar suka melakukannya? Pilihan itu hanya untuk orang-orang normal yang otaknya terkonstruksi pakem tadi. Dunia ini terlalu gila untuk ditinggali orang-orang normal.

Dan pada dasarnya semua orang tahu apa yang mereka butuhkan, apa yang harus mereka lakukan. Tak perlu dilisankan, tak perlu jadi ikrar, sumpah, apalagi janji. Toh, keikhlasan turun temurun juga tanpa ikrar. Seperti kata orang jaman dulu, “ikhlas bukan ikhlas kalau diikrarkan”. Ikhlas datang dari sanubari. Peduli setan orang tahu atau tidak.

Orang hanya perlu melakukan apa yang ingin ia lakukan, selama itu benar-benar datang dari intuisi. Pembunuh sekeji apapun yakin tak mau jika disuruh membunuh ibunya. Penjahat sekeji apapun pasti tak mau mati, jasadnya tak ditemukan, dan ruhnya masuk neraka. Pastilah ia tak mau. Orang-orang yang mau melakukannya hanyalah orang yang tak pernah mau mendengar perkataan sang intuisi. Ia tak ubahnya orang-orang normal yang melakukan kebiasaan hidup. Lahir, mendapat pekerjaan, menikah, punya anak-cucu, mati. Intuisi sebenarnya jauh lebih sastrawi dari bunyinya. Intuisi yang akan menuntun seseorang melakukan sesuatu tanpa alasan. Hidup bukan matematika, hidup bukan teori.

Dan dunia ini, hidup ini, lebih layak disebut tanpa teori.