12.29.2012

dia(m)

Tak ada salahnya sesekali begadang, "asal ada artinya" kata Bang Rhoma. Di kebanyakan dini hari semacam ini, entah hikmah atau apa, yang pasti selalu ada satu rasa yang lebih mirip,
mmm, . . melihat orang dalam berbagai keadaan.

Anggaplah begini.
Orang itu adalah dia(m) dan dia(m) adalah orang itu, bukan orang lain. Ketika saya merasa tak begitu yakin melihat dia(m) masih tetap dia(m), berarti dia(m) bukan dia(m). Tapi ketika ada sesuatu, yang entah apa namanya, membuat saya yakin kalau dia(m) itu dia(m), berarti dia(m) adalah dia(m).

 Saya yakin, hari ini dia(m) memang dia(m). Bahkan kalau boleh saya bilang, 
mmm... dia(m) semakin "dia(m)".

12.27.2012

Air Sungai dan Puluhan Pemuda Bertelanjang Dada



Namanya Desa Prajenan. Belasan tahun yang lalu bapak sering membawa saya ke sana, entah hanya sekedar bernostalgia tentang masa mudanya atau menengok nenek dan almarhum kakek. Benar, Prajenan, sebuah desa di Kota Klaten ini adalah kampung halamannya, kampung yang memiliki pohon-pohon rindang hijau dan sungai jernih yang mengalir deras di bawahnya.

Setiap sore cerah, ada sesuatu yang seolah mengajak mata kanak-kanak ini melihat kebiasaan pemuda desa melakukan sebuah atraksi. Setiap berkunjung, tak sekalipun saya lewatkan yang satu ini. Orang-orang sudah berkerumun di tepi sungai. Ada yang seperti bapak, yang dengan suka cita mengantar anaknya menghabiskan sore. Ada pula ibu-ibu seumuran kepala tiga menggendong anaknya yang masih balita sambil dengan hati-hati menyuapinya. Remaja-remaja lain juga tak mau ketinggalan, berbondong-bondong datang. Tak heran jika akhirnya berdiri satu dua warung penjaja makanan dan minuman. Mereka semua berkerumun sore ini, seperti sore-sore biasanya.

“Satu.. Dua.. Tiga.. Byurrrr” seorang pemuda kurus melompat dari sebuah pohon yang ujungnya menghadap ke sungai. Pohon setinggi tiga meter itu seolah dijadikan papan loncat dan sungai di bawahnya seolah menjadi kolam renang besar tanpa kaporit. Semua terlihat menyegarkan. Di kedua tepi sungai, puluhan pemuda lain tertawa, sambil diikuti riuh tepukan tangan puluhan penonton setia. Seperti wayang, mereka berjajar. Di desa ini, iya, di desa ini semua serasa riang, waktu itu.

Hingga sekarang saya masih sering ke sana, berbagi kegembiraan bulanan bersama handai taulan. Setiap ke sana, ada yang sedikit demi sedikit berubah. Hingga sadar tiba sore hari yang sama seperti belasan tahun lalu, saya tak melihat lagi riuh tepuk tangan penonton atau teriakan semangat dari pemuda-pemuda bertelanjang dada. Air sungai juga tak berkecipak hebat seperti saat dijatuhi tubuh puluhan kilo. Ini beda. Terlalu sepi.

Semua karena… bukan, bukan karena pemuda-pemuda desa banyak yang merantau ke kota. Bukan juga karena mereka sudah menemukan sungai lain yang lebih jernih. Mmm, ini semua karena sekarang banyak plastik sampah yang berlayar di atasnya. Ikan-ikan juga tak terlihat lagi. Mungkin mereka tertutup air kotor. Mungkin mereka sudah pergi dari sungai. Atau mungkin malah mereka sudah mati hanyut ke hulu.

Semakin hari, air semakin kotor, sungai semakin tak tenang. Parahnya, sampah semakin menimbun. Banyak warga sekitar tak segan melempar bungkusan plastik hitam berisi sampah. Imbasnya ke air sumur. Baunya tak sedap, airnya tidak sehat, berasa dan berwarna. Sering almarhum kakek dan warga lainnya harus memompa kembali sumur mereka masing-masing, tentu dengan biaya yang tak murah. Ibarat ini semua penyakit, memang benar mereka sudah melakukan terapi, tapi kenapa kita tak mengobati sampai tuntas lalu mencegahnya datang kembali? Jelas semua yang sudah dilakukan banyak ruginya. Kalau masalahnya kesadaran, anggaplah saya sudah sadar. Tapi kalau sendiri, bakal tak bunyi, bakal tak berarti. Butuh ratusan warga lain yang mengekor.

Sekarang jelas saya kehilangan. Bukan hanya saya, tapi ratusan warga di sini kehilangan sungai mereka yang jernih, kehilangan gelak tawa dan tepuk tangan saban sore. Perlu waktu lama untuk membangun mesin waktu dan mengembalikan semuanya seperti belasan tahun lalu. Artinya, butuh kesadaran untuk merubah pola pikir dan kebiasaan tidak baik seperti membuang sampah di sungai.

Di mulai dari hal-hal kecil yang dapat dilakukan diri sendiri. Satu orang, kemudian dua, tiga, empat, dua puluh, lima puluh, seratus, hingga akhirnya seluruh warga berhenti membuang sampah di sungai. Syukur-syukur, warga menanam pohon kembali di tepinya dan soal sampah bisa dikelola menjadi pupuk atau barang bermanfaat lainnya. Semua seperti mimpi. Sulit, sangat sulit, tapi bukan berarti mustahil. Demi sungai jernih, demi sore riang, demi air minum, dan demi masa depan yang sehat.

12.10.2012

ERA MIMPI (Dreamtime)



Orang asli Australia berbicara tentang Era Mimpi, yang dimulai sebelum alam semesta diciptakan, yang menjangkau jauh ke belakang, ke dalam kabut primordial keabadian. Mereka mempunyai mitologi yang kaya, yang dipenuhi dewa-dewi dan keberadaan supernatural lainnya, seperti Ular Pelangi, Manusia Bersinar, dan saudari-saudari Wagilag. Keberadaan ini berkelana menjelajahi alam yang belum diciptakan dan memberinya bentuk. Era Mimpi, bukan saja satu mitos ciptaan yang jauh, tetapi merupakan satu pola, satu perangkat hukum spiritual/moral bagi kehidupan itu sendiri.

Ada beberapa mimpi yang berbeda-beda di negeri itu, kadang-kadang terikat dengan sebongkah wadas, atau satu fitur alam, sementara yang lain terbentang bermil-mil panjangnya. Ada ritus dan upacara khusus untuk memelihara hubungan dengan Mimpi. Era Mimpi bukan satu ilusi dan sesuatu nonrealitas (“ia memang hanya sebuah mimpi”), tetapi realitas dibalik realitas material.

Dikutip dari salah satu insert di buku “Sejarah Ide-Ide”, terjemahan dari buku “History of Ideas” karya Kevin O’donnel (2003)

11.23.2012

Jaring Manusia



Bayangkan ketika bangun hari ini semua orang sudah tak ada di tempat semestinya! Itulah saya. Kejadiannya pagi tadi, saya bangun seperti biasa, enam lebih lima belas menit. Saya tidak sadar kalau orang-orang menghilang hingga akhirnya saya berangkat ke kantor dan melihat di jalan mobil-mobil tanpa penumpang berdesakan antara Thamrin-Sudirman. Saya jalan kaki karena kontrakan saya dekat dengan kantor. Tentang orang-orang satu kontrakan yang tak ada di kontrakan saya masih maklum. Kebiasaan anak-anak yang berangkat ke tempat kerjanya masing-masing jauh pagi-pagi hari agar tidak terjebak macet. Tapi ini, yang saya temukan hanya ratusan kendaraan yang beberapa masih menyala mesinnya. Berbeda merk, berbeda warna, tapi ada kesamaan, sama-sama tak berpenumpang.

Jauh melangkah kaki saya untuk melihat apa yang terjadi di ujung jalan. Saya ambil sepeda lipat yang tergeletak di trotoar. Tak mungkin pemiliknya marah, karena pemiliknya pasti juga sudah ikut menghilang. Saya kayuh sepeda berjam-jam dan saya kecewa. Pemandangan yang sama yang saya lihat. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

Hembusan angin yang datang tiba-tiba membawa suara sirine yang tengah meraung-raung. Arahnya berkebalikan dengan arah yang saya tuju. Tentu saja, saya putuskan untuk kembali. Masih dengan sepeda lipat yang dengan mudah melewati jalur trotoar. Sirine terdengar semakin lama semakin keras. Saya yakin ada orang yang membunyikan sirine berharap ada orang lain yang mendengarnya dan sadar kalau dia tak sendirian. Benar, ada sebuah mobil pemadam kebakaran yang terparkir di pinggir Bundaran HI. Tapi lagi-lagi harus menahan kecewa, mobil itu masih tak berpenumpang.

Perasaan bingung, pertanyaan-pertanyaan yang membumbung di benak, ketakutan, semua campur aduk di kepala. Untuk situasi seperti ini yang dibutuhkan adalah ketenangan jiwa, ketenangan berpikir jernih, dan bukan kepanikan. Saya mulai berpikir, mungkin saja orang-orang tengah berkumpul di suatu lapangan yang tengah menggelar konser besar, sebagian lain tengah mengantri pembagian raskin besar-besaran, dan mungkin sebagian yang lain juga berkumpul di suatu tempat dan melakukan sesuatu. Atau jangan-jangan ada invasi alien yang menculik semua orang untuk dibawa ke planetnya. Hanya satu jawaban dari semua itu, benar, mencari tahu.

Saya cari gedung paling tinggi, siapa tahu dari jarak saya berada tersebut saya bisa melihat dimana sebenarnya orang-orang berkumpul. Saya membuka mata selebar-lebarnya, memandang tatanan kota di bawah, dan garis cakrawala yang membatasi semua benda dengan langit. Saya juga pekakan telinga, mencoba mendengar sayup-sayup suara. Semua saya kerahkan agar dapat jawaban.

Mmm, tidak ada apa-apa sejauh saya melihat dan yang terdengar hanyalah desingan angin yang begitu kuat di atap gedung ini. Saya urung, saya menyerah, kenyataannya bahwa saya tidak tahu dimana mereka semua berada. Saya putuskan untuk seperti biasa berangkat ke kantor, mengerjakan sesuatu, kemudian kembali ke kontrakan. Seperi biasa.


“Dina Andirini”
“Wahyu Prihantoro”
“Iman Cahya Saputra”


Di samping itu, nama orang-orang dipanggil satu per satu dengan urutan acak. Mereka masuk ke sebuah ruangan dengan sebuah timbangan besar di sana. Katanya, timbangan itu dipakai untuk menimbang kebaikan dan keburukan.

O I Nani Keke, Bercermin pada Lantunan Lagu Daerah


“Siapa yang tahu lagu daerah mana yang judulnya ‘O I Nani Keke’?” saya ingat betul pertanyaan yang dilemparkan seorang guru kepada murid-muridnya sewaktu SD, termasuk saya. Kalau “Suwe Ora Jamu” atau “Gundul-Gundul Pacul” pasti saya tahu, pikir saya. Maklum saya berasal dari Jawa Tengah, tidak lucu rasanya apabila saya tak tahu lagu daerah Jawa Tengah. Namun ini, baru saya dengar judul lagu “O I Nani Keke”. Seketika kelas itu hening dan tak ada yang berkata apalagi menjawab.

Guru kesenian saya itu pun mulai berkisah dan mengawalinya dengan kalimat sederhana “Lagu daerah bukan hal yang sepele. Walapun hanya lirik dan nada, bila mereka disatukan akan membentuk cerminan budaya masyarakatnya”. Itu yang saya ingat dan kebaikkan yang diajarkan lagu itu pun pada nantinya akan membekas sampai entah kapan.

O ina nikeke mangewisako (Oh Ibu mau kemana?)
Mange aki wenang (Ibu pergi ke Manado)
Tumeles baleko (Membeli kue)
Weane, weane, weane toyo (Berikan, berikan, berikan sedikit)
Daimo siapa kotare makiwe (Sudah habis kamu baru minta)

O I Nani Keke menjadi salah satu produk lagu daerah asli Minahasa, Sulawesi Utara. Walaupun hanya lima baris, lagu daerah ini sangat mengajarkan tentang nilai kebaikan dan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Bagaimana kasih sayang itu tulus tanpa pamrih. Tanpa pamrih ya tanpa pamrih. Si ibu benar-benar tulus mengasihi anaknya. Namun si anak merasa dimanja dan larut di dalamnya.

Ada dua pelajaran yang dapat diambil. Satu positif untuk kita tiru dan lainnya negatif untuk kita tinggalkan. Ketulusan ibu harus lah kita tiru. Bukan, bukan hanya untuk kita sendiri, tetapi orang lain juga. Bahwa yang berasal dari dalam lubuk hati akan sampai ke hati pula. Kedua, seorang anak yang baik bukan lah anak yang seenaknya saja meminta apa-apa. Sifat seperti itu yang harusnya kita kubur dalam-dalam. Yang berasal dari hati tentu wajib kita balas dengan hal yang berasal dari hati pula. Benar, berbakti. Itu yang sekiranya paling tepat dilakukan seorang anak untuk membalas kasih sayang orang tuannya.

Lebih jauh, lagu ini telah menjadi cerminan budaya. Tidak hanya budaya orang-orang Minahasa, tetapi lebih luas lagi menjadi budaya Indonesia. Orang-orang lama telah mengkultuskan nilai-nilai kebaktian kepada orang tua. Ini lah budaya. Hal yang harus dijaga sepenuh jiwa, bukan hal seperti kamper yang ditinggal sebentar kemudian menyublim perlahan.

Ini lah mengapa kita perlu menjaga kebudayaan. Menjaga tidak harus mati-matian menekuninya, tapi bisa mulai dengan hal kecil semisal menanamkan kembali ke ingatan orang-orang sekarang tentang keindahan tarian daerah, nilai yang diajarkan dari upacara daerah, dan filsafat kebaikan yang terkandung dalam tiap lirik lagu daerah. O I Nani Keke dan lagu-lagu daerah lainnya sedikit banyak orang meramalkannya akan hilang seiring derasnya teknologi. Maka, kita yang akan buktikan pada diri sendiri dan dunia bahwa budaya yang baik akan terus ada selama yang memeliharanya adalah orang-orang baik.

Kemudian di akhir pelajarannya itu, guru saya melemparkan satu pertanyaan yang jawabannya akan selalu ada di benak kita semua hingga kita tiada. Begini sekiranya pertanyaan itu, “Lalu, sebenarnya seberapa baikkah kita?”.

11.06.2012

Peran Utama



Ada yang berbeda dengan dia kali ini. Pakaiannya tidak menunjukkan kalau dia tomboi. Dress panjang dengan motif bunga-bunga pas dengan kulitnya yang putih dan wajahnya yang ceria. Dan hari yang cerah seperti ini juga jarang ada. Lengkap sudah, hari cantik untuk si empunya wajah cantik.

Dia duduk sendiri sambil membaca buku yang tengah dipegangnya. Di bangku taman itu, sejam kemudian terlihat seorang anak kecil dengan pakaian kusut menghampirinya. Dari tempatku berdiri aku sama sekali tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi tenang, aku bisa memastikan bahwa si anak sebentar lagi akan mengeluarkan amplop merah jambu. Tentu saja aku tahu, amplop itu dariku, untuknya.

Setelah dia berbagi roti dan teh hangat bawaan dari rumah, anak kecil itu pergi sambil melayangkan jempolnya ke arahku bersembunyi. Melihat si anak pergi, gadis itu kemudian bergegas membuka amplop pelan-pelan. Sesuai perkiraanku, seharusnya dia berbunga-bunga mendapat surat cinta. Sebentar, tapi ini, dia menangis. Air mata itu mengalir menuju pipi lalu ke bibir yang sedari tadi menyabit ke atas.

Di pojok kanan bawah tertera inisial “AT” singkatan dari Agni Taruwangsa. Dia jelas tahu singkatan itu, nama itu, pasti. Kertas surat itu pun di simpan rapat-rapat di halaman tengah bukunya. Seperti terbaca pikirannya yang saking bahagianya dia membayangkan si penulis surat datang padanya dan menemaninya sore itu. Tenang, yang kamu harapkan pasti akan datang, karena sedari tadi dia juga ada di taman ini. Iya, dari tadi, di taman ini.

Di tengah perasaan bahagia si gadis, tiba-tiba seorang pria datang. Pria dengan stelan kemeja rapi yang aku kenal persis siapa dia. Bagaimana tidak, aku sudah mengenal pria ini sejak di bangku SMA. Sudahlah, yang penting mulai dari sini urusanku resmi selesai. Aku putuskan untuk beranjak pergi. Setidaknya aku sudah merasa puas sekarang, karena pesanku sudah sampai padanya.


“Mmm, Dina” Pria dengan stelan kemeja itu duduk di sampingnya.
“Hei, Agni” Jawab Dina tersenyum.

10.24.2012

Pak Poniman, Potret Guru yang Tersisa di Zamannya





Tiap pagi dia mengayuh pedal sepeda tuanya melewati pematang sawah dan jalan kota. Keringatnya tak terlihat karena sapu tangan biru tua selalu berada di tempatnya, saku kanan bajunya. Penampilannya mungkin sudah tua untuk mengajar, tapi otot-otot di lengannya masih terlihat kokoh menggoreskan kapur di papan tulis. Saban hari kecuali Minggu dia lakukan rutinitas itu yang baginya mirip olahraga. Bukan hanya olahraga fisik, tapi juga mental. Dia yang bernama Poniman, seorang guru SD Negeri yang sekilas sama dengan guru-guru lain. Tapi coba lihat dia seksama, dia berbeda, dia langka, dia… potret guru yang tersisa di zamannya.

Saya kelas 6 SD ketika mendapatkan sosok orang ini sebagai wali kelas. Hari pertama masuk sekolah dan belum terbayang siapa sosok Pak Poniman. Hanya desas-desus tentang cara mengajar yang berbeda dari guru kelas 1 hingga kelas 5 yang lalu. Di tahun 2001, anak SD masih banyak yang berjalan kaki, termasuk saya. Saya biarkan kaki saya yang menuntun, menunjukkan arah sekolah. Dan 10 menit setelah saya menaruh tas di kelas baru, bel masuk berbunyi, pertanda kelas baru, kelas yang desas-desusnya berbeda, akan segera dimulai.

Pak Poniman, nama yang dia sebut ketika memperkenalkan diri. Dia mulai mengajar IPA dasar, Bahasa Inggris, Matematika, semuanya. Hingga bel pulang berbunyi saya sadar satu hal. Dia memang berbeda, sangat berbeda. Perbedaan itu ketara terlihat. Tak ada yang bisa ditutupi, karena memang dia berbeda. Bukan, dia bukan alien. Dia beda karena dia disiplin.

Ketika keluar kelas, halaman sekolah sudah tak bersuara. Suasananya terlalu hening untuk ukuran pulang sekolah. Suasana yang tak pernah saya temui di kelas 1 sampai kelas 5. Ketika semua siswa kelas 1 sampai 5 pulang lebih awal karena guru mereka yang malas mengajar, Pak Poniman masih suka cita menerangkan saluran pernafasan makhluk hidup. Di saat semua siswa kelas 1 sampai 5 sering kosong ditinggal guru mereka, Pak Poniman masih berapi-api menjelaskan rumus luas dan keliling. Ketika guru-guru lain sudah menyalakan motor dan membayangkan makan siang di rumah bersama anak dan istri, Pak Poniman masih sibuk di ruang guru, mengoreksi pekerjaan rumah anak didiknya.

Guru yang lain seperti acuh tak acuh terhadap siswanya. Korupsi waktu, iya korupsi waktu. Saya baru sadar saat ini, setelah 10 tahun berpisah dengan masa SD. Bahwa guru kelas 1 sampai kelas 5 lebih banyak meninggalkan siswa-siswanya ketika jam pelajaran. Pernah saya melihat guru saya saat kelas 4 meninggalkan jam pelajaran untuk membeli sayuran di depan sekolah. Waktu belajar kita dianggap tidak lebih penting dari waktu memikirkan akan makan siang apa hari ini. Saya baru sadar, bahwa semua bentuk korupsi yang ada di Indonesia, semua kelemahan jiwa, semua hal yang mengagungkan kepentingan uang, semuanya, di mulai dari hal kecil, termasuk korupsi waktu.

Dan Pak Poniman, terlepas dari apapun, telah mengajarkan bahwa yang sedikit tapi benar akan lebih terasa karena hal itu memang hal yang baik, hal yang bermuara dalam hati. Kerja kerasnya mengayuh sepeda, perjuangannya mementingkan pendidikan siswanya dengan tak meninggalkan kelas dan membubarkan kelas sesuai jadwal. Semua hal itu mengajarkan saya bahwa kebaikkan memang harus diajarkan sejak dini. Iya, sejak jauh-jauh hari agar tak ada kata “menyesal” yang mengekor setelahnya.

Semoga Bapak masih setia dengan sepeda tua, baju resmi, sapu tangan di kantong kanan, tangan putih karena kapur, dan… kedisiplinan.

...
Tulisan di atas menggambarkan bagaimana korupsi menjadi model didikan sejak kecil. Tak usah ditanya lagi bahayanya. Korupsi bukan lagi seperti ranjau yang meledak jika diinjak, tapi sudah seperti bom nuklir yang imbasnya terasa selamanya. Didikan yang salah sejak kecil akan melemahkan mental ketika dewasa. Contohnya korupsi waktu di atas. Dan oleh sebab itu perlu orang orang seperti Pak Poniman yang walaupun dia sendirian, dia minoritas, selama dia yakin benar akan tindakannya dia terus maju. Peduli setan orang bicara jelek dibelakangnya.

Produk sejak kecil yang salah ini yang seharusnya tidak kita biarkan. Guru-guru SD, orang tua, lingkungan sosial harus membentuk mental yang baik sejak masa kanak-kanak. Jangan biarkan praktek korupsi yang berbentuk apapun mengendap di otak anak-anak kita. Biarlah yang tua yang korupsi, maka yang muda yang harus berubah. Tentu saja, berubah ke arah lebih baik. Selama harapan itu ada kita masih boleh bernapas lega. Mengutip kata orang “Tidak ada harapan untuk abadi di dunia ini, kecuali harapan itu sendiri”. Sekian.