12.30.2017

Selama Proses Penyelaman

Saya menyelam, menyelam sangat dalam. Saya menyelam hingga lupa ini sudah perairan laut dalam. Waktu itu air sangat tenang, bahkan terlalu tenang sampai tubuh dan pikiran tak pernah merasa kelelahan.

Saya terlalu menikmati proses hingga lupa punya tujuan. Sejujurnya saya ingin memotret pemandangan bawah laut paling indah dengan sebuah kamera aksi yang saya genggam sejak di daratan.

Kemudian hasil cetakannya diam diam akan saya selipkan di bawah taplak meja atau sebelah vas bunga, sembari menunggu dia datang. Di bawah temaram bulan suatu malam, foto itu akan menjadi hadiah terindah untuknya.

Saya bayangkan sebelum hidangan makan malam datang, dia akan senang bukan kepalang. Sebuah hadiah yang mungkin saja dia impi-impikan. Sebuah hadiah yang mungkin akan mengganggu niat terlelapnya.

Saya baru sadar setelah berada di perairan laut dalam. Tak ada pemandangan indah di sini, hanya batas pandang yang terbatas. Tak ada terumbu karang, tak ada mandarinfish, clownfish, atau moorish idol. Semuanya sama abu abu kebiruan.

Saya pun berusaha kembali menuju bibir pantai. Oksigen di tabung tinggal sepertiga. Saya harap di perjalanan menuju bibir pantai, saya akan menemukan pemandangan yang indah meski bukan yang paling indah. Setidaknya bisa dibawa pulang, meski nantinya mungkin saya perlu berpikir dua kali untuk mencetaknya.

Saya berhasil menjauhi perairan laut dalam dan hampir sampai ke bibir pantai. Dengan oksigen tipis di tabung, akhirnya saya berhasil kembali ke tempat ini. Sejurus itu, saya siapkan kamera aksi untuk memotret apa saja, sebelum oksigen benar benar habis.

Saya saling buru dengan waktu. Kali ini saya mantap menata genggaman kamera aksi di tangan saya. Sudah pas rasa-rasanya. Dan telunjuk pun menyentuh shutter, siap mengalirinya dengan energi untuk menekan.

Baru setengah shutter, saya sadar hari yang tadinya siang sekonyong-konyong telah menjadi malam. Tak cukup cahaya di sini untuk direkam. Terlalu gelap untuk kamera aksi dengan setengah shutter ini menghasilkan gambar mati yang nanti akan membuatnya senang bukan kepalang karena menerima hadiah terindah.

Di tengah rasa kecewa yang mendalam, saya abaikan hasil foto dan memilih kembali ke bibir pantai. Dan untuk yang satu ini saya menang melawan waktu, setidaknya agar hidup dan tidak konyol mati di perairan laut dimana kemungkinan mayat saya akan terombang ambing tidak jelas.

Saya terduduk lesu di atas pasir, sambil membayangkan berbagai skenario bila saja saya tidak lupa. Andai saja ingat tujuan penyelaman semula. Ah, andai saja penyakit lupa ini tidak datang, penyelaman ini tak akan sia-sia.

Saya hela nafas lebih panjang. Ah sudahlah, setidaknya saya punya memori indah tentang pertama kalinya saya menyelam. Bahkan begitu dalam hingga ke perairan laut dalam. Pertama kalinya saya melihat makhluk hidup bawah laut langsung di bawah laut.

Dan malam ini, setidaknya mata masih menemukan paparan bintang berbagai galaksi. Wajah juga masih merasakan angin yang melayang menembus ruang. Ah sudahlah. Sambil melenggang pulang, saya simpan dalam hati, mungkin saya akan coba lain hari, tentu saja kalau ada lain hari.

Solo, 30 Desember 2017











2.10.2016

Cerita UMK: Mulai Dering Telepon Dari Belanda Hingga Bahagianya Penjaja Wedangan

Mungkin tema tulisan ini bukan soal bagaimana Usaha Mikro Kecil (UMK) membantu saya dalam sebuah situasi atau mungkin malah kehidupan sehari-hari. Namun, saya ingin menambahkan, bahwa tulisan ini akan bercerita tentang bagaimana kami, saya dan UMK, saling membantu.

UMK memang tengah jadi primadona. Bila dirunut dari sejarah Orde Baru, peran UMK kala itu sungguh dahsyat. Masih ingat geger tahun ’98 dimana krisis terjadi di semua bidang kehidupan. Ekonomi makro Indonesia ambruk kala itu. Namun ekonomi mikro tetap gagah berdiri. Kalau bukan berkat para pengusaha UMK mungkin saja ketahanan pangan Indonesia ikut goyah, chaos bakal lebih lama, dan Indonesia tak secepat ini bangkit lagi.

Tahun demi tahun berlalu. Dulu para ekonom meramalkan kejatuhan UMK akibat globalisasi dan banyaknya perjanjian dagang lintas negara yang sebenarnya lebih ditujukan kepada pengusaha kelas kakap. Mereka bilang, UMK jelas akan kalah bersaing. Namun, kenyataannya lagi-lagi UMK mampu menangkis ramalan itu dan memperlihatkan tajinya.

UMK terus tumbuh, bahkan pertumbuhannya terbilang pesat, karena ternyata para pengusaha kelas kakap pun membutuhkan keberadaan UMK. UMK menjadi semacam vendor yang menjadi solusi permasalahaan perusahaan besar untuk meningkatkan jumlah produksi. UKM menjadi penggarap detail yang apik untuk permasalahan QC produk perusahaan. Mereka bermutualisme dan terus berkembang bersama hingga sekarang.

Nah, singkat cerita, suatu waktu saya berkesempatan melihat gerak-gerik UMK di Solo, kota yang sarat dengan konten budaya Jawa, termasuk karakteristik warganya yang senang usaha. Saking banyaknya UMK di Solo, sampai-sampai ada joke begini, “Kalau mau kerja jangan di Solo. Kerja itu di Jakarta. Nah, Kalau mau usaha, baru di Solo tempatnya”. Memang benar, bisa dibilang Solo adalah kota sejuta usaha dan saya beruntung menangkapnya melalui media yang bernama Terasolo.com.

Terasolo.com merupakan media yang khusus diperuntukkan bagi pelaku UMK sebagai wadah branding dan promosi mereka. Kurang lebih 3 tahun saya di Terasolo.com, pergi ke pusat kota hingga pelosok untuk meliput UMK dan keunikannya serta menjadikannya ulasan cantik untuk dibaca dan ditonton khalayak. Dari 3 tahun itulah saya berani bercerita disini dan ini dia cerita detail saya tentang saya dan UMK yang saling membantu satu sama lain.

Dering Telepon Dari Belanda

Seperti biasa saya harus bekerja meliput UMK, paling tidak satu UMK dalam sehari. Ilham datang tiba-tiba hingga saya pun mempunyai pikiran untuk meliput pengolahan kain perca menjadi barang jadi. Saya tanya jaringan saya, hingga akhirnya bertemu satu produsen kerajinan kain perca di Kampung Gandekan, Jebres, Solo. Namanya Bu Sumarsi. Beliau punya usaha rumahan membuat aneka aksesoris perabot rumah tangga seperti selimut, bed cover, tas, dan lainnya yang semuanya dibuat dari limbah kain atau kain perca.

Bu Sumarsi (Foto: Terasolo.com)

Dengan semangat mengangkat nama UMK saya buat ulasan produknya. Saya tulis bagaimana kiprah usaha Bu Sumarsi yang diniati dari hobi dan dimodali oleh uang sendiri (baca juga: Dari Limbah Kain Menjadi Bed Cover Cantik ). Di usianya yang tak lagi muda, beliau tetap menggelutinya dan bersyukur hasilnya bisa membiayai kebutuhan sehari-hari. Bu Sumarsi menjual produknya di pasar-pasar tekstil tradisional seperti Pasar Klewer. Selain itu, dia juga bergabung dengan Jarpuk (Jaringan Perempuan Usaha Kecil) untuk mengasah ilmu bisnisnya.

Waktu berselang. Suatu sore ada telepon masuk dari Bu Sumarsi. Nafasnya terengah-engah dan nadanya seperti orang yang kebingungan. Saya suruh Bu Sumarsi untuk pelan-pelan cerita. Dia bercerita bahwa hari itu juga, dia mendapat telepon dari Belanda. Bukan telepon nyasar, melainkan ada orang Indonesia yang tinggal di Belanda tertarik dengan kisah usaha Bu Sumarsi. Dia membaca berita yang saya buat dan berniat memesan bed cover dan selimut buatan Bu Sumarsi. Tak tanggung-tanggung jumlahnya sampai ribuan. Setelah mendengar cerita Bu Sumarsi itu saya paham kenapa beliau sampai terengah-engah dan tak fasih bercerita. Maklum, usaha Bu Sumarsi masih sangat kecil, skalanya masih mikro. Beliau mengerjakan produk hanya dibantu oleh anaknya. Wajar dia kaget tiba-tiba ada yang memesan ribuan dan dari Belanda pula.

Tak salah bila Bu Sumarsi menelpon saya. Beliau bingung, ditolak sayang, tapi bila diiyakan, mana mungkin bisa membuat ribuan produk dalam waktu yang singkat dan bagaimana caranya agar barang itu bisa sampai ke Belanda. Dan yang paling penting, ongkos produksinya dari mana. Kala itu Terasolo.com belum punya divisi penjualan, kami masih sekedar media. Akhirnya dengan berat hati, pesanan itu tak diambil Bu Sumarsi. Meskipun begitu, kami belajar bahwa kesulitas UMK tak hanya soal promosi dan branding, tetapi juga hal lain seperti modal dan kapasitas produksi. Masalah mereka tak selesai dengan hanya memberitakannya. Mereka harus belajar soal marketing, manajemen, finansial, dan lainnya agar terus merangkak naik level.

Kejadian itu tak sia-sia. Dari sana, tim inovasi Terasolo.com membuka divisi penjualan atau e-commerce yang tujuannya membantu UMK menjualkan produk-produk mereka dan menjaga kualitasnya. Setelah itu pun Bu Sumarsi tak lantas berkecil hati. Beliau terus menghubungi kami, mencari tahu adakah pelatihan maupun pameran yang bisa diikuti demi berkembangnya usaha beliau. Salut untuk Bu Sumarsi.

Belajar Guyub di Pinggiran Kota

Di hari lain, saya berkunjung ke kota asal saya, Klaten. Kebetulan saya kenal orang Dinas Sosial Kabupaten Klaten yang tengah mengurusi Program Keluarga Harapan atau PKH kabupaten. Dia bercerita di Kecamatan Bayat, kecamatan yang letaknya 15 km dari pusat kota, ada beberapa keluarga kurang mampu yang mengikuti PKH. Sebagai bentuk follow up-nya, mereka membentuk semacam KUBE atau Kelompok Usaha Bersama agar tak hanya mendapat bantuan finansial saja dari dinas, tetapi juga keterampilan usaha.

Ada tiga kelurahan yang masing-masing membuat KUBE dan terdiri dari puluhan ibu-ibu. Mereka memilih usaha dengan penyesuaian kemampuan dasar dan kekayaan di desa masing-masing. Kelurahan pertama membuat usaha di bidang pertanian. Mereka menanam berbagai macam mpon-mpon seperti jahe, kunyit, lombok, dan lain-lain. Kelurahan kedua membuat usaha telor asin dengan berbagai varian rasa dan dilabeli merk mereka. Kemudian kelurahan terakhir membuat usaha fashion yakni batik tulis warna alam dan lurik.

Dari Kota Solo saya mengendarai sepeda motor sekitar 2 jam untuk sampai ke kelurahan pertama. Jalan aspal naik turun dan kadang berlubang harus saya lahap. Untungnya ada hamparan hijau sawah kiri dan kanan yang lumayan menyegarkan mata. Seperti layaknya peliputan biasa, saya datang, wawancara, mengambil foto, lalu pulang membuat berita. Namun, setelah saya tiba di sana, ternyata teman-teman relawan PKH sudah menanti saya dengan pakaian seragamnya. Jujur, saya kaget waktu itu karena satu orang saya “dikeroyok” sekitar 6 orang relawan dan petugas dinas (baca juga: Cerita Tentang Perempuan-Perempuan Hebat di Bayat).

Mereka kemudian mengajak saya bertemu ibu-ibu KUBE kelurahan pertama. Setelah sampai, ternyata mereka juga ramai-ramai, sekitar 6 orang waktu itu. Resmi saya benar-benar merasa dirajakan sebagai tamu. Sambutan mereka luar biasa. Dengan ramahnya mereka bercerita tentang tanaman yang mereka tanam di tanah yang pinjaman kelurahan. Hasil panen nantinya akan diputar lagi untuk membeli pupuk, polybag, benih, dan lain sebagainya. Mereka menjual ke pasar terdekat. Memang hasilnya belum seberapa, tapi kalau melihat optimism mereka sepertinya usaha itu bakal berhasil. Mereka bilang, usaha di bidang pertanian sangat menyenangkan. Dasarnya mereka memang gemati, jadi merawat tanaman pun tak jadi soal.

Setelah selesai wawancara dan mengambil foto, saya datang ke ibu-ibu KUBE kelurahan kedua. Kali ini mereka tengah melakukan aktivitas produksi telor asin. Di rumah seorang anggota, saya dijamu lagi dan disuruh mencicipi telor asin yang sudah matang. Dan enak, saya tak bohong. Waktu itu banyak sekali ibu-ibu yang hadir, ada sekitar 10 orang  yang mendapat bagian pekerjaan sendiri. Ada yang merebus telor, ada yang mengolesinya dengan tanah liat, ada yang memendamnya ke tanah, dan ada yang membersihkan telor yang siap jual. Lagi-lagi mereka sangat bersemangat meski tahu margin produk mereka tak terlalu besar. Bila dipatok dengan harga yang lebih tinggi, mereka takut telor asin mereka tak laku. Mereka mengakali dengan menambah jumlah perkaliannya alias memperbanyak produksi dan melebarkan luasan pasar. Usaha kolektif itu pun membuahkan hasil dan terus meningkat setiap bulannya.


Ibu-ibu tengah membuat telor asin (Foto: Terasolo.com)

Hari sudah semakin sore. Peliputan itu menjadi peliputan terpanjang saya. Saya hitung, sudah sekitar hampir 4 jam saya di sekitaran Kecamatan Bayat dan masih ada satu lagi KUBE yang harus dikunjungi. Kami sampai di sana dan sejurus itu saya benar-benar takjub. Kali ini ada 25 ibu-ibu yang rela menunggu saya yang hanya seorang diri melakukan peliputan. Mereka tetap sumringah ketika saya datang, padahal katanya mereka sudah menunggu berjam-jam. Saya pun meminta maaf karena peliputan di dua kelurahan sebelumnya terlalu lama. Di sana saya dijamu dengan sangat baik.

Sepulang dari sana saya mendapat pelajaran tentang guyubnya para pelaku UMK dalam berusaha. Bayangkan ada puluhan kepala yang secara otomatis tersistem dan punya jobdesk masing-masing tanpa mereka punya keahlian manajemen sebelumnya. Sebuah bisnis alami yang lahir dari keguyuban antar tetangga. Kerukunan itu lah esensinya. Mereka sepertinya berusaha bukan untuk mencari uang, tapi mencari kerukunan. Bila ada untungnya, mereka anggap itu bonus. Dan yang paling mengharukan dari seharian itu adalah ketika saya pulang, saya masih diberi oleh-oleh gratis. Saya diberi jahe, telor asin, keripik, dan makanan lainnya. Betapa baiknya mereka.

Bahagianya Penjaja Wedangan Berusia Senja

Salah satu karakteristik masyarakat Solo yang khas adalah doyan begadang. Jangan heran bila di gang-gang sempit kalian masih menemui sekumpulan orang tengah berbincang ria. Karakteristik itu pun diakomodir oleh wedangan-wedangan yang seolah menjadi spot mereka. Wedangan sama dengan HIK atau angkringan yang menjual aneka wedang, gorengan, sate-satean, dan yang paling terkenal, nasi kucing.

Tak jauh dari Kota Solo, tepatnya di ruas jalan raya Karanganyar-Matesih, ada satu tempat wedangan yang katanya paling tua di Solo dan sekitarnya. Wedangan Mbah Loso sudah berumur 50 tahun lebih. Sang empunya sendiri sudah meninggal dunia dan kini digantikan oleh Mbah Wiji, istrinya. Mbah Wiji kira-kira berusia 78 tahun, usia yang tak seharusnya masih bekerja. Namun, bila tujuan mendirikan usaha hanya mencari materi, kalian salah menanyakannya ke Mbah Wiji.


Mbah Wiji tengah melayani pembeli (Foto pribadi)

Wawancara dengan Mbah Wiji tak seperti wawancara biasa, malah lebih seperti Simbah yang menasehati cucunya. Topik kita saat itu tetap seputar usaha wedangannya. Mbah Wiji dan Alm. Mbah Loso ternyata bukan tanpa perjuangan mendirikan usaha. Mereka sempat gonta-ganti jualan, mulai dari soto hingga akhirnya bertemu pikulan wedangan.

Zaman dulu, wedangan dipikul dan dijajakan berkeliling. Tak seperti sekarang yang menempati satu tempat kemudian pelanggan datang sendiri. Mereka berkeliling mulai dari alun-alun hingga tempat yang ada pertunjukkan wayangnya. Pokoknya dimana ada spot ramai, di sana mereka jualan. Perjuangan itu dilakukan mereka bertahun-tahun hingga akhirnya menetap dan punya banyak pelanggan. Tak hanya datang dari Solo dan sekitarnya saja, para pelanggan datang dari luar karesidenan seperti Jogja, Magelang, Madiun, dan lainnya. Bahkan tak jarang mereka sengaja datang ke sana untuk menikmati teh khas buatan Mbah Wiji.

“Wedangan Mbah Loso” memang terkenal dengan tehnya yang ginasthel; legi, panas, kenthel (manis, panas, dan kental). Teh itu merupakan ramuan dan campurannya ditemukan sendiri oleh Alm. Mbah Loso dengan menggabungkan beberapa merk teh.  Ramuan itu terkenal dengan sebutan Pak Jenggot Balapan Nyapu Gardu atau gabungan dari the Jenggot, Balapan, Nyapu, Gardu, dengan takaran yang hanya diketahui oleh Mbah Wiji dan Alm. Mbah Loso (baca juga: Terkenal Karena Pak Jenggot Balapan Nyapu Gardu).

Saya ke sana dan mencicipinya. Kebetulan sore itu hujan sangat lebat jadi teh buatan tangan Mbah Wiji terasa bertambah nikmat. Saya lontarkan satu pertanyaan tentang kenapa di usia yang sudah sangat senja beliau tetap bekerja. Dengan bahasa Jawa dia menjawab bahwa dia lebih senang berada di wedangannya. Alm. Mbah Loso sudah tak ada, temannya kini tinggal para pelanggan yang masih setia. Mbah Wiji mengaku selalu tak sabar menunggu sore hari tiba, demi bisa bercengkerama dengan para pelanggannya.

Kemudian saya lanjutkan pertanyaan, kira-kira sampai kapan Mbah Wiji tetap berjualan seperti ini? Dia bilang sampai dia tak dapat bekerja lagi atau kalau Tuhan menghendaki, sampai dia benar-benar tidak ada. Meski teh dibuat sendiri oleh Mbah Wiji, untuk melayani para pembeli, dia dibantu anaknya. Anak-anaknya itulah yang menjadi saksi hidup perjuangan Mbah Wiji dan Alm. Mbah Loso. Mereka bisa lulus sekolah dan akhirnya berkeluarga seperti ini juga berkat pikulan yang setiap hari dibawa berkeliling.


Di wedangan itu saya bercengkrama lama. Saya dapat berita bagus, dapat kenalan baru, dapat teh yang nikmat, gorengan yang hangat, ditambah bonus pelajaran tentang hidup. Dari Mbah Wiji saya mengerti bahwa apapun pekerjaanmu, bahagia itu harus nomor satu. Sekian.

9.15.2015

Saya Berbagi Lewat Cerita, Kamu?

glowglowlove.com

Rasa-rasanya sampai sekarang saya sudah berhasil memadukan jutaan kata, tapi masih saja merasa tak ada yang bermakna. Kadang penulis dan pembaca melupakan esensi dari bacaan. Sadarkah kalian bahwa ketika kalian membaca tulisan saya, kalian digiring untuk memahami pengalaman saya dengan versi kalian sendiri. Yang kalian baca adalah tanda, yang kalian baca hanyalah karakter yang disepakati oleh semesta sebagai definisi akan sesuatu. Dan inti dari semuanya adalah pengalaman saya sebagai penulis yang diolah kembali menggunakan imajinasi kalian sendiri.

Pengalaman saya yang akan saya tulis akan berbenturan dengan pengalaman kalian sebagai pembaca. Maka dari itu tantangan bagi seorang penulis untuk meminimalisir gap itu dengan pilihan kata yang bermakna, bersastra, tapi mudah dipahami seperti halnya saya memahami tulisan saya sendiri.

Hukum itu sebenarnya berlaku bagi setiap bentuk komunikasi, tak hanya soal tulisan. Kadang saya dibuat berpikir ketika menonton film “berat”. Pada saat itu ada gap antara pengalaman sutradara dengan pengalaman saya. Satu dua kesimpulan mungkin akan saya lontarkan, tapi itu kesimpulan pribadi saya sesuai dengan pengalaman saya. Bisa saja itu bukan kesimpulan seperti yang diharapkan oleh sang sutradara. Jika ternyata benar bahwa kesimpulan pribadi saya salah, bukan lantas berarti saya salah, bukan berarti juga sutradara yang salah. Mungkin saja memang film itu tidak diperuntukkan untuk orang-orang dengan pengalaman seperti saya. Kita bicara penyampaian pesan yang efektif yang di sana pasti ada “with who” atau kepada siapa kita menyampaikan pesan.

Tapi ingat, pendapat yang saya tulis di atas pun bukan fakta. Jangan terjebak, kalian jangan terlalu cepat manggut-manggut setuju. Bisa saja saya salah. Tapi tak usah pula dibahas mana yang benar. Tidak ada yang benar, yang ada hanyalah perspektif. Dan bila dibahas mana yang benar-benar benar, tulisan ini akan sangat panjang karena musti merambah filsafat dan sejarah bagaimana orang berpikir.

Kita ambil yang paling universal saja, setuju?. Pasti kalian sadar bahwa ada satu hal yang sama dalam setiap penyampaian pesan? Yap, cerita. Setiap hari kita mendengar, melihat, membaca, dan mencium cerita. Setiap kita berkomunikasi, kita mengindra cerita. Dan lagi, coba lihat, setiap kitab suci agama mengandung cerita, prasasti zaman dulu pun bercerita. Ada budaya yang sejak manusia pertama lahir tak pernah hilang, meskipun sarana penyampainya berganti, komunikasinya berganti, zamannya berganti.

Saya bercerita, kalian menangkap dengan indera kalian, kalian masuk dalam cerita saya. Setiap tulisan yang pernah, sedang, maupun akan dibuat adalah cerita. Cerita tak akan pernah mati, tidak selama manusia masih punya indra untuk menangkap dan otak untuk memproses setiap cerita yang disampaikan.

Setiap orang butuh cerita, mereka butuh menghidupkan imajinasi, menggambarkan dirinya pada situasi orang lain atau pempersonifikasi benda mati yang ada dalam cerita sesuai dengan apa yang ada dalam imajinasi pengalamannya. Dan karena semua alasan itu (pun karena saya lulusan komunikasi yang seharusnya mengerti bagaimana efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan) saya pun akan terus bercerita. Kalian cukup berimajinasi saja.


finallyinfirst.blogspot.com


Hari ini pun dimulai dengan hari baru yang seperti kebanyakan hari, menyebalkan dan kadang tak berarti apa-apa. Waktu ya waktu, berlalu. Saya pria dengan umur matang, 25 tahun. Seperempat abad terbilang waktu yang lama bila saya mengingat apa saja keputusan yang berarti yang pernah saya buat selama itu. Saya sering terlena dan lupa akan esensi waktu. Saya bisa tulis di sini bahwa esensi waktu adalah waktu itu sendiri. Manusia, makhluk lain, dan benda-benda yang ada di semesta ini sebenarnya tidak ada, yang kekal di dalamnya hanyalah waktu. Sekarang kita tahu, permasalahannya adalah waktu. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana manusia seharusnya mengisi keniscayaan waktu? Ada yang bilang mengejar kesuksesan, ada yang bilang membahagiakan orang sekitar, ada yang bilang berjalan di jalan Tuhan. Semuanya tidak salah, hanya bila disimpulkan bahwa apa yang tengah dipikirkan mereka untuk mengisi waktu adalah berbagi.

Tapi tahukah kalian, menulisnya sangat mudah, tapi tidak untuk mempraktekkannya. Berbagi merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilakukan. Ada yang pernah rela menyerahkan yang benar-benar disayangi untuk orang lain? Angkat tangan! Kalau pun ada, saya bertaruh, pasti itu sangat berat. Mungkin kita hanya harus mengubah perspektif. Merelakannya bukan sebagai sebuah kehilangan, tetapi sebagai unsur paling kuat dari waktu, yakni berbagi.

Saya bukan pribadi yang munafik, saya akui itu berat, sangat berat malah. Saya belajar, belajar berbagi agar ke depan bisa melakukannya lebih dan lebih lagi. Dan saya percaya bahwa Tuhan bersama orang-orang yang beriman, bersabar, dan mau belajar.


7.20.2014

Woord : Kata

Ada paragraf bagus, tuturan Gerrit Achterberg, yang terselip di halaman 181 buku "Spiritual Journey: Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Najib" karangan Prayogi R. Saputra. Kurang lebih bunyinya begini:

Woord
Ik kan alleen woorden ontmoeten, u niet meer. Maar hiermee houdt het groeten aan, zozeer, dak ik wel moet geloven, dat gij luistert; zoals ik omgekeerd uw stilte in mij hoor.

Kata
Aku tahu, aku tidak akan menemukanmu lagi, hanya lewat kata dan persambungan salam, yang senantiasa terucapkan. Aku yakin, kamu pasti mendengarnya. Dan aku akan menunggu saatnya, tatkala dalam keheningan aku menemukanmu.

5.29.2014

apa yang ada di otak saat ini

Perlu 10 detik untuk melihat secangkir kopi dalam gelap. Ketemu lalu sigap mengangkat. Tangan sikut serempak dorong cangkir ke mulut. Sampailah beradu mulut dengan mulut. Sayang, kopi tinggal satu tegukkan. Sisanya ampas yang tadi mengendap. Lalu saya letakkan lagi. Pastilah bergeser beberapa centi.

Fisika dasar, aksi reaksi. Mata saksinya. Ia tolak memejam dan pilih memijar. Saya sulit tidur memang. Lalu gelap kamar jadi gamang. Cangkir kopi kembali saya angkat. Meraba seperti biasa. Lupa kalau cangkir kopi tinggal ampas.

Saya bawa kopi ke dapur kos. Tertuang air panas dari termos. Tambah lagi kopi dan gula. Lalu mata semakin menjadi saja. Percaya, berusaha tidur pun percuma. Karma. Tapi, nyatanya saya terus minum kopi, meski tahu konsekuensi.

"Dasar bandel!" Ibu saya pernah memuji anaknya yang tetap nekat naik gunung meski diguyur hujan deras. Toh, saya berhasil ke puncak waktu itu. Kini jam sudah pukul 4. Waktunya istirahat. Tapi kopi masih separo. Saya bandel, saya habiskan semua dan nekat buat lagi esok hari.