9.30.2011

Catatan Sederhana




Kamu selalu mengatakan pelan yang kamu rasakan. Seperti bau vanilla yang biasa tercium dari sela sela pikiranmu. Membatu keras mengerak. Bahwa hidup ini sederhana, sangat sederhana. Pintu untuk keluar, kaki untuk berlari ke halaman, suara untuk teriak keras-keras, dan tawa untuk gembira. Kita bersenang-senang saat itu. Kemudian di bawah pohon ekaliptus yang aneh yang tumbuh persis dua meter dari pagar rumah kamu tanam sebuah kotak. “Ini kotak luar biasa,” katamu. Aku mengangguk, tak mengerti apa yang kamu katakan, apa yang kamu tanam. Kita sepakat untuk menandainya dengan batu dan merahasiakannya.

“Aku senang,” katamu sebelum meninggalkan kota jingga ini. Aku ingat benar tanganmu melambai seperti tersihir dan matamu merah menahan jejal air mata. Itu terakhir kali aku melihatmu, di kereta malam di stasiun kota.

Bau vanilla yang tercium setiap pagi, saat tetangga membuat minuman penuh harapan itu, kopi susu vanilla. Gelak tawamu masih riuh ditelinga mengantarku penuh semangat ikut membuat secangkir kopi susu vanilla. Tentu di dapurku pribadiku sendiri. Tertanggal 9 September 2011, tepat 10 tahun aku tidak melihatmu berlarian memutari ekaliptus depan rumah. Asal kamu tahu, ekaliptus itu masih kokoh ditempatnya. Tentu, dia bukan pohon bambu yang mudah goyah diterpa badai. Batu dibawahnya juga masih sebesar dan seberat dulu, masih manis. Sampai sekarang aku tak tahu apa yang tersembunyi di bawahnya, di dalam kotak merah persegi.

Orang tuaku sudah meninggal 5 tahun lalu. Mungkin kamu sudah tahu dari mulut orang-orang kota. Orang tuaku cukup punya nama di kota ini. Mereka yang membuat jembatan penghubung dengan kota seberang. Kita masih mungil kala itu. masih berkejaran di sepanjang sungai. Mencari ikan, menyobek daun bambu untuk kita jadikan kapal. Lihat, kapal kita saling terjang! Dan kita tertawa melihatnya.

Dengan menyesal, kamu harus tahu kini aku hidup mandiri bergantung pada upah bulananku bekerja untuk majalah kota. Majalahnya sederhana yang jauh dari politik. Aku tak suka politik, aku lebih suka kebenaran yang dibungkus dengan kertas sederhana, warna-warni. Itu yang kamu ajarkan.
Tengah malam. Waktu cepat berlalu seingatku. Pimpinan redaksi memintaku untuk melakukan perjalanan di negara lain. Betapa terkejutnya, itu negara yang kamu singgahi sementara aku menunggu di bawah ekaliptus.

Matahari hangat meruncing tepat dimataku. Ah, terpaksa memicing. Meraba-raba jalan kemudian menemukan pintu. Aku bersemangat menemukan pintu. Ya, pintu. Benda sederhana untuk keluar dengan sederhana. Aku semakin ingat kata-katamu untuk membayangkan kamarku tak berpintu dan aku terpenjara di dalamnya. Saat itu aku jawab, “pintu bukan satu-satunya. Akan kugempur tembok”. Kamu hanya tersenyum membayangkan tubuh kurusku mengangkat palu setengah ton. “Mulailah dari pintu. Kamu akan lihat betapa menariknya dunia,” serumu.

Percaya atau tidak, kali ini aku membayangkan kita bertemu di kota asing. Kamu bercerita tentang 10 tahunmu. Tentang jalan-jalan di sana, tentang sebuah lembah yang hanya kita yang tahu. Aku dengan kedua telinga kecilku berjalan satu langkah di belakangmu. Mendengarkan dengan seksama kamu berceloteh. Yakinlah, aku akan mendengarkanmu baik-baik. Aku tak pernah mau kamu kecewa karena aku tak menoleh ketika namaku kamu sebut. Sederhana.

Pukul tujuh pagi, di bandara kota. Aku menunggu pesawatku. Aku bawakan tiga buku catatan kecil berisi paragraf-paragraf ringan yang aku tulis sendiri. Awalnya aku pergi di sebuah toko buku tua yang ada di pojok blok rumah. Tak tahu persis, seperti sebuah pesan pribadi, semacam intuisi. Di sana kubaca beberapa buku tua hingga kutemukan sebuah buku bercerita tentang Sisifus. Ia dihukum mengangkat batu hingga puncak gunung dan ketika sampai di puncak, para dewa menggelindingkannya ke bawah lagi. Sisifus mengulanginya terus menerus hingga akhir hidup. Yang mengherankan, ia tanpa keluh.

Kemudian aku sampai pada buku yang bercerita tentang Ahasveros yang dihukum oleh Tuhan untuk menggembala seumur hidup. Juga tanpa keluh. Ini seperti kutukan, seperti hukuman. Datang di sebuah toko tua, membayangkanmu di samping dan kita berdiskusi tentang buku ini. Hingga sesaat kemudian aku terjaga dan melihat tumpukan buku ini tanpa kamu. Ya tentu saja, aku tanpa keluh.
Akhirnya kuputuskan untuk menyimpanmu dalam catatan, dalam setiap tinta yang tergores manis di buku saku tua. Itu hal yang paling mungkin bisa kulakukan. Sampai sekarang catatan itu semakin banyak, tiga buku. Banyak? Sangat kurang banyak pikirku jika harus menuliskanmu dalam catatan.
Catatan itu berisi tentang kegemaran kita berkejar-kejaran di bawah pohon ekaliptus, bermain bola dunia di taman kota, atau tentang membuat kapal dari daun bambu. Tak lupa aku cantumkan dengan bahasa sederhana tempat-tempat itu saat ini. Sekarang sudah jauh beda. Sangat berbeda. Sepertinya kita perlu suatu tempat yang hanya kita yang tahu.

Akhirnya waktu juga yang menuntun kakiku menepak tanah negeri asing tempatmu tinggal. Seperti lengkung ke atas bibirku, aku langkahkan kiri-kanan jejakku dengan pasti. Di mulai dari meliput museum modern yang baru saja dibangun kemudian sebuah danau indah di tepi kota. Aku melakukan pekerjaanku. Biasanya aku melakukan ini demi upah, tapi kali ini seperti ada motivasi lain yang mendorong melakukannya dengan gegap gempita. Seperti ada yang menyesaki dada dan siap meledak. Itulah bahagia.

Setelah berjalan lama, aku mulai sadar waktu mengharuskanku buru-buru. Tak ada waktu yang lama dalam profesiku. Aku harus menemukanmu atau aku akan takut sepanjang waktu. Takut karena tahu kita tak akan menggali tanah di bawah pohon ekaliptus dan melihat isi kotak itu bersama. Takut kalau sebenarnya kamu hanya imajinasi karena aku mengidap penyakit khusus. Aku takut sendiri.

Aku mencarimu berjalan di sepanjang aspal halus di pusat kota. Aku mencarimu di desa saat sejuta petani riuh karena pesta panen. Aku mencarimu di lembah tak bernama, mungkin saja kamu di situ karena aku tahu kamu suka ketenangan. Aku mencarimu di segala penjuru hingga aku lupa arah angin, lupa menghadap kemana aku ketika sholat. Aku mencarimu dimanapun, bahkan bau vanilla tak tercium sama sekali. Sudahlah, pagi sudah kembali pagi.

Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. Aku tak menemukanmu. AKU TIDAK MENEMUKANMU!!!

Baiklah, saat ini marah menguasai. Aku marah padamu, pada keadaan. Tak peduli lagi janji tentang membuka kotak bedebah itu bersama. Kini aku sendiri, maka akan aku buka sendiri. Ah, peduli setan pada dunia, padamu juga. Kini aku benar-benar marah. Mata ini merah, kombinasi marah dan kurang tidur. Aku memikirkanmu. Aku tak mau tidur karena aku takut saat aku tertidur aku akan kehilangan suatu waktu ketika kamu berjalan dan tak melihatku, kemudian aku memanggilmu dan kamu menengok ke arahku. Anggap saja ini sebuah kutukan di buku cerita, hukuman yang diberikan Tuhan dan para dewa. Tapi saat ini aku resmi marah!

Tiga hari setelah mencarimu di negeri asing, tak peduli apa namanya. Tengah malam. Aku tak mau ambil skop atau alat lain, hanya memastikan tanganku sendiri yang pertama kali menyentuh kotak itu setelah tanganmu menguburnya. Angin malam saat itu, dingin. Mengenakan kaos biasa jujur bukan pilihan tepat. Tapi siapa peduli! Aku hanya ingin melihat apa sebenarnya yang kamu tanam.
Ok, sudah dua meter. Masih belum terlihat? Kita tambah beberapa jam lagi. Pohon ekaliptus banyak menghabiskan oksigenku, menghabiskan tenagaku. Hampir menyerah. Tapi, sebentar. Apa ini? Ini bukan kotak itu. Baiklah, ini lebih seperti bungkusan kertas di dalam plastik. Tentu saja, plastik sulit terurai dan tulisan itu masih ada. Aku ingat ini kertas apa. Iya, aku masih ingat. Warnanya vanilla. Ini adalah tulisanku tentang hidup sederhana yang kamu ajarkan. Tulisannya tak rapi sama sekali. Maklum karena masa itu kita masih kecil. Tenang, masih bisa terbaca. S-E-D-E-R-H-A-N-A. Hanya itu? Benar hanya itu?

Sebentar. Aku akan masuk ke dalam, meletakkan kertas itu di bawah bolam lampu, kalau saja ada kata yang terlewat. Seingatku aku tak hanya menulis itu. Aku menulis yang lain. Atau aku tak menulis apapun. Permasalahan sebenarnya bukan pada itu. Lebih pada kemana hilangnya kotak yang kamu tanam. Aku yakin benar, benda itu berbentuk kotak, berwarna merah, dan kamu tanam dalam-dalam.