11.23.2012

Jaring Manusia



Bayangkan ketika bangun hari ini semua orang sudah tak ada di tempat semestinya! Itulah saya. Kejadiannya pagi tadi, saya bangun seperti biasa, enam lebih lima belas menit. Saya tidak sadar kalau orang-orang menghilang hingga akhirnya saya berangkat ke kantor dan melihat di jalan mobil-mobil tanpa penumpang berdesakan antara Thamrin-Sudirman. Saya jalan kaki karena kontrakan saya dekat dengan kantor. Tentang orang-orang satu kontrakan yang tak ada di kontrakan saya masih maklum. Kebiasaan anak-anak yang berangkat ke tempat kerjanya masing-masing jauh pagi-pagi hari agar tidak terjebak macet. Tapi ini, yang saya temukan hanya ratusan kendaraan yang beberapa masih menyala mesinnya. Berbeda merk, berbeda warna, tapi ada kesamaan, sama-sama tak berpenumpang.

Jauh melangkah kaki saya untuk melihat apa yang terjadi di ujung jalan. Saya ambil sepeda lipat yang tergeletak di trotoar. Tak mungkin pemiliknya marah, karena pemiliknya pasti juga sudah ikut menghilang. Saya kayuh sepeda berjam-jam dan saya kecewa. Pemandangan yang sama yang saya lihat. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

Hembusan angin yang datang tiba-tiba membawa suara sirine yang tengah meraung-raung. Arahnya berkebalikan dengan arah yang saya tuju. Tentu saja, saya putuskan untuk kembali. Masih dengan sepeda lipat yang dengan mudah melewati jalur trotoar. Sirine terdengar semakin lama semakin keras. Saya yakin ada orang yang membunyikan sirine berharap ada orang lain yang mendengarnya dan sadar kalau dia tak sendirian. Benar, ada sebuah mobil pemadam kebakaran yang terparkir di pinggir Bundaran HI. Tapi lagi-lagi harus menahan kecewa, mobil itu masih tak berpenumpang.

Perasaan bingung, pertanyaan-pertanyaan yang membumbung di benak, ketakutan, semua campur aduk di kepala. Untuk situasi seperti ini yang dibutuhkan adalah ketenangan jiwa, ketenangan berpikir jernih, dan bukan kepanikan. Saya mulai berpikir, mungkin saja orang-orang tengah berkumpul di suatu lapangan yang tengah menggelar konser besar, sebagian lain tengah mengantri pembagian raskin besar-besaran, dan mungkin sebagian yang lain juga berkumpul di suatu tempat dan melakukan sesuatu. Atau jangan-jangan ada invasi alien yang menculik semua orang untuk dibawa ke planetnya. Hanya satu jawaban dari semua itu, benar, mencari tahu.

Saya cari gedung paling tinggi, siapa tahu dari jarak saya berada tersebut saya bisa melihat dimana sebenarnya orang-orang berkumpul. Saya membuka mata selebar-lebarnya, memandang tatanan kota di bawah, dan garis cakrawala yang membatasi semua benda dengan langit. Saya juga pekakan telinga, mencoba mendengar sayup-sayup suara. Semua saya kerahkan agar dapat jawaban.

Mmm, tidak ada apa-apa sejauh saya melihat dan yang terdengar hanyalah desingan angin yang begitu kuat di atap gedung ini. Saya urung, saya menyerah, kenyataannya bahwa saya tidak tahu dimana mereka semua berada. Saya putuskan untuk seperti biasa berangkat ke kantor, mengerjakan sesuatu, kemudian kembali ke kontrakan. Seperi biasa.


“Dina Andirini”
“Wahyu Prihantoro”
“Iman Cahya Saputra”


Di samping itu, nama orang-orang dipanggil satu per satu dengan urutan acak. Mereka masuk ke sebuah ruangan dengan sebuah timbangan besar di sana. Katanya, timbangan itu dipakai untuk menimbang kebaikan dan keburukan.

O I Nani Keke, Bercermin pada Lantunan Lagu Daerah


“Siapa yang tahu lagu daerah mana yang judulnya ‘O I Nani Keke’?” saya ingat betul pertanyaan yang dilemparkan seorang guru kepada murid-muridnya sewaktu SD, termasuk saya. Kalau “Suwe Ora Jamu” atau “Gundul-Gundul Pacul” pasti saya tahu, pikir saya. Maklum saya berasal dari Jawa Tengah, tidak lucu rasanya apabila saya tak tahu lagu daerah Jawa Tengah. Namun ini, baru saya dengar judul lagu “O I Nani Keke”. Seketika kelas itu hening dan tak ada yang berkata apalagi menjawab.

Guru kesenian saya itu pun mulai berkisah dan mengawalinya dengan kalimat sederhana “Lagu daerah bukan hal yang sepele. Walapun hanya lirik dan nada, bila mereka disatukan akan membentuk cerminan budaya masyarakatnya”. Itu yang saya ingat dan kebaikkan yang diajarkan lagu itu pun pada nantinya akan membekas sampai entah kapan.

O ina nikeke mangewisako (Oh Ibu mau kemana?)
Mange aki wenang (Ibu pergi ke Manado)
Tumeles baleko (Membeli kue)
Weane, weane, weane toyo (Berikan, berikan, berikan sedikit)
Daimo siapa kotare makiwe (Sudah habis kamu baru minta)

O I Nani Keke menjadi salah satu produk lagu daerah asli Minahasa, Sulawesi Utara. Walaupun hanya lima baris, lagu daerah ini sangat mengajarkan tentang nilai kebaikan dan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Bagaimana kasih sayang itu tulus tanpa pamrih. Tanpa pamrih ya tanpa pamrih. Si ibu benar-benar tulus mengasihi anaknya. Namun si anak merasa dimanja dan larut di dalamnya.

Ada dua pelajaran yang dapat diambil. Satu positif untuk kita tiru dan lainnya negatif untuk kita tinggalkan. Ketulusan ibu harus lah kita tiru. Bukan, bukan hanya untuk kita sendiri, tetapi orang lain juga. Bahwa yang berasal dari dalam lubuk hati akan sampai ke hati pula. Kedua, seorang anak yang baik bukan lah anak yang seenaknya saja meminta apa-apa. Sifat seperti itu yang harusnya kita kubur dalam-dalam. Yang berasal dari hati tentu wajib kita balas dengan hal yang berasal dari hati pula. Benar, berbakti. Itu yang sekiranya paling tepat dilakukan seorang anak untuk membalas kasih sayang orang tuannya.

Lebih jauh, lagu ini telah menjadi cerminan budaya. Tidak hanya budaya orang-orang Minahasa, tetapi lebih luas lagi menjadi budaya Indonesia. Orang-orang lama telah mengkultuskan nilai-nilai kebaktian kepada orang tua. Ini lah budaya. Hal yang harus dijaga sepenuh jiwa, bukan hal seperti kamper yang ditinggal sebentar kemudian menyublim perlahan.

Ini lah mengapa kita perlu menjaga kebudayaan. Menjaga tidak harus mati-matian menekuninya, tapi bisa mulai dengan hal kecil semisal menanamkan kembali ke ingatan orang-orang sekarang tentang keindahan tarian daerah, nilai yang diajarkan dari upacara daerah, dan filsafat kebaikan yang terkandung dalam tiap lirik lagu daerah. O I Nani Keke dan lagu-lagu daerah lainnya sedikit banyak orang meramalkannya akan hilang seiring derasnya teknologi. Maka, kita yang akan buktikan pada diri sendiri dan dunia bahwa budaya yang baik akan terus ada selama yang memeliharanya adalah orang-orang baik.

Kemudian di akhir pelajarannya itu, guru saya melemparkan satu pertanyaan yang jawabannya akan selalu ada di benak kita semua hingga kita tiada. Begini sekiranya pertanyaan itu, “Lalu, sebenarnya seberapa baikkah kita?”.

11.06.2012

Peran Utama



Ada yang berbeda dengan dia kali ini. Pakaiannya tidak menunjukkan kalau dia tomboi. Dress panjang dengan motif bunga-bunga pas dengan kulitnya yang putih dan wajahnya yang ceria. Dan hari yang cerah seperti ini juga jarang ada. Lengkap sudah, hari cantik untuk si empunya wajah cantik.

Dia duduk sendiri sambil membaca buku yang tengah dipegangnya. Di bangku taman itu, sejam kemudian terlihat seorang anak kecil dengan pakaian kusut menghampirinya. Dari tempatku berdiri aku sama sekali tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi tenang, aku bisa memastikan bahwa si anak sebentar lagi akan mengeluarkan amplop merah jambu. Tentu saja aku tahu, amplop itu dariku, untuknya.

Setelah dia berbagi roti dan teh hangat bawaan dari rumah, anak kecil itu pergi sambil melayangkan jempolnya ke arahku bersembunyi. Melihat si anak pergi, gadis itu kemudian bergegas membuka amplop pelan-pelan. Sesuai perkiraanku, seharusnya dia berbunga-bunga mendapat surat cinta. Sebentar, tapi ini, dia menangis. Air mata itu mengalir menuju pipi lalu ke bibir yang sedari tadi menyabit ke atas.

Di pojok kanan bawah tertera inisial “AT” singkatan dari Agni Taruwangsa. Dia jelas tahu singkatan itu, nama itu, pasti. Kertas surat itu pun di simpan rapat-rapat di halaman tengah bukunya. Seperti terbaca pikirannya yang saking bahagianya dia membayangkan si penulis surat datang padanya dan menemaninya sore itu. Tenang, yang kamu harapkan pasti akan datang, karena sedari tadi dia juga ada di taman ini. Iya, dari tadi, di taman ini.

Di tengah perasaan bahagia si gadis, tiba-tiba seorang pria datang. Pria dengan stelan kemeja rapi yang aku kenal persis siapa dia. Bagaimana tidak, aku sudah mengenal pria ini sejak di bangku SMA. Sudahlah, yang penting mulai dari sini urusanku resmi selesai. Aku putuskan untuk beranjak pergi. Setidaknya aku sudah merasa puas sekarang, karena pesanku sudah sampai padanya.


“Mmm, Dina” Pria dengan stelan kemeja itu duduk di sampingnya.
“Hei, Agni” Jawab Dina tersenyum.