8.29.2012

Kemauan II : We’ll Kill The Mainstream! (Edisi Lebaran)

Lebaran. Benar, lebaran agaknya tak asing dengan sungkeman, saling memaafkan, dan ketupat opor. Banyak orang punya teori sendiri-sendiri untuk memaknai tamu tahunan bernama lebaran ini. Sesuai pedoman hidup yang baru, “everyday is holyday”, “no regret life”, “bla, bla, bla”, khusus untuk saya, lebaran tahun ini akan dinobatkan menjadi lebaran paling no mainstream.

H+1. Semua berjalan lancar sebelum hari ini, otak sudah mulai kaku. Membayangkan makanan yang akan masuk hari itu, badan sudah terasa sangat lemas. Akhirnya dengan seratus persen sadar, keputusan untuk pergi ke stadion di tengah kota paling bersinar ini pun diambil. Benar, jam sembilan pagi kita lari-lari lima putaran tanpa berhenti. Kaki bergoyang ogah, dada sesak karena aturan nafas yang tak beraturan. Di saat yang lain dandan mlithit, pakai kopyah, menghidupkan kendaraan, memenuhi jalan raya, untuk berangkat sungkeman, saya ajak si Igling merasakan bagaimana menjadi “alien”. Tak heran apabila di stadion yang luas itu hanya ada dua “alien” yang mencoba bermanja dengan matahari, tapi bermusuhan dengan kaki. Di samping itu, orang-orang lain masih normal, masih sungkeman.

H+2. Selasa pagi yang cerah, suasana yang sayang bila dilewatkan dengan hal-hal yang biasa. Sembilan puluh sembilan persen manusia akan menggunakan suasana ini untuk pergi berlibur ke tempat-tempat indah. Pantai, mall, kebun binatang, atau masih sungkeman bersama keluarga. Tetapi saya pilih yang satu ini, ke sawah. Bagi alien yang berdedikasi tinggi, pantang rasanya memalingkan muka melihat jagung-jagung yang kekuning-kuningan sudah melambai-lambai siap untuk dipetik-petik. Bukan, kali ini bukan dua alien yang bergerak-gerak, sekarang malah tiga. Bapak alien sedunia akhirnya turun tangan juga. Mungkin hatinya tersentuh melihat betapa mudahnya anak buahnya bergembira. Sederhana, sangat sederhana, sesederhana memetik jagung di sawah saat suasana masih bau lebaran.

inilah ladang jagung itu

rolasan


H+3. Setelah seperti biasa putar-putar tak tentu arah, pikiran mengarah ke Solo. Teringat pada si Juki yang kemungkinan besar masih terantai manis di kos. Tanpa menimbang-nimbang keperluan lain, sore hari kami telah berada di Kota Budaya itu. Masih mainstream, kita beranjak menonton “Perahu Kertas”-nya Hanung dulu. Film begenre drama yang disadur dari novelnya Dee berjudul sama. Bukan, bukan itu main party-nya. Setelah seharian bermotor dari satu kota ke kota lain, tepat jam 22.30 saya putuskan ajak si Juki pulang ke kota asal. Saya menaikinya, sedangkan Igling bagai flow rider siap di depan, jaga-jaga andai saja ada truk nakal yang mau mencium si Juki. Karena sudah biasa melewati jalanan perkotaan dan prediksi bahwa jalan kota pasti macet arus balik, terpilihlah jalan pedesaan yang kurang penerangan untuk dilewati. Sepi, gelap, dingin, di tengah sawah, dan bersepeda. Sensasional! Teriakan-teriakan kurang penting lah yang akhirnya dapat memecah keheningan. Sampai kota asal, tangan kaki pegal. Dua jam yang melelahkan sekaligus mengukuhkan jabatan saya sebagai alien berdedikasi.

Akhirnya, dari tiga hari penuh kejutan itu, ada yang terbangun juga. Benar, kesadaran. Kesadaran untuk selalu mengikuti kata hati. Kesadaran untuk berani to be different. Kesadaran untuk lebih mengutamakan cinta dalam melakukan segala hal. Kesadaran itulah yang akan menjadi pedoman dalam melakukan semuanya. Seperti kata pepatah tua, untuk apa kaya raya kalau hati merana, la, la, la, la.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar