12.29.2013

oksigen

Aku lah api. Aku sangar membakar. Aku sulap kayu jadi abu. Rumah ku lahap hingga atap


Aku tak terkalahkan. Tak pernah ada orang berani menyentuhku. Ku ubah air jadi angin. Ku ubah besi jadi angin. Ku ubah semua jadi angin.


Aku lah api. Orang teriak sana sini. Mereka menggeliat kepanasan. Mereka menangis kesakitan. Haha, aku lah si perkasa api.


.....

.....

.....


Hei api, aku lah yang membuatmu. Aku yang menyalakanmu. Aku lembut membalut. Aku segar. Aku yang membuat orang tersenyum setiap pagi.


Aku, aku lah yang kau perlukan. Kamu bergantung padaku. Mereka juga. Mereka menghirupku. Mereka menikmatiku.


Aku datang perlahan lalu beri kalian kehidupan.


12.18.2013

pulangpulangpulangakukekedirianyangpalingsendiri

Rumah. Pulang. Rumah. Pulang. Kediaman. Sendiri. Rumah. Pulang. Rumah. Pulang. Mari pulang hingga ke kedirian yang paling sendiri.


Saya tembahkan definisi ini itu. Kalau rumah bukan bangunan. Kalau pulang tidak berarti kembali. Atau kembali tak selalu ke rumah bahkan bisa berarti menuju pada titik dimana diri sendiri benar-benar ambil kendali. Duduk lah ia di kursi tahta. Maka yang lain: ego, rutinitas, apapun itu tunduk pada sabda pandita ratu. Semua pulang, kembali ke suasana rumah yang jauh lebih intim daripada sekedar persegi rumah singgah untuk berteduh kala hujan batu melagu.


Ada satu hal yang dimaknai dalam -sangat dalam- tentang suasana rumah untuk dipulangi. Kelak bakal tahu bahwa rumah untuk pulang ini ada di cikal bakal diri kita. Yang mendiami berhari-hari hingga bahkan topan di luar pun bak sepoi.


Ada perasaan ingin kembali tapi sendiri. Seperti sendiri itu rumah bagi diri sendiri dan berminggu-minggu selama sepuluh tahun penuh, diri akan terus menuju kediaman sendiri, rumah bagi kedirian.


Ada yang dibalut dan dimaknai sendu saat pulang ini benar menuju rumah kesendirian. Perban melingkari jasat yang hanya perupa di dunia, pemanis untuk lakon tiap harinya. Lakon ini bukan main-main. Seperti anak yang berperan jadi Sungai Bengawan. Diam dia diam. Riaknya yang menghatur segala yang rapuh. "Manusia rapuh, manusia peluh" ia teriak sambil bertelanjang dada. Maka terguyur sudah se-Surakarta.


Lalu ia kembali pulang. Bukan perupa,bukan pelagu. Namun ia rupa, ia lagu. Ketahuilah bahwa sesegera matahari menuju ubun-ubun ia akan datang berganti rupa. Lalu pilihan menyodorkan diri, menyerah, meminta diperkosa. Si anak melepas celana dan kepergok menjadi jutaan warna yang mengudara. Rumahnya, rumah bagi diri sendiri yang semua makhluk tahu itu rumah, jauh dari kesan murah atau mewah.


Pulang. Rumah. Rumah. Kembali. Intim. Sendiri. Rumah. Pulang.


Sini-sinilah rumahku. Tempat semua yang khusyuk berkumpul. Menawan biduan bersuara merdu. Mendekap perawan yang paling biru. Lalu membingkainya menjadi alur kehidupan yang berotasi tiap detik, jam, hari, minggu, bulan, tahun.


Sini-sini kedirian. Atur aku! Aku budakmu! Saya juga! Ane juga! Kula juga! Gue juga! Maka aku aku aku aku aku dan masih sejuta aku yang lain sepakat melepas baju dan pulang ke rumah.


11.25.2013

11.15.2013

akulah jamak

Tiba waktunya kita benar-benar sendiri. Iya sendiri. Cak Nun pernah menulis kalau aku terdiri dari banyak aku yang bebas mau dianggap siapa. Ayah, ibu, adik, kakak, suami, istri  pacar, teman, bahkan orang asing yang baru kenal tadi senja.


Dan pada akhirnya tak pernah ada yang benar-benar turut larut selain diri sendiri.


10.02.2013

bertutur tidur

Aku yang lain bicara soal tidur. Bahwa tidur bisa melewatkan sejuta kejadian yang mungkin ada. Bahwa tidur bisa menghilangkan ingatan dan menggantinya dengan absurditas bernama mimpi. Harusnya indera dibuka lama-lama agar pikiran peka. Dan tidur hanya membuyarkan semua.

Namun adakalanya tidur itu pilihan bijak. Saat otak lelah cari celah. Saat tiada guna lama-lama memancang indera. Saat terang memang harus remang-remang. Saat... dimana tiada yang lebih bijak dari menunggu kelak.


10.01.2013

Cogito

Pertanyaan besarnya adalah dimana sebenarnya letak hati? Semua terkontrol otak. Ada aliran listrik (impuls) yang mengalir ke ia. Lalu bak komandan perang ia mengatur seluruhnya satu satu.


Bukan, letak hati bukan di dada. Orang mengira begitu karena perasaan tertentu mengirim pesan dan mengembalikannya dalam bentuk perintah agar jantung berdetak lebih cepat. Maka itu, yang mereka kira letak hati sebenarnya jantung yg kali ini berdetak ekstra.


Namun, hati bukanlah tiada. Ia bagian dari daya pikir manusia. Ia ada tapi tiada. Hanya saja setelah ini, segala yg datang dari hati harus melalui pertimbangan pikiran. Begitu pula sebaliknya. Anggap saja mereka berdua teman akrab yg saking lamanya berteman membuat mereka (self) tak sadar mana yg memimpin dan mana yg dipimpin.


8.13.2013

epik

Bagai ramayana, Rama pasti senang jutaan orang menjodohkannya dengan Sinta.


Bagaimana seandainya Rama dan Sinta lama berpisah, sangat lama, mungkin karena Sinta dipingit oleh ayahandanya. Lalu di pagi yang cerah Sinta mencuri waktu mengirim surat untuk kesediaannya bertemu dengan Rama. Tentu saja di benak Rama ada jutaan kata puitis membalut romansa yang terpendam lama dan akan membabi buta keluar saat bertemu dengannya.


Di penghujung sore yang cerah, akhirnya mereka bersua. Namun, dirasa Rama romansa hilang lenyap. Ada yang tiba-tiba habis. Berubah. Rama bahkan tiada tahu apa itu yang berubah. Padahal semua wajar seperti dulu. Gaya bicara, tingkah polah, segala macam.


"Rama berubah, Sinta tetap. Rama tetap, Sinta berubah. Rama berubah, Sinta berubah"


Lalu jutaan orang berpikir sepuluh kali untuk menjodohkan lagi Rama dengan Sinta.


8.07.2013

pra-sangka



Saya memang biasa mendengar orang-orang ini bicara. Mereka bicara tentang halaman rumah Pak Rohmadi yang berserakan karena saking malasnya dia. atau Bu Rojiah, janda yang keblinger karena akhir-akhir ini selalu pulang larut malam.


Pak Rohmadi anak tunggal. Bapak-ibunya sakit keras, istrinya meninggal tahun lalu. Ia juga harus menghidupi tiga anaknya yang masih sekolah sehingga tak ada waktu baginya mengurusi pekarangan.


Bu Rojiah beberapa hari lalu memang pulang lebih larut dari biasa. Ia terpaksa cari nafkah tambahan untuk menebus anak semata wayangnya yang harus meringkuk di sel polisi. Ia bekerja di sebuah pabrik kapas dan selalu ambil shift malam karena siangnya ia harus membuka warung pecelnya.


7.28.2013

Siklus

Dia seperti siklus. Berputar terus menerus. Hingga ada kalanya ia berhenti beberapa waktu. Itu pertanda ada yang salah. Ada Sesuatu yang bukan pada tempatnya.

Lain itu, selalu ada yang kutunggu untuk dibuka satu per satu. Seperti teka teki yang menanti untuk dicari. Seperti tulisan yang menggelitik diparafrasekan. Atau tabir sejarah yang siap untuk didedah.

Lucunya, tak pernah ada daya, karena percaya atau tidak, saraf motorik selalu jadi kendalinya.

7.24.2013

Nomaden

Tuhan memang suka memindahkan makhluknya dari satu tempat ke tempat lain supaya ia beradaptasi.
Karena itu lah saat ada yang bertanya dimana rumah saya, saya jawab "ada di semesta".

6.25.2013

Monolog 2

Di detik yang baru saja lalu saat kalian membaca tanda jeda koma, saya buat kemauan. Sedikit susunan katanya namun rumit karena andai bisa, saya akan buat mesin waktu, menjelajah masa depan dan masa lalu. Saya akan jadi penonton paling setia semua muka dan wajah orang jaman dulu. Saya akan pergi ke atas gedung paling tinggi, tak mau ketinggalan menyaksikan momen seru melihat mobil terbang terburu-buru. Atau robot yang tak eksprsif sama sekali karena, kasihan benar, muka mereka dari baja.

Saya tak akan mengotak-atik takdir, saya janji, saya hanya menonton. Paling tidak saya tahu satu tempat yang orang lain tak tahu. Berdiam diri lama di tempat itu atau bahkan saya sepertinya perlu melihat saya versi masa depan bersama keluarganya terbahak di halaman depan. Saya harus ke situ, karena percayalah, di "sekarang" sulit menemukan orang yang tahu persis kenapa saya mau lama-lama di jembatan penyeberangan atau menunggu pagi sendiri di taman Ngarsopuro.

6.15.2013

Adam Ma'rifat






Buku ini sudah layaknya kitab saat ada ribuan kata di otak tapi enggan turun ke layar laptop...

5.20.2013

Padasama



Asap mengepul, lalu sejurus itu terpekiklah suara yang luar biasa keras di gendang telinga mereka. Semua yang hadir di sebuah forum tanpa nama, menggigil kedinginan. Kelopak mata mereka terpaksa menutup, menghindar dari pekatnya asap. “Mari sini kekasih-kekasih yang kedinginan,” kata seorang penyair yang ikut larut dalam gegap gempita. Selain itu masih banyak profesi lain yang bercampur aduk jadi satu pengejawantahan. Dokter, mahasiswa, tukang tambal ban, masinis, astronot, semua berkumpul merayakan kegembiraan dan tentang asap pekat yang menjalar sampai ke darah, mereka tak hirau.

Di ujung batas malam, suara memekik semakin keras saja, terlampau keras. Suara itu memadukan yang ada dan tiada, yang terindra dan tak terindra. Melalui telinga menuju pusat syaraf otak paling mistis. Lalu tergetarlah batin yang hadir. Satu per satu, waktu per waktu, mereka berjalan lurus masuk ke lorong kecil yang gelap. Di sana mereka ditanya nama, umur, pekerjaan, istri dan suami, anak, cucu, paling tidak mereka tak siap dengan buku contekan.

Nama per nama dipanggil sampai habis daftar, mereka lalu dengan suka cita berjalan menuju cahaya putih di ujung lorong. Sampai lah mereka semua pada ruangan tak berbentuk – sebenarnya berbentuk, namun sama sekali tak beraturan, atau lebih tepatnya mereka tak menemukan bentuk karena semua serba putih. Bahkan raga mereka putih tak berbentuk. “Apa ini yang disebut ruh, yang mendiami tubuh dari subuh hingga rubuh?”. Semakin bergejolak diri mereka karena sekeliling hanya mendengar suara sayup satu sama lain. Tidak tahu mereka dengan posisi seperti apa, tapi rasanya seperti berputar-putar.

Sekilas forum menjadi hening dan hening ini pun bersuara keras, lantang. Badan besar tak terlihat mengaitkan nada-nada keras hingga membawa semua ke sebuah taman besar yang ditumbuhi jutaan rasamala. Mereka mendakinya. Tubuh mereka tersayat badan pohon yang halus, mengeluarkan darah yang  juga berwarna putih. Lalu dari langit diturunkan air bah yang berkepanjangan. Alasannya agar mereka tahu rasanya air kalau-kalau mereka lupa. Air itu bisa diminum, dimakan, dihirup, didayakan, terserah mereka. Dan rasanya, rasanya seperti macam-macam air, terserah mereka. Semua terserah mereka.

Dari balik ombak air terlihat muka yang bersih putih dan halus. Orang-orang menengadah ke atas, lalu tangan besar yang entah datang dari mana, menjumput satu satu tengkuk mereka. Dan ditaruhlah dalam satu wadah bernama dunia.


4.29.2013

Manusia

Jiwa dan raga, dua hal yang sering masuk-keluar gendang telinga. Tapi lebih dari itu, manusia tak hanya punya keduanya, karena diciptakan manusia itu multi dimensi. Anggap lukisan dua dimensi, patung tiga dimensi, maka manusia ribuan dimensi. Yang menyebabkan manusia berubah tak beraturan sewaktu-waktu juga karena itu. Manusia adalah ribuan jiwa dalam satu raga, maka tak mungkin menjadi baik tanpa menjadi jahat. Yang ada hanya menjadi baik untuk menutupi yang jahat, yang mengendap mengintip dari balik dinding jiwa. Selama putih kuat, maka hitam larut dalam abu-abu.

Jiwa merasa kalau jasad hanya alat, seperti virus dengan inangnya. Dan bukan berarti jiwa berbentuk layaknya jasad. Entah sebenarnya segitiga, empat, lima, atau banyak sembarang. Yang pasti jiwa akan berwarna dua: putih dan hitam, baik dan buruk, benar dan salah. Keduanya pun samar-samar. Ketika kita tertarik mempersoalkan keduanya, sama saja kita membenturkan kepala ke tembok bernama “tiada akhir”. Karena itu, keduanya sengaja dibiarkan Tuhan samar-samar. Apa yang benar belum tentu benar, pun yang salah belum tentu salah. Untuk membedakan keduanya ke gradien yang paling jelas perlu puasa tujuh turunan (bukan tidak mungkin) dan tapi membedakan keduanya tak lantas menjadi pondasi gerak selanjutnya. Hidup manusia bukan konstanta seperti alur yang maju dan sedikit menengok spion sejarah kadang-kadang.

Manusia mengamati, meniru, memodifikasi. Ketiganya masuk golongan belajar. Celaka dia yang tak mau belajar dan menyesuikan pelajaran dengan jiwa masing-masing. Manusia disebut manusia karena bersinggungan dengan manusia lain, seperti ada sistem yang super besar dan mengharuskan manusia bertindak tidak sebagai dirinya. Sekali lagi, tak disangkal kalau ada porsi lain di sini yang mengambil alih kontrol. Aturan main berlaku dan semuanya diproses di jiwa. Dan harusnya mulai dari sini manusia tak mendewakan otak sedang jiwa menjadi budak. Jiwa lah yang memanusiakan manusia, bukan malah menjadi robot yang pandai integral.

Tuhan Maha Baik, tak lupa ketika ia membuat manusia, ia sertakan cinta. Barang ini lah yang nantinya membuat hitam putih jiwa menjadi warna-warni bianglala. Bahagialah dia yang tahu kalau manusia itu manusia, sedang dirinya bukan manusia tapi mau jatuh bangun untuk menjadi manusia.


 

4.20.2013

Life Oh Life

Hidup. Kehidupan. Datang pergi. Menerima memberi. Rendah tinggi. Seperti manusia hidup dikelilingi milyaran kilometer pagar kemungkinan. Tak ada yang konstan karena ini bukan matematika yang ketika kita tak kenal lelah maka kita akan berhasil. Mau apa dikata, beginilah cara kerjanya. Dan hidup harus kita hidupi supaya tidak mati atau benar-benar mati (perginya jiwa dari raga.red).

3.28.2013

Kausalitas

Ada yang bilang kausalitas itu karmapala. Orang Jawa bilang "sapa nandur bakal ngunduh". Bapak teman saya pernah bertutur begini, coba simak:

"Kausalitas itu dibagi dua, yang terindera dan tak terindera. Yang terindera seperti makan kita kenyang, olahraga kita berkeringat, begadang kita mengantuk, semacam itu. Yang kedua yang butuh garis bawah lebih tebal bahwa ada karma lain, yang ini kasat mata dan terjadi terlampau waktu dan tempat. Ada yang mencatat dan membalas suatu waktu. Tak usahlah ada contoh, tinggal pejamkan mata, putar film kenangan jauh menembus ratusan bahkan ribuan jam ke belakang, maka kita akan tahu dimana kita tempatkan karma, kausalitas, atau apa itu namanya."

Ada baiknya kata "karma", "kausalitas", "sebab-akibat" serta artinya di kamus bahasa. Setidaknya orang akan lebih hati-hati, setidaknya orang akan lebih khusyuk melakukan semuanya. Bahkan ketika saya sadar, seharusnya menulis tulisan ini pun sekhusyuk saat sujud di atas sajadah.

3.25.2013

awal (lagi)

Mati suri sebentar sembari menyusun kata, boleh yang penuh logika, boleh juga yang melunakkan bata. Dan entah apa itu yang orang bilang skripsi, seperti nyamuk di pelupuk yang menunggu untuk ditepuk. Yang lain yang mengekor, menjerit minta digedor. Setelah hari ini semua akan serupa awal, rapi tertulis di buku catatan. Bukan, bukan hanya untuk ajang corat coret, tapi untuk mengisi hidup agar konsep "hidup" lebih warna-warni ketimbang sekedar "tidak mati".

2.26.2013

Mandi

Dalam sehari, sadar tak sadar kita banyak menemukan kesenjangan. Sederhananya ketika sebelumnya kita merasa sangat lapar, beberapa menit kita kenyang karena makan terlalu banyak. Saya tak tahu istilah yang lebih tepat, mungkin 'paradoks'.

Mandi I

Kamis siang saya tiba di Ibu Kota dengan wajah lelah karena berjam-jam di kereta. Cuaca panas Jakarta ditambah badan yang belum disapa air sangat cukup sebagai alasan merasa gerah. Berjalan kaki dari shelter TJ satu ke shelter yang lain juga membuat keringat bertambah banyak. Di saat seperti itu tak ada yang ingin saya lakukan, kecuali MANDI.

Setelah bertemu teman (Phytag) untuk melakukan perjalanan menuju wisuda teman lain (Jono), saya berhenti di Benhil. Dari Benhil menuju Senayan. OK, dan saya belum bertemu surga bernama kamar mandi. Setelah acara selesai barulah saya bisa melakukan pencarian kamar mandi dengan leluasa.

Kamar mandi masjid? tidak, karena terlalu ramai anak-anak TPA. Pasar Benhil? Baiklah, saya rasa tidak buruk-buruk amat. Saya putuskan mandi di WC umum Pasar Benhil. Gambaran tentang kamar mandi yang ini adalah gambaran tentang WC umum kebanyakan. Kurang terawat, banyak lumut, air berbau, dan kunci dari paku. Untuk ukuran keadaan saya saat itu, orang bakal maklum saya mandi di situ.

Mandi II

Kesegaran membuat saya bersemangat untuk jalan-jalan. Kali ini tujuannya adalah Epicentrum Kuningan. Sesuai konsep jalan kaki, kami (dengan Phytag) hanya menggunakan kaki untuk menyusuri Epicentrum. Keluar masuk Pasfes, melihat-lihat gedung hingga lelah, kemudian kami singgah di salah satu kedai kopi bersama teman fresh graduate kami (Jono).

Perasaan segar setelah mandi pertama tadi hilang sudah, diganti pegal, lelah, dan gerah. Tidak ada yang lebih saya inginkan selain mandi, lagi.

Sebelumnya ada teman (Cengik), anggaplah dia calon pejabat, menawari kami (kecuali Phytag) untuk bermalam di hotel. Ada anggaran dari dinasnya untuk melakukan semacam pembahasan RUU di hotel. Saya tak tahu hotel apa dan dimana, yang jelas saya bilang iya. Setelah mengantar teman (Phytag) kembali ke kontrakannya di Benhil, saya dan teman saya yang lain (Jono) menuju hotel yang dimaksud teman saya yang lain lagi (Cengik).

Hotel ketemu, tapi tak tahu bintang berapa, saya tak peduli yang penting saya harus mandi. Setelah bincang-bincang sana sini, kami bertiga seketika berada di kamar besar dengan kamar mandi besar pula. Ini hotel bintang empat! Plus jacuzzi dan air hangat. Malam itu, saya mandi sambil terkekeh membayangkan pagi hari mandi di WC umum Pasar Benhil.

Ini yang saya maksud paradoks dalam sehari. Ada kesenjangan antara perjalanan mandi I dengan II. Itu jelas! Dan sebenarnya dimanapun kalian berada, konsep mandi tak pernah berubah sama sekali. Hanya kadang orang menggunakan cara-cara berbeda untuk aplikasinya. Sekian.

2.15.2013

Suatu Kisah di Wedangan

Di saat seperti sekarang, saat waktu seolah jadi sependek pensil, tak ada yang lebih baik dari pada menulis cerita yang sedikit kocak. This is it!

Saya biasa menghabiskan sore hari pas weekend di wedangan (: sejenis warung kopi) dekat kontrakan. Maklum mahasiswa yang cuma nyambi (: bekerja sambilan) jaga warnet kayak saya gak bisa nongkrong di café atau resto mewah.Tapi gak apa-apa, memang sih jajanan yang dijual di tempat ini cuma jajanan pasar, tapi kemesraannya itu lho yang bikin nagih. Kita bisa makan sambil bincang-bincang ngalor ngidul, mulai dari politik di Senayan hingga Mang Usep yang kemarin ketangkep basah sama istrinya lagi judi gaple. Kata istrinya Mang Usep yang kebetulan lagi beli pisang goreng begini,

“Judi gaple-nya sih gak masalah, Mas. Lha masak panci baru beli kemarin dicomot sama Pakne Kempleng (: Bapaknya Kempleng alias Kang Usep) dibuat taruhan. Sudah gitu yang lain juga taruhannya neko-neko, ada yang taruhan gelas, piring, bedak, celana, semua dibuat taruhan”.

 “Iya Mbakyu. Tapi sekarang Mang Usepnya kemana? Kok dari tadi gak keliatan,” saya iseng nanya.

 “Oalah. Saking gondok (: jengkel) -nya sama Pakne Kempleng, dia saya suruh nyabutin suket (: rumput ilalang) depan rumah, biar kapok!,” katanya menjawab.

Semua tertawa terpingkal mendengar nada bicara istri Mang Usep alias Ibunya Kempleng yang naik turun kayak harga sembako.

Ya begini ini yang saya maksud dengan “kemesraan” di wedangan. Sabtu sore, di tempat ini hampir lengkap pasukan berkumpul: Saya, Bejo dan Karno (: temen satu kontrakan), Kang Ipin (: pemilik wedangan), Kang Jiran, cuma kurang Kang Usep yang kena hukuman istrinya. Biasanya, Maghrib sampai Isya’ wedangan tutup dulu, sholat dan ngaji dulu, habis itu baru buka lagi. Saya jomblo, jadi gak heran kalau saya nongkrongnya di sini. Habis Isya’ saya langsung nyangking gitar buat nyanyi-nyanyi biar bincang-bincangnya ada backsound-nya.

“Kang Ipin, kopi lagi Kang! Sing puanas yo!” Saya pesan gelas kedua kopi panas item.

“Ngopi terus kamu, gak takut sakit perut apa?” Kata Kang Ipin.

“Lhoh, Kang Ipin itu lucu. Wong orang mau beli dagangannya kok malah ditakut-takutin” Kata saya sambil tertawa.

“Iya itu, Kang Ipin kemarin juga kayak gitu. Saya mau beli gorengan gak boleh banyak-banyak, kolesterol katanya” Imbuh Karno yang tiba-tiba nongol kayak anak setan.

“Bukannya gitu…” Kang Ipin mulai nggambus “Saya itu gak mau kalau gara-gara jualan saya, kalian jadi sakit. Yang pasti asal kalian tahu, yang berlebihan itu gak baik. Vitamin yang gunanya seabrek aja bisa jadi avitaminosis alias penyakit kalau kebanyakan, itu kan juga gak baik. Buat apa dapet untung banyak kalau orang lain jadi sakit, ya to?”

“Salut Kang! Ceramahnya bagus!” sahut Karno.

“Iya Kang. Besok gantiin ceramah Pengajian Ahad Pagi di Jami’ kalau Khotibnya gak datang” sambar Bejo sambil ngunci gerbang kontrakan.

Semua tertawa.

Malam itu udara pas banget buat nongkrong. Hujan bintang tanpa mendung, sayang gak ada cewek yang menemani pas bintang lagi banyak-banyaknya kayak sekarang. Separonya lagi nglamunin Khusnul anak Pak Haji Dulah duduk jejeran sama saya, ada suara yang memecah lamunan. Suaranya familiar, tidak salah lagi, itu Kang Jiran.

“Assalamu’alaikum” Kang Jiran datang dan dibelakangnya Kang Usep dengan muka kecut ngikut.

“Wa’alaikumsalam”

“Wah, Kang Usep kayaknya lagi ceria ini?” canda Kang Ipin.

“Ceria gundulmu! Ini tangan saya jadi merah-merah gini.  Istriku pancen kejem, lha wong sama-sama namanya membersihkan halaman, saya mau pakai parang atau pacul, eh, gak dibolehin sama dia. Katanya hukumannya memang harus pakai tangan kosong. Kayak mau berkelahi aja pakai tangan kosong segala!” curhat Kang Usep.

“Setuju Kang. Istri saya juga kadang semena-mena. Masak kemarin saya disuruh momong si Japri, sedangkan dia pergi arisan sama ibu-ibu PKK. Semena-mena gak itu namanya? Gimana mau maju Indonesia kalau penjajahan masih meraja lela. Penjajahan istri terhadap suami!” Sahut Kang Jiran.

“Kalian bertiga, Kucrut, Bejo, Karno, jangan sampai besok pas milih istri kalian milih yang galak. Gak enak, sumpah. Kalian yang masih pada ‘jongos’ alias ‘jomblo ngos-ngosan’ harus selektif milih wanita sebagai pendamping hidup. Jangan sampai istri kalian nanti semena-mena, berani sama suami”

“Nah itu dia Kang…” Karno turut menyahut “Jaman sekarang milih cewek rada susah. Cewek jaman sekarang gampang terpengaruh TV. Mulai dari dandanan sampai pola pikir. Kalau acara di TV aja banyak yang menampilkan cewek yang semena-mena terhadap laki-laki, gimana nantinya. Contohnya aja, Wonder Women? Itu cewek dah berani sama cowok. Ngasih pelajaran jelek itu”.

“Karno, temenku yang paling o’on, Saya kasih tahu. Wonder Women itu memberantas kejahatan, bukan memberantas laki-laki. Jadi yang diberantas itu orang jahat, mau itu laki-laki kek, wanita kek, banci kek, selama dia jahat ya diberantas” Bejo agak pintar kali ini.

“Tapi yang dibilang Karno ada benernya itu Kang…” Saya tiba-tiba nyahut kayak geledek.

“…TV mau gak mau menjadi media informasi yang paling banyak dilihat Masyarakat Indonesia saat ini. Jaman dulu, saya hafal acara yang disukai, jadi lihat TV kalau pas acara itu aja. Nah kalau sekarang, orang lagi makan, lagi belajar, lagi iseng, sampai lagi buang air besar aja lihat TV. Gak peduli acaranya apa, dibolak-balik aja kayak tempe lagi digoreng …”

“… Itu menjadikan segala info yang disampaikan di TV jadi gampang banget ditiru, apalagi sama ABG. Makanya gak heran kalau ABG jaman sekarang dandannya hampir mirip semua. Suka Korea, suka Korea semua. Bahasa kerennya itu mainstream kalau gak salah”

“Apa lagi itu Main Setrim?” Mang Usep bertanya.

“Saya jelaskan Kang…” Giliran Bejo yang mahasiswa Sosiologi menerangkan “… Mainstream itu sederhananya niru-niru orang banyak. Gini, contohnya soal gaya berpakaian aja. Karena sekarang jamannya baju warna-warni, anak ABG banyak yang beli baju warna-warni. Yang niru-niru model kayak gitu yang disebut mainstream, Kang”

“Jadi dengan kata lain cewek jaman sekarang banyak yang mainstream, gitu?” Tanya Kang Ipin.

“Bisa dibilang gitu, Kang. Kalau mainstream-nya budaya yang baik sih gak pa pa, tapi kalau budaya yang jelek, bisa berabe. Dan cewek jaman sekarang banyak yang punya cowok cuma buat gaya-gayaan. Biasanya diadu sama cowok temennya, yang entah cara berpakaiannya lah, selera musiknya lah, sampai-sampai tunggangannya” lanjut Bejo.

“Oalah, yang itu saya tahu. Ada lagunya itu cewek matre cewek matre ke laut aje…” Mang Usep tiba-tiba nge-rap gak jelas “ Tapi emang gak ada temen cewek kalian yang gak mainstream?”

“Ada sih Mang, tapi gak mainstream bukan pathokan suka sama mahasiswa kasta terendah kayak kita” Bejo berkata sambil rautnya biru muram.

“Santai Jo, dunia gak sempit-sempit amat buat ditinggalin mahasiswa kasta rendah. Kalau banyak cewek yang nonton TV jaman sekarang, kita cari aja cewek yang kemana-mana masih nenteng radio. Oh iya, ada itu anak radio kampus, penyiar cakep. Dia pasti gak suka liat TV. Kamu pacarin aja Jo!” Karno mulai godain Bejo.

“Gini-gini… “ Sebagai mahasiswa komunikasi Saya bersiap menerangkan “… kalau masalah kepribadian, sifat, atau perilaku seseorang itu gak cuma dipengaruhi TV atau media massa. Banyak yang mempengaruhi, seperti misalnya lingkungan bermain, lingkungan pertemanan, dan lain-lain...”

“...Kalau media massa sendiri harusnya juga bisa intropeksi diri. Gak cuma hiburan saja yang ditampilin, tetapi fungsi mendidik juga harus diperhatikan. Contoh yang gak baik itu kayak acara yang nampilin bocah-bocah main bola sambil gelundungan gak jelas. Hiburannya sih ada, tapi mendidiknya? Yang ada kemarin Kang Rojali cerita kalau gara-gara nonton acara itu, anaknya jadi pengen masuk sekolah sepak bola yang pemainnya jago nendang bola sambil terbang. Mana ada itu?”

Kang Jiran, Kang Ipin, dan Mang Usep mengangguk. Bejo dan Karno masih sibuk garuk-garuk kepala.

“Oh, mengerti sekarang. Tapi yang jadi pertanyaan, Crut, yang benar yang mana ini, antara penonton yang milih acara mendidik atau TV-nya dulu yang bikin acara mendidik?” tanya Kang Jiran.

“Dua-duanya Kang. Penonton harus benar-benar cermat milih tayangan yang mana yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. Begitu juga stasiun TV harus mendidik penonton untuk memilih acara yang menghibur sekaligus mendidik” jawab Saya.

“Lalu soal cewek tadi gimana?” Seruduk Bejo dan Karno

“Gampang lah. Asal kalian punya boyband, kalian pasti dapet cewek” jawab Saya sambil nyengir kuda.

Tawa yang terpecah cuma berlangsung beberapa detik sebelum suara melengking yang sudah kita kenal, datang dari ujung jalan.

“PAKNE KEMPLEEEENNNGGG!!!”

Tidak salah lagi, suara misterius ini hanya satu orang yang bisa mengeluarkan. Benar sekali, istri Mang Usep. Tubuh kurus Mang Usep dengan mudah diseret oleh istrinya yang gemuk minta ampun. Muka istrinya yang sangar persis preman pasar membuat semua yang ada di wedangan Kang Ipin gak bisa leluasa tertawa. Kita hanya bisa cengar-cengir gak jelas melihat muka Mang Usep yang takut sama istrinya.

“Bentar Mbakyu, kenapa lagi itu Mang Usep?” Kang Jiran memberanikan diri bertanya

“Pakne Kempleng ini memang sudah kelewatan!” Jawab Istri Mang Ujang.

“Kelewatan gimana Mbakyu?”

“Ya kelewatan!”

“Kita gak mudeng. Tadi sore kan Mang Ujang sudah ngebersihin halaman sebagai hukuman. Terus, dimananya yang kelewatan?” Semua ikut serius.

“Gimana gak kelewatan, lha yang dibersihin kemarin sore ternyata bukan halaman rumah sendiri. Eh, malah halaman janda samping rumah yang dirapiin. Kelewatan gak itu?”

“HAHAHAHAHA. Ya udah, jewer aja Mang Usep, Mbakyu” Kang Ipin menyambar.

“Nah itu, gak cuma cewek yang harus mengerti cowok, sebagai cowok juga harus menghargai cewek. Kalau kasusnya kayak Mang Usep, wajar kalau istrinya mencak-mencak gak karuan, lha wong, Mang Usepnya nuakal minta ampun” Saya nerocos sambil ambil dompet mau membayar.

“HAAHHAHAHAHA” Jalanan sepi terpecah ramai.