3.26.2011

Didunia




Di dunia, ada dua yang disebut berwujud. Perkenalkan, aku dan bayanganku. Aku segar seperti embun kala fajar di bulan Februari, dan bayanganku, benar bayanganku yang selalu mengekor dibelakang. Atau mungkin kalian salah? Bayanganku kadang-kadang juga di depan. Seperti tadi senja, aku dan bayanganku yang berada di depanku temukan ratusan orang terkapar di balai kota. Aku terperanjat saat itu juga, pula bayanganku. Kita saling menatap satu sama lain, sambil bertanya, udara apa yang membuat ratusan orang terkapar seperti ini? Sebenarnya orang-orang ini tak sepenuhnya pingsan. Mereka masih bisa mendengar walaupun samar-samar, mereka masih bisa melihat walaupun samar-samar, dan yang paling aneh, mereka lebih bisa merasa. Udara apa yang membuat ratusan orang terkapar seperti ini? Udara apa? Benar ini hanya udara? Aku dan bayanganku masih terus berpikir.
Perkenalkan, ini udara. Dia yang dihirup semua orang, yang menghidupi semua orang. Tapi mungkin yang menyebabkan ratusan orang ini terkapar adalah udara yang lain. Benar, aku dan bayanganku tanya dengan beberapa udara biasa. Mereka hanya menggelangkan kepala. Aku dan bayanganku lalu begitu saja karena kami yakin mereka memang tak tahu, semua terlihat dari mata mereka. Kami langkahkan kaki. Kaki kami beradu di ujungnya. Saat senja perlahan-lahan kuncup, kaki kami masih beradu diujung, hanya saja bayangan jadi tak tentu, kadang di depan kadang di belakang. Semua karena ulah lampu kota.
“Iya, aku punya ide. Kenapa tak terpikir olehku sebelumnya?” Bayanganku tiba-tiba bicara, mengagetkan.
“Apa itu?” Tanyaku.
“Kenapa kita tak tanya lampu kota yang ada di balai kota? Mungkin mereka tahu apa yang terjadi di balai kota tadi,” jawab bayanganku
Aku mengiyai ide cemerlang bayanganku. Kami bergegas kembali ke balai kota. Tapi, waktu kembali ke balai kota terasa lebih lama dari waktu pergi tadi. Mungkin kami tersesat. Ya benar, kami memang tersesat. Dan mungkin udara yang membuat ratusan orang terkapar itu lah yang menyesatkan kami. Hari telah malam seketika. Di ujung jalan yang kami tak tahu namanya, terlihat lampu kota, ah bukan, itu hanya lampu taman, berkedip-kedip seperti segan hidup. Ketika kami hampiri, ternyata benar, lampu taman itu sudah berumur. Kacanya retak dimana-mana, cahayanya remang-remang. Kami bertanya pada lampu taman jalan untuk kembali ke balai kota. Ternyata lampu taman sudah tak lagi bisa bicara, hanya bisa menggeleng dan mengangguk. Kami bertiga terlibat perbincangan sulit. Untunglah, lampu taman memberi tahu kami jalan kembali ke balai kota. Dia menggeleng ketika aku tanya ke kanan. Dia mengangguk ketika aku tanya ke kiri. Tanpa pikir panjang kami bergegas ambil jalan ke kiri. Kaki kami jalan lebih cepat kali ini, karena hari akan segera menjadi tengah malam.
Lambat laun kami mulai kelelahan berjalan, dan balai kota tak kunjung kami temukan. Kami terus berjalan dan bayanganku tetap ada, kali ini tepat di bawahku. Tepat di atasku, bulan purnama sangat bulat bersinar sangat terang. Sepertinya dimana kaki kami melangkah, kami semakin tersesat. Hingga tiba pada jalan yang tak ada lampu kota atupun lampu taman di situ, hanya ada sebatang pohon besar tua. Kami duduk bersandar di pohon itu karena kelelahan. Kami tertidur. Belum lama tertidur, kami terbangun karena sesak. Pohon tua itu ternyata rakus saat malam. Dia memakan semua oksigen, dan tidak menyisakan sedikit pun untuk kami. Akhirnya, kami putuskan untuk melanjutkan mencari jalan menuju balai kota.
Hari masih tengah malam, dan kami hampir putus asa. Kami semakin tersesat, kali ini di hutan yang di dalamnya tumbuh pohon-pohon ekaliptus besar, tapi tak serakus pohon tua tadi. Mereka semua tertidur, mungkin karena malam di sini memang sangat tenang. Kami tak mau tertidur seperti mereka. Kami takut menjadi sesak napas kembali. Kami terus melangkah.
Udara apa yang membuat ratusan orang terkapar seperti ini? Udara apa? Udara? Kami terbangun oleh usapan halimun. Benar, kami tertidur tadi malam. Mungkin udara yang sama yang membuat kami tertidur. Mungkin? Dunia penuh kemungkinan. Mungkin ini hanya mimpi. Mungkin orang-orang di balai kota kemarin tidak benar-benar terkapar. Mungkin lampu taman sebenarnya bisa bicara. Mungkin pohon besar tua tak serakus itu. Dunia penuh kemungkinan. Tiba-tiba aku dan bayanganku berada di padang rumput yang lapang. Kami dihujani rintik-rintik. Fajar hanya lamat-lamat. Kami coba tanya pada butiran hujan dan fajar yang lamat-lamat, mereka juga tidak tahu jalan kembali ke balai kota. Namun, tiba-tiba di tengah perbincangan kami, terdengar jeritan orang. Satu orang? Tidak mungkin, karena suara ini terlalu keras untuk ukuran suara seorang. Puluhan mungkin. Ratusan? Bahkan mungkin ribuan. Aku dan bayanganku berlari menuju arah suara itu berasal. Tepat pada ujung padang rumput, kami menengok ke depan sejauh-jauhnya. Kami lihat balai kota, kali ini ada ribuan orang terkapar. Oh tidak, mungkin jutaan. Mereka terkapar tak bergerak. Udara apa yang membuat jutaan orang terkapar seperti ini?
Kami ingin turun, tapi tak bisa. Kami merenung. Seperti membaca mantra, kami berdoa. Tiba-tiba muncul pelangi. Dia melengkung. Satu ujungnya ada pada ujung padang rumput dan ujungnya yang lain tepat di balai kota. Kami meluncur cepat sekali hingga kami rasai nyawa kami tertinggal di belakang. Kami jatuh sangat keras di balai kota. Kami pingsan beberapa waktu dan ketika kami bangun hari sudah senja lagi. Aneh, jutaan orang terkapar itu lenyap. Semua lenyap. Aneh. Dimana mereka semua? Aneh. Mereka lenyap. Aneh. Lenyap. Aneh. Dimana? Aneh. Lenyap.
Kami teriak sekeras-kerasnya sambil menengadahkan muka pada langit. Aneh. Lenyap. Dimana? Kami kaget jutaan orang itu ternyata di atas kami. Ya benar, di atas kami. Aneh. Ternyata suatu udara yang tidak biasa telah membuat mereka terkapar tak berdaya, kemudian menerbangkan mereka ke langit. Mereka melayang-layang di angkasa. Udara apa yang membuat jutaan orang melayang seperti ini? Ternyata ini adalah udara maha kuat. Udara yang juga menyesatkan kami. Menidurkan kami. Memberi pelangi. Udara yang membuat jutaan orang terkapar di balai kota. Udara yang membuat jutaan orang yang tadinya terkapar, melayang di angkasa.
Kaki kami tak lagi beradu. Aku dan bayanganku menjauh. Aku melayang, sedang bayanganku tertinggal di bawah. Aku sadar aku melayang. Tapi perasaan apa ini? Aku tidak tahu, tapi aku senang. Aku bahagia. Bayanganku coba untuk meraihku, tapi aku terburu melayang sangat tinggi. Aku menabrak iringan awan stratus. Rasanya geli, tapi aku senang. Aku menyapa kawanan burung ibis. Rasanya aneh, tapi aku senang. Aku benar-benar bahagia. Tiba-tiba jutaan orang yang ada di angkasa ini tertawa. Ternyata mereka juga senang. Aku lihat Pak Umar penjual sayur yang jujur. Aku lihat si Abdullah penjaga masjid. Aku lihat si Santi mahasiswi yang rajin. Aku lihat Pak Narto pejabat yang tidak korup. Aku lihat Haji Jafar orang kaya yang dermawan. Aku lihat Anto teman SD ku dulu yang selalu mengajari aku pelajaran sulit. Aku lihat Bu Ratmi penjual jamu yang murah senyum. Mereka semua orang baik. Mereka semua melayang.
Udara apa ini yang membuat jutaan orang begini? Udara maha kuat? Tapi apa? Udara ini udara yang membuat senang. Mungkin orang-orang ini tidak peduli, karena mereka terlampau senang. Aku pun hampir tak mempertanyakan lagi. Hanya saja aku senang. Aku terlampau bahagia. Saat kami mendarat, bayangan kami bertepuk tangan ramai sekali. Mereka menangis bahagia. Dan kami tak lagi mempertanyakan udara ini. Kami terlampau senang. Kami terlampau bahagia.