Lebaran. Benar, lebaran agaknya
tak asing dengan sungkeman, saling memaafkan, dan ketupat opor. Banyak orang
punya teori sendiri-sendiri untuk memaknai tamu tahunan bernama lebaran ini.
Sesuai pedoman hidup yang baru, “everyday is holyday”, “no regret life”, “bla,
bla, bla”, khusus untuk saya, lebaran tahun ini akan dinobatkan menjadi lebaran
paling no mainstream.
H+1. Semua berjalan lancar
sebelum hari ini, otak sudah mulai kaku. Membayangkan makanan yang akan masuk hari
itu, badan sudah terasa sangat lemas. Akhirnya dengan seratus persen sadar,
keputusan untuk pergi ke stadion di tengah kota paling bersinar ini pun
diambil. Benar, jam sembilan pagi kita lari-lari lima putaran tanpa berhenti.
Kaki bergoyang ogah, dada sesak karena aturan nafas yang tak beraturan. Di saat
yang lain dandan mlithit, pakai
kopyah, menghidupkan kendaraan, memenuhi jalan raya, untuk berangkat sungkeman,
saya ajak si Igling merasakan bagaimana menjadi “alien”. Tak heran apabila di
stadion yang luas itu hanya ada dua “alien” yang mencoba bermanja dengan
matahari, tapi bermusuhan dengan kaki. Di samping itu, orang-orang lain masih
normal, masih sungkeman.
H+2. Selasa pagi yang cerah,
suasana yang sayang bila dilewatkan dengan hal-hal yang biasa. Sembilan puluh sembilan
persen manusia akan menggunakan suasana ini untuk pergi berlibur ke
tempat-tempat indah. Pantai, mall, kebun binatang, atau masih sungkeman bersama
keluarga. Tetapi saya pilih yang satu ini, ke sawah. Bagi alien yang
berdedikasi tinggi, pantang rasanya memalingkan muka melihat jagung-jagung yang
kekuning-kuningan sudah melambai-lambai siap untuk dipetik-petik. Bukan, kali
ini bukan dua alien yang bergerak-gerak, sekarang malah tiga. Bapak alien
sedunia akhirnya turun tangan juga. Mungkin hatinya tersentuh melihat betapa
mudahnya anak buahnya bergembira. Sederhana, sangat sederhana, sesederhana
memetik jagung di sawah saat suasana masih bau lebaran.
![]() |
inilah ladang jagung itu |
![]() |
rolasan |
H+3. Setelah seperti biasa
putar-putar tak tentu arah, pikiran mengarah ke Solo. Teringat pada si Juki
yang kemungkinan besar masih terantai manis di kos. Tanpa menimbang-nimbang
keperluan lain, sore hari kami telah berada di Kota Budaya itu. Masih mainstream, kita beranjak menonton
“Perahu Kertas”-nya Hanung dulu. Film begenre drama yang disadur dari novelnya
Dee berjudul sama. Bukan, bukan itu main
party-nya. Setelah seharian bermotor dari satu kota ke kota lain, tepat jam
22.30 saya putuskan ajak si Juki pulang ke kota asal. Saya menaikinya,
sedangkan Igling bagai flow rider
siap di depan, jaga-jaga andai saja ada truk nakal yang mau mencium si Juki.
Karena sudah biasa melewati jalanan perkotaan dan prediksi bahwa jalan kota
pasti macet arus balik, terpilihlah jalan pedesaan yang kurang penerangan untuk
dilewati. Sepi, gelap, dingin, di tengah sawah, dan bersepeda. Sensasional!
Teriakan-teriakan kurang penting lah yang akhirnya dapat memecah keheningan.
Sampai kota asal, tangan kaki pegal. Dua jam yang melelahkan sekaligus
mengukuhkan jabatan saya sebagai alien berdedikasi.
Akhirnya, dari tiga hari penuh
kejutan itu, ada yang terbangun juga. Benar, kesadaran. Kesadaran untuk selalu
mengikuti kata hati. Kesadaran untuk berani to
be different. Kesadaran untuk lebih mengutamakan cinta dalam melakukan
segala hal. Kesadaran itulah yang akan menjadi pedoman dalam melakukan
semuanya. Seperti kata pepatah tua, untuk
apa kaya raya kalau hati merana, la, la, la, la.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar