Tiba-tiba terasa, lebih tepatnya
terlihat, ada sesuatu yang meloncat loncat kadang di depan kadang di belakang.
Sesekali dia di samping. Dibawanya satu set kamera lengkap dengan tripodnya.
Dial ah yang bernama perekam. Tugasnya sederhana, merekam semuanya setiap hari,
setiap detik. Kemudian rekaman itu ditumpuk manis di pikiran-pikiran umat
manusia agar semua bisa memutarnya sekehendak hati.
Jangan tanya soal peralatan,
dijamin semua canggih. Tak perlu khawatir tentang sudut pengambilan gambar, semua
pas. Dial ah perekam, yang tugasnya merekam. Dia ada di setiap manusia yang
sungguh-sungguh percaya pada ke-manusia-annya. Bahwa manusia lemah serba
terbatas. Bahwa manusia sering mengeluh jarang bersyukur. Bahwa manusia mampu
mengubah semuanya selama ia mampu. Dia lah perekam, si perekam segalanya.
Benar dia memang merekam
segalanya. Frog eye dan eagle eye, semuanya ada. Long shot, medium, atau close up
lengkap dan teredit rapi dengan sedikit colouring
untuk dramatisasi. Perekam tak pernah kehabisan kaset. Baginya kaset hanyalah
peluru yang bisa ia datangkan dengan bersin, semudah itu. Hanya saja ketika
kaset berisi dokumentasi itu ia titipkan pada manusia, sesuai dengan
karakteristik manusia sebagai makhluk teledor, manusia sering menghilangannya.
Manusia sering menganggap remeh rekaman-rekaman itu, padahal rekaman itu yang
bisa menjauhkan mereka dari malapetaka dan mendekatkan mereka pada Illahiyah
dan ketentraman jiwa (ataraksia).
Manusia juga pelupa. Otak yang
dibiarkan semrawut memudahkan
kaset-kaset titipan itu hilang. Yang kasetnya banyak bisa menjawab pertanyaan,
yang sedikit meringis karena tak tahu apa-apa. Yang benar, manusia bedakan mana
kaset yang sepatutnya disimpan di otak kanan, mana di otak kiri. Yang tidak
benar, mengacaknya, dan ketika mencari akhirnya manusia salah menemukan. Kalau
sudah begitu semua serba salah kaprah. Duh, manusia teledor, manusia salah
kaprah, manusia terbatas. Manusia harusnya mencium keberadaan, juga mencumbu
ketidakadaan, karena keduanya bersinergi di dalam batin. Seperti punya “aku”
banyak di satu jasad.
Tiba hingga suatu waktu si
perekam mati tepat saat umat manusia tiada. Perekam akan mainkan filmnya, tanpa
tendensi. Tak lagi didramatisir, semua apa adanya. Dan saat yaumul hisab semua akan menyaksikan.
Semua akan diam sediam-diamnya karena Sang Tuan Maha Segala ada di tempat duduk
paling depan. Mengganjar segalanya, semuanya, seluruhnya.