8.30.2012

Gift For Friends II

Ini kedua kalinya menemani teman untuk datang ke acara wisuda pacarnya. Ada baiknya juga punya pekerjaan ini. Pertama, bisa saja nular wisuda secepatnya. Dan kedua, semoga cepat punya pacar yang jika dia wisuda, saya bisa datang :)

Anyway, this is it. Nihayatul's Graduation




8.29.2012

Dunia Dongeng


Dunia itu. Aku ingat benar dunia yang itu. Dunia itu yang dulu membuatku mabuk kepayang, putar-putar di labirin tanpa pintu keluar. Di dunia seperti itu semua bisa terjadi. Awan cerah, hujan gerimis, bianglala, kita yang tentukan. Semua serba sekehendak hati, karena apa pun yang dilakukan pasti lah semua berwarna. Tak terkecuali hitam putih sekalipun. Kontras, gradiennya jelas. Mau indah atau tidak, semua terjadi. Ikan terbang, burung berenang, semua terjadi. Edelweis tumbuh di atas pohon ekaliptus atau meranak yang tiba-tiba sekecil bayam. Semua seperti nyata.

Itu lah mengapa saat ini kubangun tembok setebal-tebalnya dan setinggi-tingginya. Benar, agar aku tak kembali lagi menengok dunia itu. Duniaku yang sekarang kutinggali adalah dunia yang sebenarnya. Dunia yang dihuni makhluk sama sepertiku. Di sini ikan berenang, bukan terbang. Di sini semua dapat dirasa indra, semuanya logis. Di sini, iya di sini.

Tak kusangka sejauh ini. Begini saja, kita buat semuanya sederhana. Karena kedua dunia ini punya kesamaan tentang kemungkinan, maka mungkin saja kita jumpa di kehidupan selanjutnya. Mungkin saja jika kita beruntung.

Berat. Tapi lega. Akhir kata, selamat tinggal dunia dongengku!

Kemauan II : We’ll Kill The Mainstream! (Edisi Lebaran)

Lebaran. Benar, lebaran agaknya tak asing dengan sungkeman, saling memaafkan, dan ketupat opor. Banyak orang punya teori sendiri-sendiri untuk memaknai tamu tahunan bernama lebaran ini. Sesuai pedoman hidup yang baru, “everyday is holyday”, “no regret life”, “bla, bla, bla”, khusus untuk saya, lebaran tahun ini akan dinobatkan menjadi lebaran paling no mainstream.

H+1. Semua berjalan lancar sebelum hari ini, otak sudah mulai kaku. Membayangkan makanan yang akan masuk hari itu, badan sudah terasa sangat lemas. Akhirnya dengan seratus persen sadar, keputusan untuk pergi ke stadion di tengah kota paling bersinar ini pun diambil. Benar, jam sembilan pagi kita lari-lari lima putaran tanpa berhenti. Kaki bergoyang ogah, dada sesak karena aturan nafas yang tak beraturan. Di saat yang lain dandan mlithit, pakai kopyah, menghidupkan kendaraan, memenuhi jalan raya, untuk berangkat sungkeman, saya ajak si Igling merasakan bagaimana menjadi “alien”. Tak heran apabila di stadion yang luas itu hanya ada dua “alien” yang mencoba bermanja dengan matahari, tapi bermusuhan dengan kaki. Di samping itu, orang-orang lain masih normal, masih sungkeman.

H+2. Selasa pagi yang cerah, suasana yang sayang bila dilewatkan dengan hal-hal yang biasa. Sembilan puluh sembilan persen manusia akan menggunakan suasana ini untuk pergi berlibur ke tempat-tempat indah. Pantai, mall, kebun binatang, atau masih sungkeman bersama keluarga. Tetapi saya pilih yang satu ini, ke sawah. Bagi alien yang berdedikasi tinggi, pantang rasanya memalingkan muka melihat jagung-jagung yang kekuning-kuningan sudah melambai-lambai siap untuk dipetik-petik. Bukan, kali ini bukan dua alien yang bergerak-gerak, sekarang malah tiga. Bapak alien sedunia akhirnya turun tangan juga. Mungkin hatinya tersentuh melihat betapa mudahnya anak buahnya bergembira. Sederhana, sangat sederhana, sesederhana memetik jagung di sawah saat suasana masih bau lebaran.

inilah ladang jagung itu

rolasan


H+3. Setelah seperti biasa putar-putar tak tentu arah, pikiran mengarah ke Solo. Teringat pada si Juki yang kemungkinan besar masih terantai manis di kos. Tanpa menimbang-nimbang keperluan lain, sore hari kami telah berada di Kota Budaya itu. Masih mainstream, kita beranjak menonton “Perahu Kertas”-nya Hanung dulu. Film begenre drama yang disadur dari novelnya Dee berjudul sama. Bukan, bukan itu main party-nya. Setelah seharian bermotor dari satu kota ke kota lain, tepat jam 22.30 saya putuskan ajak si Juki pulang ke kota asal. Saya menaikinya, sedangkan Igling bagai flow rider siap di depan, jaga-jaga andai saja ada truk nakal yang mau mencium si Juki. Karena sudah biasa melewati jalanan perkotaan dan prediksi bahwa jalan kota pasti macet arus balik, terpilihlah jalan pedesaan yang kurang penerangan untuk dilewati. Sepi, gelap, dingin, di tengah sawah, dan bersepeda. Sensasional! Teriakan-teriakan kurang penting lah yang akhirnya dapat memecah keheningan. Sampai kota asal, tangan kaki pegal. Dua jam yang melelahkan sekaligus mengukuhkan jabatan saya sebagai alien berdedikasi.

Akhirnya, dari tiga hari penuh kejutan itu, ada yang terbangun juga. Benar, kesadaran. Kesadaran untuk selalu mengikuti kata hati. Kesadaran untuk berani to be different. Kesadaran untuk lebih mengutamakan cinta dalam melakukan segala hal. Kesadaran itulah yang akan menjadi pedoman dalam melakukan semuanya. Seperti kata pepatah tua, untuk apa kaya raya kalau hati merana, la, la, la, la.

8.13.2012

MASA KEMATIAN LAKI-LAKI PEMALU

Saat ini, di detik ini, tak ada apapun untuk dibagikan kepada laki-laki pemalu. Dulu, laki-laki pemalu seperti pemancing ikan tradisional -dengan umpan seadanya- di antara ratusan ribu pengguna alat berlistrik, jaring raksasa, bahkan pukat harimau. Sekarang, laki-laki pemalu tak ubahnya pemancing ikan tradisional tanpa umpan. Sendiri, mati kelaparan karena tak dapat ikan.

Saat ini, detik ini, tak ada lagi tempat untuk laki-laki pemalu. Di tengah kota, laki-laki lain sudah lebih dulu telanjang. Di kampung, laki-laki lain ikut-ikutan hijrah ke kota untuk telanjang. Semua serba telanjang. Sedang laki-laki pemalu sangat tanggung, bangga karena warna-warni celana dalamnya.

Saat ini, detik ini, adalah kematian untuk laki-laki pemalu. Semua yang malu harus membuang kemaluan, agar bisa diterima laki-laki lain yang sudah tak berkemaluan. Yang lebih dulu tanpa kemaluan, lebih dulu asik jalan petantang-petenteng.

Saat ini, detik ini, laki-laki pemalu harus berubah. Bukan baik atau tidak baik, tapi laki-laki pemalu memang tetap harus berubah. Harus.

8.09.2012

Narasi 30 Detik


HIDUP itu bak putaran. Ia akan berputar terus menerus. Pusing katamu? Itulah hidup. Seperti kepulan asap lalu hilang. Seperti menghirup jelaga sebatang lisong, ah.. puas sejenak. Berhenti di kata sejenak. Ini yang membuat beda. Mengharap sinar yang sewaktu-waktu datang. Hidup memang rumit, maka itu kita butuh tak sekedar kelima indera, tapi juga…. PERASAAN

NB: Gambar geraknya menyusul di next post

8.05.2012

LAWAS

HUJAN

Orang salah mengira ketika otaknya bekerja dan berpikir bahwa saat hujan, kita hanya menjadi makhluk lumpuh tanpa daya. Ingat, selalu ada pelangi ketika hujan reda, dan saat menunggunya menjadi waktu yang paling mendebarkan, lebih hebat dari sekedar  menanti benda besi beroda yang tak ada bosan berputar-putar di seputar kota. Pelangi mencul bagai perawan yang masih malu-malu, muda dan anggun, dan perlahan semburatnya menyeringai ketika senja datang -seperti sekarang-. Angin sepoi berhembus dari barat, menggerakan pohon oak dan bakung, mereka menari, fasih bagai tak ada waktu. Saya berdiri tepat di pelataran, hampir bersebelahan dengan bunga anggrek yang terlentang, bergantung pada kokohnya mangga. Simponi rintik air hujan mengalahkan fur elise. Saya beranjak ke dalam, menata jemari kemudian melantun. Sekarang fur elise menderu bersama gerimis, piano klasik bersahabat dengan melodi alam, seolah nada-nada menerjang dan bermain asyik seperti kanak-kanak. Ketika jemari tak bisa menahan laju hasrat, dari pucuk celah jendela, di seberang yang seharusnya jauh, terlihat samara-samar wajah halus. Melodi semakin menerjang tak terhalang. Wajah itu perlahan menipis dan menghilang. Payung marun yang terbawa seolah merona jingga tak pudar-pudar. Love at the first sight, maybe…



doc by www.sangbaco.com



Pagi, halimun bercampur sepoi datang menjenguk kabar. Entah siapa yang memulai, ketika keduanya saling bergumul intim menyerang. Saya hampir kalah tanpa daya. Semburatnya matahari pun sangar nanar tepat di muka, pukul 06.00 WIB kala itu. Sepersekian detik saya amnesia pada diri saya, kehidupan, sekitar, dan apa itu cinta. Haru membiru dan semakin sendu. Sepersekian detik kemudian saya sadar seperti terperanjat, bergegas membaui badan dengan air sabun, dan berpakaian jas kemudian. Eirik dan Erlend pun mendayu dengan dawai gitar mengiringi pagi itu. “...I’d rather dance than talk withyou...”, senandung mistis nan magis. Saya belum sadar benar karena waktu begitu cepat, atau mungkin saya yang akan terlambat bekerja. Duduk berdua dengan secangkir kopi, dan berbagi kisah, saya dengan hari-hari sepi saya, dan “dia” dengan kebanggaannya ketika bertemu jodoh sang gula. “Dia” mengharu, ketika bercerita bahwa “dia” sebelumnya bukan apa-apa kecuali si pahit. Namun, ketika gula yang manis mencintainya, hidup mereka menjadi indah. Perbincangan yang tak berkonklusi berakhir dengan perut saya yang sedikit kembung. Saya berlari terburu-buru. Diruang tamu masih terlihat wajah Mattew yang menyeringai, sayang dia kalender. Saya mendekat padanya dan mencari tahu sebenarnya apa hari ini. Sangat bodoh, bagai dinding yang tertawa malu melihat saya berpakaian rapi di hari Minggu, hari dimana bagi sebagian besar orang spesial karena dapat menghabiskannya dengan orang-orang terkasih, tapi untuk saya si Minggu tak ada bedanya dengan Senin, Selasa, Rabu, dan kawan-kawan. Ketika itu Eirik dan Erlend masih senantiasa bernada, tak bosan memecah kesunyian pagi, saya sekejap berpikir, apa yang akan saya lakukan di hari panjang yang sepi ini, pergi? tidur? membersihkan rumah? Sebenarnya yang saya butuh hanya “something new”.

Bernada tak berirama siang tak terik dan gerimis bergumul. Sebentar tapi membekas, gerimis menghilang diganti pesona mejiku. Pelangi muncul lagi, bagai di langit ketujuh warnanya pudar samar-samar. Masih dengan piano klasik, 5 menit kemudian, berganti dengan gitar tua berdawai nilon. Lentikan jari-jari tak berdosa mulai menghentak, menggugah setan kamar yang tak berpakaian dan lorong-lorong setengah lingkaran dibawah ranjang. Rona kemarin tak hinggap kali ini, bak tak ada anaphalis javanica untuk dihirup dan dipamerkan keabadiannya. Sementara gitar tua itu masih tertawa, kami (saya dan waktu) bergumam pada dingin udara melayangkan buah pikiran kami yang tak kunjung terjawab. Dimana rona kemarin yang berwarna merah jambu dan di kejauhan hitam pekat mengintainya. Tak berselang lama, langkah kaki mungil terdengar rapi. Seperti kaki yang berjajar dan tak tinggi ketika mengangkatnya berjalan. Suara lirih itu mendekat dan semakin dekat. Apa yang berbunyi di jantung? Waktu yang seketika berhenti. Padam dan sunyi.


P.S. Ini adalah tulisan lawas, mungkin tertulis pada pertengahan 2008, berarti sekitar 3 tahun lalu. Paragraf pertama tulisan ini pernah terpampang di blog lama, kemudian dilanjutkan tapi belum sempat di-publish sebelum akhirnya blogger sepertigaakhirmalam.blogspot.com tidak bisa diakses. Tulisan masih dengan diksi yang bikin saya ketawa, jadi jangan sungkan untuk meringis. Hihi

8.04.2012

Chapter 4 (Lagi)

for Green Sands and the Cardigans


Roll kisah ini berputar kembali tepat ketika tak sengaja jari menyeret cursor laptop dan mulai mengais folder bernama “video klip”. Kemudian otak menyuruh jari ini untuk membuka sebuah gambar gerak dan mengintipnya. Ini lah roll kisah itu. Sebuah cerita yang bukan dari sisi seharusnya, tapi dari sini, dari sisiku.





What if, kita pakai konsep klasik? Tengok saja “Carnival”-nya The Cardigans!” usulku di sebuah forum rapat kecil-kecilan membahas lagu apa yang akan dimainkan saat tugas Musical Show.

Tak penting membahas tugas Musical Show yang hanya sebuah tugas dari rentetan tugas Mata Kuliah 

Spesialisasi Video 4. Yang lebih penting adalah kenapa musik klasik yang saat itu ada di pikiran? Kebetulan? Pastilah lebih dari itu. Apapun itu, seperti didatangi intuisi, aku resmi memilih The Cardigans.

Setelah ini adalah bagian terpentingnya. Dia datang, benar dia. Dia yang sudah berbulan-bulan ini menyentuh titik lemah di otakku, kemudian menyuntikan semacam virus yang mengganggu kekebalan fokusku. Hingga setiap dia datang, hanya fokusnya yang tertangkap.

Iya, kita lagi-lagi satu kelompok. Mukjizad? Ah, ini tak lebih dari sebuah kebetulan belaka. Kalau dihitung-hitung, ini kali ketiga kita kebetulan satu kelompok.

Dia terlambat, duduk, tanpa aba-aba. Setelah yang lain sudah lebih dulu duduk manis bersila dan membicarakan konsep yang ada di kepala masing-masing, kini tiba gilirannya untuk memberi usul. Beberapa menit kemudian aku memperhatikan.

Tanpa tahu konsep apa saja yang tertampung lebih dulu, dia akhirnya menarip nafas panjang, siap mengusulkan sesuatu. Yang ini sepertinya dia sangat mantap. Terlihat muka seriusnya yang seperti memaksa yang lain untuk mencurahkan semua perhatian kepadanya.

“Bagaimana kalau konsep klasik misal The Cardigans???..

Sama.

Mukjizad? Ah, ini tak lebih dari sebuah kebetulan belaka.