Dunia itu. Aku ingat benar dunia
yang itu. Dunia itu yang dulu membuatku mabuk kepayang, putar-putar di labirin
tanpa pintu keluar. Di dunia seperti itu semua bisa terjadi. Awan cerah, hujan
gerimis, bianglala, kita yang tentukan. Semua serba sekehendak hati, karena apa
pun yang dilakukan pasti lah semua berwarna. Tak terkecuali hitam putih
sekalipun. Kontras, gradiennya jelas. Mau indah atau tidak, semua terjadi. Ikan
terbang, burung berenang, semua terjadi. Edelweis tumbuh di atas pohon ekaliptus
atau meranak yang tiba-tiba sekecil bayam. Semua seperti nyata.
Itu lah mengapa saat ini kubangun
tembok setebal-tebalnya dan setinggi-tingginya. Benar, agar aku tak kembali
lagi menengok dunia itu. Duniaku yang sekarang kutinggali adalah dunia yang sebenarnya.
Dunia yang dihuni makhluk sama sepertiku. Di sini ikan berenang, bukan terbang.
Di sini semua dapat dirasa indra, semuanya logis. Di sini, iya di sini.
Tak kusangka sejauh ini. Begini
saja, kita buat semuanya sederhana. Karena kedua dunia ini punya kesamaan
tentang kemungkinan, maka mungkin saja kita jumpa di kehidupan selanjutnya.
Mungkin saja jika kita beruntung.
Berat. Tapi lega. Akhir kata,
selamat tinggal dunia dongengku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar