11.18.2011

THE PAST


Ceceran II
SATUTAHUN

Satu tahun ini tak bisa didefinisikan. Terlalu rumit. Satu tahun juga bukan waktu yang sebentar, bukan kalau durasi di bawah alam sadar tak berfungsi dengan benar. Waktu yang cukup untuk membuat pelangi yakin ia berjodoh dengan langit, rokok dengan kopi, adam dengan hawa.

Kisah ini tentang si anonim yang terlambat tahu kalau sebenarnya ia bukan tanpa nama. Kurang lebih setahun lalu.

Suatu waktu ia bertemu orang yang nantinya ia percayai sebagai orang paling asing. Orang ini yang ia tak kenal tetapi terasa intim, yang ia tak pernah tahu tetapi terasa akrab. Mereka bisa bahas topik sama hingga beberapa hari dengan diam. Mereka saling kenal dengan diam. Diam.

Satu sisi diam emas, sisi lain sampah. Ia akan terbiasa dengan diam. Diam bukan sekedar tidak melakukan apa-apa. Diam juga berarti tahu apa yang seharusnya ia lakukan, tetapi ia pilih diam.

Ia yakin diam ini sampah. Kehilangan sesuatu. Harapan. Tetapi penyakit tak sampai di situ. Semua ini rentetan, seperti endemik virus tanpa pembasmi.

Saat ia kehilangan, saat yang sama ia sadar kalau sangat membutuhkan. Motivasi, harapan, atau tanpa keduanya. Ia sadar hidup tak selalu tentang pilihan. Ada kalanya harus menerima takdir. Takdir. Atau mungkin ini hanya kebetulan. Ya, hanya kebetulan. Lalu apa bedanya? Keduanya dipaksa jalan oleh si keras kepala waktu.

11.12.2011

THE PAST

Ceceran I



SUATU WAKTU




     Rona, seperti pipinya yang kian merona. Satu per satu ia buka lembar hari. Sabar, lembar per lembar. Perlahan ia tapak satu kakinya ke depan belajar jalan. Hingga sekarang, lihatlah ia telah lincah berjalan. Kadang sesekali ia berlari, berjinjit, bahkan memutar. Seperti balerina, ia manis dan magis.
     Si payah cukup puas dengan hanya melihatnya tiap pagi, meski dari pojok ruang. Tiap kali melihat Rona tiap kali pula ia menulis. Tulisan yang baginya hidup mati. Tulisan yang tak pernah terbaca. Hanya ia dan diam yang tahu.
     Hari semakin dewasa, Rona semakin merona. Kini ia sangat tinggi. Benar, bunga itu kini mekar, tanpa sendu. Ia lebih ceria sekarang. Seceria pagi tanpa kabut dan siang tanpa terik.
     Setiap hari si payah tak bosan menjadi penonton di kursi paling pojok. Ia hanya melihat, lalu pulang. Menulis, lalu hilang. Hanya sesekali ia tunggu ruang sepi. Kemudian diam-diam ia berdiri tepat di tempat Rona beraksi. Ia rasakan jejaknya, ia kuntit harumnya.
     373 hari waktu bertambah dewasa. Tak ada yang berubah hingga akhirnya si payah sadar satu hal. Rona hanya ilusi ketika ia mati. Pagi tadi ia dapat kabar Rona tenggelam. Seketika Rona tiada tanpa tanda.
     Si payah terpukul sejadi-jadinya. Ia sedih sehebat-hebatnya. Kini tak ada lagi yang ia tunggu tiap pagi. Tak ada gerutu untuk ia tulis. Semua satu warna, blur, tanpa fokus.
     Hari terpaksa berganti tempat dengan hari lain. Si payah masih terpaksa diam. Pikirnya coba ulangi dari awal. Ia tak sadar hingga ia tak temukan tulisannya dulu. Ia juga tak temukan ruang dimana tiap pagi ia duduk di pojok sembari melihat Rona menari. Ini apa? Semua seperti tak sadar ratusan hari. Tidur yang saking lelapnya hingga lupa ini sebuah..?? Mentok pada kata itu, "sebuah". Lalu ini apa?
     Si payah terbangun, ia sadar satu hal. Ia sadar bahwa ia hidup di ruangan yang lebih luas. Ruangan yang semua tak selalu berjalan seperti yang ia inginkan. Inilah relitas, dimana sebenarnya manusia tinggal bersama waktu.
     Ia temukan masalahnya, waktu. Sekuat tenaga pada akhirnya sisa usia ia habiskan untuk membuat semacam mesin waktu. Ia bisa loncat ke sana kemari. Sesuka hati ia lahirkan Rona lagi. Kali ini ia tak sabar. Ada sesuatu yang ingin meluap, seperti bah siap luluh-lantakkan ribuan desa.
     Sebentar, ia tetap gagal. Apanya yang salah? Si payah lupa sesuatu. Ada hal yang tak terjangkau, bahkan oleh waktu sekalipun. Benar, perasaan.

10.24.2011

Margabaya, Wonogiri
Pesona Hutan Pinus dan Horisontal Luas

Orang perlu sekali waktu singgah di suatu tempat dengan populasi pinus lebih banyak dari manusia dan lolongan anjing hutan lebih keras dari teriakkan mereka

Panggilan jiwa mendadak memutuskan untuk mencari tempat dengan batas pandang luas. Tidak ada alasan tertentu, hanya bosan dengan tembok persegi kamar yang semakin dilihat semakin merapat, semakin sempit. Sesekali melihat alam dari dekat, mengenali “mereka” lebih jauh, baru kita akan jatuh cinta pada hidup.
Musim hujan mengharuskan persiapan peralatan dan stamina dua kali lebih kuat. Jumat (21/10) itu udara sore hari sangat dingin dan bau aspal basah berkeliaran di jalan. Baru seperempat perjalanan dari Surakarta, tepatnya di Wonosari, Klaten, hujan lebih dulu mengguyur. Namun, bulat tekad masih lebih kuat dari hujan lebat. Perjalanan berlanjut sampai mampir terlebih dahulu membeli parafin, makanan, dan mengambil tenda.
Jarak Surakarta-Wonogiri tidak begitu jauh, dapat ditempuh satu jam bersepeda motor. Tetapi karena harus mengambil jarak memutar ke Klaten dahulu, sampai di Wonogiri sudah maghrib, padahal dari Surakarta sekitar jam 3 sore.
            Hujan tak lagi turun di perjalanan Klaten-Wonogiri, pertanda baik. Sendiri bersepeda dengan membawa gulungan tenda berwarna oranye cukup menyita perhatian orang-orang di jalan. Sebelum itu, sempat ada teman yang bertanya tentang  perjalanan yang dianggapnya akan membosankan karena musim hujan. Gelengan kepala dan senyum yang mengekor cukup menjawab. Naik gunung hingga puncak, garis batas pandang luas, dingin yang diusir matahari terbit, itu semua hanya kita dapat di gunung.
            Jalanan beton pun habis, terlihat rumah warga jarang, sepi dan tenang, khas kaki gunung. Kami yang akhirnya berempat memutuskan untuk menitipkan sepeda motor di salah satu hunian warga. “Mangga, silakan, Mas,” ujar pemilik rumah yang dengan senang hati menerima banteng-banteng besi kami.

Susur Hutan Pinus
            Perjalanan sekitar 2 jam dimulai dengan beberapa keluhan akibat badan yang kurang fit. Dengan bantuan obat-obatan perjalanan terus berlanjut melewati sawah-sawah warga dengan tekstur terasering hingga akhirnya sampai di hutan pinus. Di hutan tersebut terlihat jejak-jejak warga yang tergambar dari ratusan wadah yang menganga di bawah ratusan pohon pinus. Ada sebuah rumah kecil buatan manusia yang digunakan untuk ngaso ketika mereka merasa lelah memungut getah pinus. Beberapa wadah terisi penuh, beberapa kosong. Ada yang sudah mengental padat, ada yang bercampur air hujan, tetapi masih kental bau hutan pinusnya.
            Beberapa meter naik hutan pinus, jalan setapak tak terlihat. Seorang dari kami yang pernah naik sebelumnya bercerita tentang pohon jati sebagai tanda bahwa jalan sudah benar. Maklum saja, tanpa kompas, tanpa rasi bintang, hanya pohon jati itu pembimbing kami. Hujan gerimis pun menghiasi pencarian pohon jati. Setelah pencarian bermenit-menit akhirnya muncul juga suara keras. “Ketemu!” teriak salah satu dari kami. Pertanda baik, pertanda perjalanan boleh berlanjut.


Tenda Berdiri
            Sampai di tempat datar dengan puncak beberapa meter lagi, tenda didirikan. Pintu tenda menghadap tenggara, tepat di depan kami Waduk Gajah Mungkur. Lampu kota Kabupaten Wonogiri terlihat berkedip seolah menjadi refleksi dari jutaan bintang yang mulai terlihat seusai gerimis. Kami berdiskusi, beberapa kali turun mencari kayu bakar dan tebangan pohon sebagai penghangat badan, minum kopi panas, memasak masakan mewah khas pendaki gunung. Kami menanti pagi dan sesuatu yang ditawarkan dari puncak Margabaya.
            Pagi merapat, matahari tampak cerah. Kami memutuskan meninggalkan tenda sejenak untuk mulai mencari tahu keajaiban puncak Margabaya. Jalan lebih sulit dari pendakian awal, selain karena kemiringan lebih tinggi, juga licin karena girimis malam sebelumnya. Berhati-hati kami sampai tebing tempat puncak berada. Pendakian harus berlanjut dengan kebutuhan akan kehatia-hatian yang sangat, pasalnya sekali jatuh, jurang menanti. Berperalatan keberanian, pendakian dimulai dengan satu batu tebing di tangan, kemudian yang lain sebagai panjatan kaki. Seperti merangkak horizontal, kami memanjat. Tebing tersebut tidak terlalu berbahaya. Hanya beberapa menit, akhirnya sampai di puncak, puncak Gunung Margabaya.

Pencerahan di Puncak
Jarak pandang luas terhampar hijau. Dari puncak terlihat Gunug Gambar dan beberapa gunung lain tersebar di seberang. Pandangan jauh lebih baik dari melihat tembok rutinitas saat orang-orang berbicara tentang baik buruk, berbicara tentang benar salah. Batas pandang yang cukup untuk merenungkan kembali sekecil apa manusia di alam semesta, cukup untuk menyadari betapa sombong dan angkuh hingga terpaku pada satu masalah, terlebih dengan sesama manusia. Margabaya menawarkan kedekatan yang intim dengan alam. Saat langit biru dan hijau pinus terhampar, serta arakan awan menabrak, kita akan tahu hidup bukan tentang penyesalan, hidup adalah tentang menghargai alam, menghargai sesama manusia.
            Perenungan mistis pun usai. Perjalanan berlanjut kembali ke tenda, segera mengemas semua peralatan, dan siap turun menghadapi rutinitas dengan semangat menyesaki dada. Kami melewati lagi hutan pinus yang kali ini lebih indah karena mereka memantulkan cahaya hingga ke retina. Dibanding malam yang gelap, kali ini lebih memukau. “Mereka” seperti segerombolan raksasa tetapi meneduhkan. Satu sama lain berjarak tetapi bersama-sama menghidupi manusia. Terima kasih Maha Pengasih telah dengan senang hati menciptakan dunia dan isinya.
            Di perjalanan turun, sesekali kami iseng untuk adu sprint. Tidak kaget apabila sampai di bawah kami mengeluhkan sendi-sendi kami yang kelelahan. Namun, kelelahan adalah bagian ritual dari mendaki gunung. Ritual yang akan lebih jauh membawa dampak baik bagi si sombong rutinitas.
            Tiba di rumah warga kami mengambil tunggangan masing-masing. Tanpa lupa terima kasih dan sedikit rejeki untuk rumah tangga yang kendaraan kami singgahi, kami resmi pulang. Pulang dengan harapan besar atas semangat menghadapi sehari-hari, terlebih hidup. Manusia masing-masing, kita hanya perlu saling menghargai dan mengasihi. Tidak ada yang disebut kekurangan bila kita mau berbagi.




hutan pinus:








tenda meraung:







mendaki:






puncak Margabaya:






(cengik's doc)

10.06.2011

SESUATU TANPA TEORI




Pernah suatu ketika seorang guru fisika SMA kota ternama memulai pagi dengan mengajar muridnya. Vektor, skala, hukum Newton, Kirchoff, tekanan Archimedes, bla bla bla. Di setiap kelasnya, seperti hari itu, ia tak lupa mengajarkan hakekat ilmu bahwa jika ingin mengenal ilmu, orang harus mau tahu alasan sesuatu itu berada. Namun, hari itu hari beda. Ia mulai membicarakan hal-hal diluar pakem kebiasaan. Lebih tepatnya ia berbicara tentang metafisika. Ia menjabarkan sesuatu yang tak ditangkap nalar, sesuatu yang irasional. Di akhir kalimatnya, terkutip kalimat manis. “Namun, sebenarnya di dunia ini ada beberapa hal yang tak perlu ditanyakan alasannya. Orang tak perlu tahu, tak perlu mengerti. Cukup yakin saja”. Kalimat yang cakupannya luas, tak hanya metafisika.

Sesuatu irasional seperti ketika jatuh dan tak tahu cara untuk berdiri. Ketika kamu bingung menentukan pilihan dan yang paling bedebah adalah bahwa sebenarnya kamu tak punya pilihan. Duduk sendiri di teras rumah, minum kopi buatan sendiri, menjepit kretek diantara jari telunjuk dan jari manis. Terus diulang setiap pagi, setiap hari.

Pertanyaannya adalah apakah kamu benar-benar merasakan sukacita? Atau kamu hanya menatap dengan topeng muram segala kejadian di depan pagar rumahmu? Kecelakaan, gurauan tukang jamu, bel sepeda pak pos, ibu-ibu berangkat ke Balai Desa. Ada hal-hal yang tak perlu alasan seperti kenapa kamu mau melakukan itu sepanjang hari.
Manusia butuh berjemur matahari. Manusia butuh berkejaran di halaman rumah. Manusia butuh itu. Manusia bukan makhluk otonom. Ia bukan robot. Sayang, semua hanya teori.

Teori yang terkontruksi pada pola pikir itulah yang menyebabkan manusia stagnan. Orang jatuh cinta tak akan peduli jauhnya jarak. Yakin, ia tak akan tahu alasan kenapa ia tak peduli. Ibu akan membela anaknya mati-matian walaupun jelas anaknya seorang maling. Ia membela juga tanpa alasan. Ada sesuatu dari mereka yang membuat mereka betah melakukannya. Rasa sayang? Suka? Apa kamu benar-benar suka melakukannya? Pilihan itu hanya untuk orang-orang normal yang otaknya terkonstruksi pakem tadi. Dunia ini terlalu gila untuk ditinggali orang-orang normal.

Dan pada dasarnya semua orang tahu apa yang mereka butuhkan, apa yang harus mereka lakukan. Tak perlu dilisankan, tak perlu jadi ikrar, sumpah, apalagi janji. Toh, keikhlasan turun temurun juga tanpa ikrar. Seperti kata orang jaman dulu, “ikhlas bukan ikhlas kalau diikrarkan”. Ikhlas datang dari sanubari. Peduli setan orang tahu atau tidak.

Orang hanya perlu melakukan apa yang ingin ia lakukan, selama itu benar-benar datang dari intuisi. Pembunuh sekeji apapun yakin tak mau jika disuruh membunuh ibunya. Penjahat sekeji apapun pasti tak mau mati, jasadnya tak ditemukan, dan ruhnya masuk neraka. Pastilah ia tak mau. Orang-orang yang mau melakukannya hanyalah orang yang tak pernah mau mendengar perkataan sang intuisi. Ia tak ubahnya orang-orang normal yang melakukan kebiasaan hidup. Lahir, mendapat pekerjaan, menikah, punya anak-cucu, mati. Intuisi sebenarnya jauh lebih sastrawi dari bunyinya. Intuisi yang akan menuntun seseorang melakukan sesuatu tanpa alasan. Hidup bukan matematika, hidup bukan teori.

Dan dunia ini, hidup ini, lebih layak disebut tanpa teori.

9.30.2011

Catatan Sederhana




Kamu selalu mengatakan pelan yang kamu rasakan. Seperti bau vanilla yang biasa tercium dari sela sela pikiranmu. Membatu keras mengerak. Bahwa hidup ini sederhana, sangat sederhana. Pintu untuk keluar, kaki untuk berlari ke halaman, suara untuk teriak keras-keras, dan tawa untuk gembira. Kita bersenang-senang saat itu. Kemudian di bawah pohon ekaliptus yang aneh yang tumbuh persis dua meter dari pagar rumah kamu tanam sebuah kotak. “Ini kotak luar biasa,” katamu. Aku mengangguk, tak mengerti apa yang kamu katakan, apa yang kamu tanam. Kita sepakat untuk menandainya dengan batu dan merahasiakannya.

“Aku senang,” katamu sebelum meninggalkan kota jingga ini. Aku ingat benar tanganmu melambai seperti tersihir dan matamu merah menahan jejal air mata. Itu terakhir kali aku melihatmu, di kereta malam di stasiun kota.

Bau vanilla yang tercium setiap pagi, saat tetangga membuat minuman penuh harapan itu, kopi susu vanilla. Gelak tawamu masih riuh ditelinga mengantarku penuh semangat ikut membuat secangkir kopi susu vanilla. Tentu di dapurku pribadiku sendiri. Tertanggal 9 September 2011, tepat 10 tahun aku tidak melihatmu berlarian memutari ekaliptus depan rumah. Asal kamu tahu, ekaliptus itu masih kokoh ditempatnya. Tentu, dia bukan pohon bambu yang mudah goyah diterpa badai. Batu dibawahnya juga masih sebesar dan seberat dulu, masih manis. Sampai sekarang aku tak tahu apa yang tersembunyi di bawahnya, di dalam kotak merah persegi.

Orang tuaku sudah meninggal 5 tahun lalu. Mungkin kamu sudah tahu dari mulut orang-orang kota. Orang tuaku cukup punya nama di kota ini. Mereka yang membuat jembatan penghubung dengan kota seberang. Kita masih mungil kala itu. masih berkejaran di sepanjang sungai. Mencari ikan, menyobek daun bambu untuk kita jadikan kapal. Lihat, kapal kita saling terjang! Dan kita tertawa melihatnya.

Dengan menyesal, kamu harus tahu kini aku hidup mandiri bergantung pada upah bulananku bekerja untuk majalah kota. Majalahnya sederhana yang jauh dari politik. Aku tak suka politik, aku lebih suka kebenaran yang dibungkus dengan kertas sederhana, warna-warni. Itu yang kamu ajarkan.
Tengah malam. Waktu cepat berlalu seingatku. Pimpinan redaksi memintaku untuk melakukan perjalanan di negara lain. Betapa terkejutnya, itu negara yang kamu singgahi sementara aku menunggu di bawah ekaliptus.

Matahari hangat meruncing tepat dimataku. Ah, terpaksa memicing. Meraba-raba jalan kemudian menemukan pintu. Aku bersemangat menemukan pintu. Ya, pintu. Benda sederhana untuk keluar dengan sederhana. Aku semakin ingat kata-katamu untuk membayangkan kamarku tak berpintu dan aku terpenjara di dalamnya. Saat itu aku jawab, “pintu bukan satu-satunya. Akan kugempur tembok”. Kamu hanya tersenyum membayangkan tubuh kurusku mengangkat palu setengah ton. “Mulailah dari pintu. Kamu akan lihat betapa menariknya dunia,” serumu.

Percaya atau tidak, kali ini aku membayangkan kita bertemu di kota asing. Kamu bercerita tentang 10 tahunmu. Tentang jalan-jalan di sana, tentang sebuah lembah yang hanya kita yang tahu. Aku dengan kedua telinga kecilku berjalan satu langkah di belakangmu. Mendengarkan dengan seksama kamu berceloteh. Yakinlah, aku akan mendengarkanmu baik-baik. Aku tak pernah mau kamu kecewa karena aku tak menoleh ketika namaku kamu sebut. Sederhana.

Pukul tujuh pagi, di bandara kota. Aku menunggu pesawatku. Aku bawakan tiga buku catatan kecil berisi paragraf-paragraf ringan yang aku tulis sendiri. Awalnya aku pergi di sebuah toko buku tua yang ada di pojok blok rumah. Tak tahu persis, seperti sebuah pesan pribadi, semacam intuisi. Di sana kubaca beberapa buku tua hingga kutemukan sebuah buku bercerita tentang Sisifus. Ia dihukum mengangkat batu hingga puncak gunung dan ketika sampai di puncak, para dewa menggelindingkannya ke bawah lagi. Sisifus mengulanginya terus menerus hingga akhir hidup. Yang mengherankan, ia tanpa keluh.

Kemudian aku sampai pada buku yang bercerita tentang Ahasveros yang dihukum oleh Tuhan untuk menggembala seumur hidup. Juga tanpa keluh. Ini seperti kutukan, seperti hukuman. Datang di sebuah toko tua, membayangkanmu di samping dan kita berdiskusi tentang buku ini. Hingga sesaat kemudian aku terjaga dan melihat tumpukan buku ini tanpa kamu. Ya tentu saja, aku tanpa keluh.
Akhirnya kuputuskan untuk menyimpanmu dalam catatan, dalam setiap tinta yang tergores manis di buku saku tua. Itu hal yang paling mungkin bisa kulakukan. Sampai sekarang catatan itu semakin banyak, tiga buku. Banyak? Sangat kurang banyak pikirku jika harus menuliskanmu dalam catatan.
Catatan itu berisi tentang kegemaran kita berkejar-kejaran di bawah pohon ekaliptus, bermain bola dunia di taman kota, atau tentang membuat kapal dari daun bambu. Tak lupa aku cantumkan dengan bahasa sederhana tempat-tempat itu saat ini. Sekarang sudah jauh beda. Sangat berbeda. Sepertinya kita perlu suatu tempat yang hanya kita yang tahu.

Akhirnya waktu juga yang menuntun kakiku menepak tanah negeri asing tempatmu tinggal. Seperti lengkung ke atas bibirku, aku langkahkan kiri-kanan jejakku dengan pasti. Di mulai dari meliput museum modern yang baru saja dibangun kemudian sebuah danau indah di tepi kota. Aku melakukan pekerjaanku. Biasanya aku melakukan ini demi upah, tapi kali ini seperti ada motivasi lain yang mendorong melakukannya dengan gegap gempita. Seperti ada yang menyesaki dada dan siap meledak. Itulah bahagia.

Setelah berjalan lama, aku mulai sadar waktu mengharuskanku buru-buru. Tak ada waktu yang lama dalam profesiku. Aku harus menemukanmu atau aku akan takut sepanjang waktu. Takut karena tahu kita tak akan menggali tanah di bawah pohon ekaliptus dan melihat isi kotak itu bersama. Takut kalau sebenarnya kamu hanya imajinasi karena aku mengidap penyakit khusus. Aku takut sendiri.

Aku mencarimu berjalan di sepanjang aspal halus di pusat kota. Aku mencarimu di desa saat sejuta petani riuh karena pesta panen. Aku mencarimu di lembah tak bernama, mungkin saja kamu di situ karena aku tahu kamu suka ketenangan. Aku mencarimu di segala penjuru hingga aku lupa arah angin, lupa menghadap kemana aku ketika sholat. Aku mencarimu dimanapun, bahkan bau vanilla tak tercium sama sekali. Sudahlah, pagi sudah kembali pagi.

Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. AKU TIDAK MENEMUKANMU!!!

Baiklah, saat ini marah menguasai. Aku marah padamu, pada keadaan. Tak peduli lagi janji tentang membuka kotak bedebah itu bersama. Kini aku sendiri, maka akan aku buka sendiri. Ah, peduli setan pada dunia, padamu juga. Kini aku benar-benar marah. Mata ini merah, kombinasi marah dan kurang tidur. Aku memikirkanmu. Aku tak mau tidur karena aku takut saat aku tertidur aku akan kehilangan suatu waktu ketika kamu berjalan dan tak melihatku, kemudian aku memanggilmu dan kamu menengok ke arahku. Anggap saja ini sebuah kutukan di buku cerita, hukuman yang diberikan Tuhan dan para dewa. Tapi saat ini aku resmi marah!

Tiga hari setelah mencarimu di negeri asing, tak peduli apa namanya. Tengah malam. Aku tak mau ambil skop atau alat lain, hanya memastikan tanganku sendiri yang pertama kali menyentuh kotak itu setelah tanganmu menguburnya. Angin malam saat itu, dingin. Mengenakan kaos biasa jujur bukan pilihan tepat. Tapi siapa peduli! Aku hanya ingin melihat apa sebenarnya yang kamu tanam.
Ok, sudah dua meter. Masih belum terlihat? Kita tambah beberapa jam lagi. Pohon ekaliptus banyak menghabiskan oksigenku, menghabiskan tenagaku. Hampir menyerah. Tapi, sebentar. Apa ini? Ini bukan kotak itu. Baiklah, ini lebih seperti bungkusan kertas di dalam plastik. Tentu saja, plastik sulit terurai dan tulisan itu masih ada. Aku ingat ini kertas apa. Iya, aku masih ingat. Warnanya vanilla. Ini adalah tulisanku tentang hidup sederhana yang kamu ajarkan. Tulisannya tak rapi sama sekali. Maklum karena masa itu kita masih kecil. Tenang, masih bisa terbaca. S-E-D-E-R-H-A-N-A. Hanya itu? Benar hanya itu?

Sebentar. Aku akan masuk ke dalam, meletakkan kertas itu di bawah bolam lampu, kalau saja ada kata yang terlewat. Seingatku aku tak hanya menulis itu. Aku menulis yang lain. Atau aku tak menulis apapun. Permasalahan sebenarnya bukan pada itu. Lebih pada kemana hilangnya kotak yang kamu tanam. Aku yakin benar, benda itu berbentuk kotak, berwarna merah, dan kamu tanam dalam-dalam.

6.10.2011

Negeri Dongeng Bernama Gunung Nglanggeran

Gunung Kidul, Yogyakarta


Gunung Nglanggeran jarang sekali terdengar oleh orang-orang yang gemar berpetualang. Walaupun tingginya hanya seperlima dari Gunung Merapi, Gunung Nglanggeran menawarkan pesona bak di negeri dongeng yang menakjubkan.

Tenda tergulung rapi di pangkuan, seabrek peralatan makan telah nyaman berada di tas, pertanda perjalanan pendakian Gunung Nglanggeran siap dilakukan. Gunung yang termasuk gunung berapi purba di D.I. Yogyakarta ini berdiri menjulang 700 meter dari permukaan laut. Puncaknya merupakan puncak tertinggi di Kabupaten Gunung Kidul.
Senja itu, Senin (30/5), gerimis reda tapi aspal masih terlihat basah oleh gerimis. Perjalanan ke Gunung Nglanggeran berlanjut ditemani intipan matahari dari balik mendung. Sesekali motor berhenti untuk sekedar mengisi bahan bakar atau membeli parafin. Gunung Nglanggeran dapat ditempuh kurang lebih satu jam dari Kabupaten Klaten.
Petugas menyambut tepat di kaki gunung, start pendakian. “Gunung ini memang gak tinggi, tapi medannya asik, Mas,” ujar salah seorang petugas di base camp. Setelah membeli tiket masuk malam Rp 5.000,00 per orang dan biaya parkir Rp 1.000,00 per motor, pendakian dengan jalan kaki siap dilakukan. Kami berempat tidak lupa melakukan ritual kecil sebelum pendakian, berdoa meminta keselamatan pada Yang Maha Kuasa.

Perjalanan Pendakian
Diawal pendakian kami sudah dikejutkan oleh medan yang benar-benar indah. Batu-batuan besar di kanan dan kiri, jalan curam, bahkan jalan diantara dua gunung batu selebar satu meter harus dihadapi. Sesekali tali dan tangga yang sengaja dipasang petugas membantu pendakian di jalan yang menanjak. Hanya satu dua kali istirahat dilakukan mengingat surya hampir tenggelam dan malam siap menggantikan.
Setelah dihiasi kejadian salah jalan dan terjebak di antara tanaman berduri, perjalanan kurang dari dua jam ini sampai di puncak. Kami sedikit turun di tempat yang lebih datar untuk mendirikan tenda.
Jutaan bintang terlihat sepadan dengan lampu kota Yogyakarta yang terlihat berkerlip dari atas gunung. Suara hewan malam mengiringi perbincangan ringan di depan api unggun. Setelah puluhan kali takjub dan mensyukuri karya Tuhan, akhirnya lelap tak kuasa ditangkis. Kami istirahat, bersiap melihat sunrise megah keesokan harinya.

Sunrise di negeri dongeng
Selasa (31/5) subuh hari kami bangun. Diawali dengan ibadah, sarapan mie instan dan secangkir kopi susu, kami mulai berkemas. Menggulung tenda dan mengumpulkan sampah plastik untuk dibawa turun dan dibuang di bawah menjadi kegiatan selanjutnya. Sampah plastik memang berpeluang besar merusak ekosistem apabila dibiarkan berserakan, apalagi di alam seasri Gunung Nglanggeran.
Perjalanan kembali dilakukan menuju puncak tertinggi Gunung Nglanggeran yang tinggal beberapa meter. Setelah sampai di puncak, tidak berapa lama matahari mulai nampak. Gunung bebatuan yang ditumbuhi lumut menjulang di depan mata. Gunung yang tepat berhadapan dengan puncak Gunung Nglanggeran terlihat megah tersiram cahaya matahari. Awan yang mengelilingi membuatnya nampak seperti imajinasi di negeri dongeng.
Setelah mengabadikan semua imajinasi nyata ini, kami turun gunung. Pagi dingin bukan masalah karena semangat kembali menyala setelah melihat tempat menakjubkan di waktu yang menakjubkan. Bebatuan tinggi menjulang yang kurang tertangkap indera saat pendakian menjadi nampak jelas. Jutaan semut hutan berbaris rapi di jalan setapak, bunga-bunga terlihat di kiri-kanan menambah pesona perjalanan turun. Waktu turun memang selalu lebih cepat, hanya butuh kurang lebih separuh dari waktu perjalanan mendaki. Sebelum jam 07.00 WIB kami sudah sampai di base camp, tempat para petugas yang ramah menyambut.

Alternatif pendakian
Gunung yang menyimpan pesona yang luar biasa ini bisa menjadi alternatif pendakian bagi orang-orang yang menyukai petualangan. “Setiap malam minggu biasanya ramai, Mas. Apalagi akhir-akhir ini hujan jarang turun,” ujar salah satu petugas sambil melipat tangannya karena kedinginan. Dia melanjutkan walaupun banyak yang mendaki gunung ini, sebagian besar hanya orang-orang yang berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya. “Besar harapannya agar ke depan pemerintah bisa lebih memasarkan gunung ini (Gunung Nglanggeran) sebagai obyek wisata andalan Yogyakarta,” tutupnya sambil melempar senyum.rbp


medan yang memukau:


di tenda:


puncak dan negeri dongeng:

(cengik doc.)

5.28.2011

-Monolog-

Kita bahas konflik ini pakai semiologi.
Kita bahas petanda dan penanda di sini.
Kita pilih semiologi pragmatik, “karena ini komunikasi,” kata Roland Barthes.
Aku komunikator, kamu komunikan.
Seingatku kita belum sepakat kalau komunikan tidak harus memberi feedback.
Kita mulai.
Aku komunikator yang memberi sinyal pesan melalui tanda.
Normalnya kamu tahu tanda itu lalu kamu intrepetasikan.
Tidak perlu semiotika Pierce untuk membahas tanda yang aku beri.
Tanda itu cukup universal.
Normalnya kamu tahu itu.
Tapi mungkin ekspetasiku terlalu jauh.
Seperti ada perbedaan persepsi.
Kamu tahu aku butuh feedback, apa saja, terserah kamu.
Kamu bisa pakai tanda lalu aku intrepetasikan.
Tapi komunikasi ini seolah jadi satu arah.
Sebentar, tunggu dulu.
Persoalannya, apakah pesanku itu sampai?
Apakah pesanku lancar melewati perantara media?
Apakah tidak ada barier yang mengganggu intrepetasi pesanku?
Apakah kamu tahu aku memberi pesan kepadamu?
Ah, sepertinya kamu yang terlalu bebal.
Aku tahu sebenarnya kamu tahu.
Terlihat ada efek yang kamu tunjukkan, mungkin kamu tidak sadar.
Ingat, kamu diam saja itu juga penyampaian pesan.
Tapi aku butuh pesanmu yang benar-benar pesan.
Terserah pesanmu kamu bungkus tanda seperti apa, asal mudah aku intrepetasikan.
Aku sudah “iya”, kamu?
Konflik bedebah ini, intrepetasi yang salah ini.
Hingga suatu waktu aku sadar aku lupa sesuatu.
Aku baru ingat, kita memang tidak pernah pandai semiologi.

5.17.2011

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Ah, biasa ia bicara dengan huruf A
Seperti Al Fatihah menjadi pembuka
A juga huruf pembuka
Terdengar ceria

Rasa, Rana, Mala, Hura
Pilih empat-empatnya!
Terutama Hura
Maka akan terlihat bahagia ketimbang merana

Rona, rona bukan hanya untuk citra
Tapi di muka
Paras, wajah, kesemuanya
Lama sekali ia terlihat jingga

Ia juga A
Maka ia adalah pembuka
Untuk Selasa hingga selasa
Hingga selanjutnya, seterusnya

Kini jiwa lena olehnya
Hanya mantra sedikit hibur jiwa
Terus, teruslah bahagia
Maka apapun itu, hidup ini akan lama

Si Katak dan Sang Konflik
May 11th, 2011

Tibalah kali ini si katak pada titik dimana dia sulit bedakan mana baik mana buruk, mana logika mana perasaan, maju atau mundur, bahkan pilihan ke “samping” pun tak ada. Semua, iya kesemuanya bercampur jadi satu rasa, katakan saja rasa tawar, seperti teh tanpa gula. Lucunya, ending konflik ini si katak sendiri yang harus tentukan. Ini semacam kebetulan, bukan pilihan.
Dalam situasi ini si katak mulai berpikir baik-baik. Setiap hari ia picingkan mata dan kerutkan kening. Akan tetapi, berapa lamapun ia berpikir ia hanya tahu satu hal bahwa konflik ini sulit untuk “selesai”. Kemudian ia mengasingkan diri, sendirian di dalam gua. Ternyata itupun tak membantu. Ia ganti mencari keramaian di pusat perbelanjaan ternama. Aduh, itu juga tak mengubah apapun.
“Mati aku!” keluh si katak putus asa.
“Tunggu dulu!” sambil terperanjat heboh ia lanjutkan monolognya.
Ia baru sadar bahwa inti permasalahan sebenarnya letaknya sangat dekat dengannya. Ketika dia mencari jawaban itu kemana pun, sebenarnya jawaban itu sudah ketemu tepat saat ia dihadapkan pada konflik ini. Ilustrasinya: si konflik datang bertamu, mengetuk pintu yang kemudian si katak buka. Di belakangnya si cantik jawaban muncul, tak terlihat karena terhalang oleh punggung si konflik. Ketiganya masuk, minum teh hangat, dan berbincang. Konflik lebih cerewet dan tentu saja si cantik jawaban adalah sosok yang pendiam. Beberapa jam: mereka tak perlu saling kenal untuk bicara ini itu.
Jawaban yang dicari si katak kemanapun, akhirnya disadari ada di dekatnya. Jawaban yang sekaligus inti permasalahan. Jawaban yang si katak harap mampu menerangkan gradien antara baik dan buruk. Jawaban yang akan mengakhiri semua konflik bedebah ini. Jawaban itu adalah: dirinya sendiri. Menyelesaikan masalah jadi sama artinya dengan menyelesaikan diri sendiri: mati.

Saya Sebut Si Sederhana Itu Ibu




“Hei, sepahit apapun, senyum itu indah”, kalimat sederhana dari mulut sederhana. Ia yang sederhana, ia yang merenda hari-hari kami hingga jadi jaring yang kuat. Ia yang memasang hiasan dinding dan membersihkan debunya setiap hari. Memang tak sempurna, tapi teduhnya melebihi randu, lebih dari rasamala, lebih dari apapun. Saya sebut si sederhana itu, Ibu.
Tiap pagi buta ia selalu bangun lebih awal dari yang lain. Seperti hari ini, ia bangun pukul 3 pagi. Diawalinya dengan sholat Tahajud, melafalkan Al Qur’an, dan sholat Subuh, kemudian langkah kecil membawanya bersiap untuk menjemput rejeki. Benar, ia bekerja. Ia berjualan pakaian di tempat yang jaraknya 4 jam dari rumah. Berangkat pagi pulang sore. Dengan bus kota ia sertakan harapan, terutama harapan kami.
Kami bodoh, setiap pulang bekerja sering kami lupa memasak air untuk ia mandi, lupa menyiapkan secangkir teh untuk penghangat badan, lupa untuk mencium tangannya, lupa untuk memijat pundaknya. Tapi aneh, ia tak lupa mendoakan anak-anaknya agar jadi orang yang berhasil. Saban hari, saban jam, saban menit, saban detik ia berdoa.
Saya paling ingat saat ia tersenyum simpul ketika saya bercerita. Ia menyimak dengan seksama, kata per kata. Saya akui, ia memang pendengar yang baik.
Saya juga ingat saat rautnya membiru saat saya tenggelamkan harapannya. Sambil menangis ia bilang, “apapun itu, asal kamu bahagia”.
Itu hanya sedikit dari pesonanya. Sulit dideskripsi, atau kertas ini tak muat sama sekali.
Sedikit titipan untuk ibu di seluruh dunia:



Saya Sebut Si Sederhana Itu IBU

Kau yang lunglai karena jaman
Kau yang kuat juga karena tahu seperti apa lunglai
Hei, tak apa-apa bersedih, tapi jangan larut
Wajah itu terlalu cantik untuk basah

Kau yang menanam ekaliptus di dada kami
Walaupun seringkali kami tebang sembarangan
Kau yang membuat kolam di jiwa kami
Sering kami lupa mengganti airnya

Tapi apa yang kau katakan?
“yang penting kamu bahagia, Nak”




P.S. Terima kasih untuk sarapannya setiap pagi, telponnya ketika saya telat pulang, terima kasih untuk semua

3.26.2011

Didunia




Di dunia, ada dua yang disebut berwujud. Perkenalkan, aku dan bayanganku. Aku segar seperti embun kala fajar di bulan Februari, dan bayanganku, benar bayanganku yang selalu mengekor dibelakang. Atau mungkin kalian salah? Bayanganku kadang-kadang juga di depan. Seperti tadi senja, aku dan bayanganku yang berada di depanku temukan ratusan orang terkapar di balai kota. Aku terperanjat saat itu juga, pula bayanganku. Kita saling menatap satu sama lain, sambil bertanya, udara apa yang membuat ratusan orang terkapar seperti ini? Sebenarnya orang-orang ini tak sepenuhnya pingsan. Mereka masih bisa mendengar walaupun samar-samar, mereka masih bisa melihat walaupun samar-samar, dan yang paling aneh, mereka lebih bisa merasa. Udara apa yang membuat ratusan orang terkapar seperti ini? Udara apa? Benar ini hanya udara? Aku dan bayanganku masih terus berpikir.
Perkenalkan, ini udara. Dia yang dihirup semua orang, yang menghidupi semua orang. Tapi mungkin yang menyebabkan ratusan orang ini terkapar adalah udara yang lain. Benar, aku dan bayanganku tanya dengan beberapa udara biasa. Mereka hanya menggelangkan kepala. Aku dan bayanganku lalu begitu saja karena kami yakin mereka memang tak tahu, semua terlihat dari mata mereka. Kami langkahkan kaki. Kaki kami beradu di ujungnya. Saat senja perlahan-lahan kuncup, kaki kami masih beradu diujung, hanya saja bayangan jadi tak tentu, kadang di depan kadang di belakang. Semua karena ulah lampu kota.
“Iya, aku punya ide. Kenapa tak terpikir olehku sebelumnya?” Bayanganku tiba-tiba bicara, mengagetkan.
“Apa itu?” Tanyaku.
“Kenapa kita tak tanya lampu kota yang ada di balai kota? Mungkin mereka tahu apa yang terjadi di balai kota tadi,” jawab bayanganku
Aku mengiyai ide cemerlang bayanganku. Kami bergegas kembali ke balai kota. Tapi, waktu kembali ke balai kota terasa lebih lama dari waktu pergi tadi. Mungkin kami tersesat. Ya benar, kami memang tersesat. Dan mungkin udara yang membuat ratusan orang terkapar itu lah yang menyesatkan kami. Hari telah malam seketika. Di ujung jalan yang kami tak tahu namanya, terlihat lampu kota, ah bukan, itu hanya lampu taman, berkedip-kedip seperti segan hidup. Ketika kami hampiri, ternyata benar, lampu taman itu sudah berumur. Kacanya retak dimana-mana, cahayanya remang-remang. Kami bertanya pada lampu taman jalan untuk kembali ke balai kota. Ternyata lampu taman sudah tak lagi bisa bicara, hanya bisa menggeleng dan mengangguk. Kami bertiga terlibat perbincangan sulit. Untunglah, lampu taman memberi tahu kami jalan kembali ke balai kota. Dia menggeleng ketika aku tanya ke kanan. Dia mengangguk ketika aku tanya ke kiri. Tanpa pikir panjang kami bergegas ambil jalan ke kiri. Kaki kami jalan lebih cepat kali ini, karena hari akan segera menjadi tengah malam.
Lambat laun kami mulai kelelahan berjalan, dan balai kota tak kunjung kami temukan. Kami terus berjalan dan bayanganku tetap ada, kali ini tepat di bawahku. Tepat di atasku, bulan purnama sangat bulat bersinar sangat terang. Sepertinya dimana kaki kami melangkah, kami semakin tersesat. Hingga tiba pada jalan yang tak ada lampu kota atupun lampu taman di situ, hanya ada sebatang pohon besar tua. Kami duduk bersandar di pohon itu karena kelelahan. Kami tertidur. Belum lama tertidur, kami terbangun karena sesak. Pohon tua itu ternyata rakus saat malam. Dia memakan semua oksigen, dan tidak menyisakan sedikit pun untuk kami. Akhirnya, kami putuskan untuk melanjutkan mencari jalan menuju balai kota.
Hari masih tengah malam, dan kami hampir putus asa. Kami semakin tersesat, kali ini di hutan yang di dalamnya tumbuh pohon-pohon ekaliptus besar, tapi tak serakus pohon tua tadi. Mereka semua tertidur, mungkin karena malam di sini memang sangat tenang. Kami tak mau tertidur seperti mereka. Kami takut menjadi sesak napas kembali. Kami terus melangkah.
Udara apa yang membuat ratusan orang terkapar seperti ini? Udara apa? Udara? Kami terbangun oleh usapan halimun. Benar, kami tertidur tadi malam. Mungkin udara yang sama yang membuat kami tertidur. Mungkin? Dunia penuh kemungkinan. Mungkin ini hanya mimpi. Mungkin orang-orang di balai kota kemarin tidak benar-benar terkapar. Mungkin lampu taman sebenarnya bisa bicara. Mungkin pohon besar tua tak serakus itu. Dunia penuh kemungkinan. Tiba-tiba aku dan bayanganku berada di padang rumput yang lapang. Kami dihujani rintik-rintik. Fajar hanya lamat-lamat. Kami coba tanya pada butiran hujan dan fajar yang lamat-lamat, mereka juga tidak tahu jalan kembali ke balai kota. Namun, tiba-tiba di tengah perbincangan kami, terdengar jeritan orang. Satu orang? Tidak mungkin, karena suara ini terlalu keras untuk ukuran suara seorang. Puluhan mungkin. Ratusan? Bahkan mungkin ribuan. Aku dan bayanganku berlari menuju arah suara itu berasal. Tepat pada ujung padang rumput, kami menengok ke depan sejauh-jauhnya. Kami lihat balai kota, kali ini ada ribuan orang terkapar. Oh tidak, mungkin jutaan. Mereka terkapar tak bergerak. Udara apa yang membuat jutaan orang terkapar seperti ini?
Kami ingin turun, tapi tak bisa. Kami merenung. Seperti membaca mantra, kami berdoa. Tiba-tiba muncul pelangi. Dia melengkung. Satu ujungnya ada pada ujung padang rumput dan ujungnya yang lain tepat di balai kota. Kami meluncur cepat sekali hingga kami rasai nyawa kami tertinggal di belakang. Kami jatuh sangat keras di balai kota. Kami pingsan beberapa waktu dan ketika kami bangun hari sudah senja lagi. Aneh, jutaan orang terkapar itu lenyap. Semua lenyap. Aneh. Dimana mereka semua? Aneh. Mereka lenyap. Aneh. Lenyap. Aneh. Dimana? Aneh. Lenyap.
Kami teriak sekeras-kerasnya sambil menengadahkan muka pada langit. Aneh. Lenyap. Dimana? Kami kaget jutaan orang itu ternyata di atas kami. Ya benar, di atas kami. Aneh. Ternyata suatu udara yang tidak biasa telah membuat mereka terkapar tak berdaya, kemudian menerbangkan mereka ke langit. Mereka melayang-layang di angkasa. Udara apa yang membuat jutaan orang melayang seperti ini? Ternyata ini adalah udara maha kuat. Udara yang juga menyesatkan kami. Menidurkan kami. Memberi pelangi. Udara yang membuat jutaan orang terkapar di balai kota. Udara yang membuat jutaan orang yang tadinya terkapar, melayang di angkasa.
Kaki kami tak lagi beradu. Aku dan bayanganku menjauh. Aku melayang, sedang bayanganku tertinggal di bawah. Aku sadar aku melayang. Tapi perasaan apa ini? Aku tidak tahu, tapi aku senang. Aku bahagia. Bayanganku coba untuk meraihku, tapi aku terburu melayang sangat tinggi. Aku menabrak iringan awan stratus. Rasanya geli, tapi aku senang. Aku menyapa kawanan burung ibis. Rasanya aneh, tapi aku senang. Aku benar-benar bahagia. Tiba-tiba jutaan orang yang ada di angkasa ini tertawa. Ternyata mereka juga senang. Aku lihat Pak Umar penjual sayur yang jujur. Aku lihat si Abdullah penjaga masjid. Aku lihat si Santi mahasiswi yang rajin. Aku lihat Pak Narto pejabat yang tidak korup. Aku lihat Haji Jafar orang kaya yang dermawan. Aku lihat Anto teman SD ku dulu yang selalu mengajari aku pelajaran sulit. Aku lihat Bu Ratmi penjual jamu yang murah senyum. Mereka semua orang baik. Mereka semua melayang.
Udara apa ini yang membuat jutaan orang begini? Udara maha kuat? Tapi apa? Udara ini udara yang membuat senang. Mungkin orang-orang ini tidak peduli, karena mereka terlampau senang. Aku pun hampir tak mempertanyakan lagi. Hanya saja aku senang. Aku terlampau bahagia. Saat kami mendarat, bayangan kami bertepuk tangan ramai sekali. Mereka menangis bahagia. Dan kami tak lagi mempertanyakan udara ini. Kami terlampau senang. Kami terlampau bahagia.