10.24.2012

Pak Poniman, Potret Guru yang Tersisa di Zamannya





Tiap pagi dia mengayuh pedal sepeda tuanya melewati pematang sawah dan jalan kota. Keringatnya tak terlihat karena sapu tangan biru tua selalu berada di tempatnya, saku kanan bajunya. Penampilannya mungkin sudah tua untuk mengajar, tapi otot-otot di lengannya masih terlihat kokoh menggoreskan kapur di papan tulis. Saban hari kecuali Minggu dia lakukan rutinitas itu yang baginya mirip olahraga. Bukan hanya olahraga fisik, tapi juga mental. Dia yang bernama Poniman, seorang guru SD Negeri yang sekilas sama dengan guru-guru lain. Tapi coba lihat dia seksama, dia berbeda, dia langka, dia… potret guru yang tersisa di zamannya.

Saya kelas 6 SD ketika mendapatkan sosok orang ini sebagai wali kelas. Hari pertama masuk sekolah dan belum terbayang siapa sosok Pak Poniman. Hanya desas-desus tentang cara mengajar yang berbeda dari guru kelas 1 hingga kelas 5 yang lalu. Di tahun 2001, anak SD masih banyak yang berjalan kaki, termasuk saya. Saya biarkan kaki saya yang menuntun, menunjukkan arah sekolah. Dan 10 menit setelah saya menaruh tas di kelas baru, bel masuk berbunyi, pertanda kelas baru, kelas yang desas-desusnya berbeda, akan segera dimulai.

Pak Poniman, nama yang dia sebut ketika memperkenalkan diri. Dia mulai mengajar IPA dasar, Bahasa Inggris, Matematika, semuanya. Hingga bel pulang berbunyi saya sadar satu hal. Dia memang berbeda, sangat berbeda. Perbedaan itu ketara terlihat. Tak ada yang bisa ditutupi, karena memang dia berbeda. Bukan, dia bukan alien. Dia beda karena dia disiplin.

Ketika keluar kelas, halaman sekolah sudah tak bersuara. Suasananya terlalu hening untuk ukuran pulang sekolah. Suasana yang tak pernah saya temui di kelas 1 sampai kelas 5. Ketika semua siswa kelas 1 sampai 5 pulang lebih awal karena guru mereka yang malas mengajar, Pak Poniman masih suka cita menerangkan saluran pernafasan makhluk hidup. Di saat semua siswa kelas 1 sampai 5 sering kosong ditinggal guru mereka, Pak Poniman masih berapi-api menjelaskan rumus luas dan keliling. Ketika guru-guru lain sudah menyalakan motor dan membayangkan makan siang di rumah bersama anak dan istri, Pak Poniman masih sibuk di ruang guru, mengoreksi pekerjaan rumah anak didiknya.

Guru yang lain seperti acuh tak acuh terhadap siswanya. Korupsi waktu, iya korupsi waktu. Saya baru sadar saat ini, setelah 10 tahun berpisah dengan masa SD. Bahwa guru kelas 1 sampai kelas 5 lebih banyak meninggalkan siswa-siswanya ketika jam pelajaran. Pernah saya melihat guru saya saat kelas 4 meninggalkan jam pelajaran untuk membeli sayuran di depan sekolah. Waktu belajar kita dianggap tidak lebih penting dari waktu memikirkan akan makan siang apa hari ini. Saya baru sadar, bahwa semua bentuk korupsi yang ada di Indonesia, semua kelemahan jiwa, semua hal yang mengagungkan kepentingan uang, semuanya, di mulai dari hal kecil, termasuk korupsi waktu.

Dan Pak Poniman, terlepas dari apapun, telah mengajarkan bahwa yang sedikit tapi benar akan lebih terasa karena hal itu memang hal yang baik, hal yang bermuara dalam hati. Kerja kerasnya mengayuh sepeda, perjuangannya mementingkan pendidikan siswanya dengan tak meninggalkan kelas dan membubarkan kelas sesuai jadwal. Semua hal itu mengajarkan saya bahwa kebaikkan memang harus diajarkan sejak dini. Iya, sejak jauh-jauh hari agar tak ada kata “menyesal” yang mengekor setelahnya.

Semoga Bapak masih setia dengan sepeda tua, baju resmi, sapu tangan di kantong kanan, tangan putih karena kapur, dan… kedisiplinan.

...
Tulisan di atas menggambarkan bagaimana korupsi menjadi model didikan sejak kecil. Tak usah ditanya lagi bahayanya. Korupsi bukan lagi seperti ranjau yang meledak jika diinjak, tapi sudah seperti bom nuklir yang imbasnya terasa selamanya. Didikan yang salah sejak kecil akan melemahkan mental ketika dewasa. Contohnya korupsi waktu di atas. Dan oleh sebab itu perlu orang orang seperti Pak Poniman yang walaupun dia sendirian, dia minoritas, selama dia yakin benar akan tindakannya dia terus maju. Peduli setan orang bicara jelek dibelakangnya.

Produk sejak kecil yang salah ini yang seharusnya tidak kita biarkan. Guru-guru SD, orang tua, lingkungan sosial harus membentuk mental yang baik sejak masa kanak-kanak. Jangan biarkan praktek korupsi yang berbentuk apapun mengendap di otak anak-anak kita. Biarlah yang tua yang korupsi, maka yang muda yang harus berubah. Tentu saja, berubah ke arah lebih baik. Selama harapan itu ada kita masih boleh bernapas lega. Mengutip kata orang “Tidak ada harapan untuk abadi di dunia ini, kecuali harapan itu sendiri”. Sekian.

10.11.2012

ami



"Kenalkan! Semuanya, ini kedua teman baikku! Teman baikku, ini semuanya!"

      Aku panggil yang pertama, baik. Walaupun sebenarnya tidak ada yang pertama, kedua atau ketiga. Kita sama. Tentang temanku si baik, banyak yang aku tahu tapi sedikit yang bisa dideskripsikan dengan huruf alfabet. Wajahnya tidak jelek untuk ukuran anak muda. Hanya saja ia selalu mengenakan kemeja garis lengan panjang. Aku tak tahu dia punya berapa kemeja. Mungkin banyak, karena setiap kali kita lakukan ritual itu ia pasti tengah mengenakan kemeja garis lengan panjang. Satu lagi, buruk. Wajahnya juga tak jelek untuk ukuran anak muda. Ia selalu kenakan kaos tanpa kerah. Warnanya selalu putih. Entah aku juga tidak tahu kenapa ia selalu kenakan kaos putih. Mungkin ia juga punya banyak. Sedikit mengenai si buruk, ia selalu membuka perbincangan. Seperti kemarin saat kita berbincang seperti biasa, si buruk membuka pembicaraan mengenai awan tebal aneh yang muncul hari sebelumnya. Ia menduga itu adalah asap UFO. Si buruk memang selalu mengaitkan sesuatu dengan hal-hal yang tidak masuk akal, tapi menyenangkan. Ya, ritual itu juga si buruk yang mengusulkan. Dan malam ini seharusnya kami bertiga sudah duduk membentuk segitiga di puncak bukit yang ada di tengah kota. Aku, baik, dan buruk.