7.31.2012

Kemauan I: Melakukan Perjalanan Bersepeda Klaten-Solo


Otak yang akhir-akhir ini dilanda prahara skripsi mulai berontak. Dia membuat semacam alat berat lalu dengan keras menggempur tembok planning dan mulai menyabangkan aliran-aliran impuls. Ini awal dari rentetan perhelatan kemauan. Pertanyaan yang kemudian datang bukan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak.

Diawali dari membuat daftar kemauan yang untuk ukuran orang normal stratanya di bawah “hal-hal tidak penting”. Daftar ini dibiarkan kosong agar si pengganggu yang sering disebut jadwal, tidak datang. Urutannya pun dibuat tak beraturan, satu hingga tak terhingga.

Dimulai dari kemauan pertama yang datang diantar si ilham dan intuisi. Mereka berdua tiba di depan pintu otak dengan membawa sepeda Polygon buatan tahun 2004. Si Juki, namanya Si Juki. Dia kekar bagai anak Zeus. Dia menawan bagai anak Ibrahim. Dia setia bagai Romeo. Dia yang akan membawa badan 75 kilogram ini menyusuri terang-gelap jalan Klaten-Solo.

Persiapan dilakukan sebelum 20.15 pun tiba, waktu berangkat. Pamitan dilakukan sekhusyuk mungkin. Kayuhan pertama memberatkan, tapi berikutnya semakin menyenangkan. Hingga tiba di pusat Kota Klaten, gemerlap merubah sayu gelap menjadi kesan suka cita. Ada yang meriah di alun-alun, hingga otak berpikir jauh ke belakang. Kenapa ada public space bernama alun-alun? Mungkin pertanyaan ini lah yang akan menjawab pertanyaan sebelumnya,” kenapa manusia itu makhluk sosial?”.

Perhatian kembali tertuju penuh pada jalan, pada roda depan yang berputar. Sampailah pada sepanjang jalan yang gelap. Pastilah munafik bila berkata tanpa rasa takut melewati jalan ini bersepeda sendirian. Urung memikirkan hal tersebut, pikiran malah ingat pada filosofi gelap-terang yang pernah tertutur seorang teman. Dia entah mendapat wangsit dari mana, menulis sebuah kalimat yang bila diperhatikan dan didalami, maknanya menggugah rasa takut, untuk apapun. Dia berkata lewat tulisan, “Coba pikir, gelap itu sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah kekurangan cahaya”.

Satu jam kemudian, lampu kota mulai menyiangi. Sampailah badan yang lelah dengan aroma bau ini di Delanggu. Di tempat ini pula diri dan batin menuai kesepakatan. Kita sepakat untuk berhenti sejenak untuk menaruh tas puluhan kilogram, agar badan bisa sedikit bernafas. Satu dua teguk air pun mulai mengalir turun melewati kerongkongan yang kering. Seperti air hujan yang tiba-tiba menjatuhi wadi.

15 menit waktu yang dirasa cukup untuk membetulkan urat punggung yang geser. Setelah lelah sedikit dibasmi, perjalanan kembali dilakukan.

Kesadaran kembali terbuai pada imaji. Setelah membaca “Psikologi Imajinasi”-nya Sartre, baru tahu kalau ini lah yang disebut imaji. Saat membayangkan sendiri di tempat yang kurang cahaya. Samping kiri parit dan samping kanan banteng-banteng besi lalu lalang. Hanya sendiri di tempat seperti ini, jujur, bukan hal yang patut dirayakan. Banteng besi ini juga kelihatan angkuh. Imaji semakin liar hingga membayangkan mesin kendaraan tak pernah ditemukan, dan semua orang di sini menaiki sepeda, jalan, atau berkuda. Ada bayangan pula tentang orang-orang yang bersahaja, saling sapa walau tak tahu nama.

Lampu kota kembali berbinar. Kini tiba di Kartasura. Entah dari mana datangnya, ada seseorang yang sama bersepeda sudah di depan. Dari caranya mengayuh, yakin dia buru-buru. Dari caranya berpakaian di seperti pulang dari bekerja. Tas pinggang dan stelan kemeja kotak-kotak cukup memberi tahu. Ini  sesuatu yang asing karena sejak tadi hanya sendiri dan seperti kawan dia seolah mengajak bersepeda bersama.

Kuikuti ayuhan pedalnya yang untuk ukuran sepeda, itu sangat kencang. Ajaib, badan ini tidak terasa lelah mengikuti ritmenya. Satu kesimpulan yang sampai di otak, yakni melakukan perjalanan jangan sendirian, bahasanya “share with”. Teringat pula dua film yang mengajarkan itu, “127 Hours” dan “In to The Wild”. Dua film ini sama-sama mengajarkan untuk berpikir bebas, merdeka, tanpa harus dikekang rutinitas. Bahwa rutinitas itu baik, tapi lebih baik juga menyelanya dengan hal-hal spontan. Toh, Emanuel Kant juga akhirnya mati karena ketakutan kronis akan penyakit yang diobatinya dengan memuja rutinitas.

Berbeda tujuan, si penunggang sepeda asing itu akhirnya membanting kemudi ke kiri. Kami lakukan ritual membunyikan bel sepeda sebagai tanda berpisah.

Perjalanan yang tinggal beberapa menit harus kembali dihabiskan sendiri. Sekarang tidak ada apa-apa untuk dipikirkan, hanya lelah menggelayuti. Hingga akhirnya badan lunglai ini berhasil duduk manis di sebuah wedangan Pasar Kembang pada jam yang menunjuk 22.30.

50 kilo meter yang ditempuh 2 jam 15 menit ini akan menjadi ritual kemauan pertama. Bukan, bukan perjalanannya saja yang mengesankan, tapi kesadaran imajinasi yang terbentuk sepanjang perjalanan juga patut diperhatikan. Bahwa kita harus berkeringat dulu untuk mendapatkan sesuatu. Bukan hanya sekedar uang yang banyak, jabatan yang tinggi, tetapi juga kepuasan batin. Kepuasan ini yang menduduki peringkat pertama, yang melahirkan kata “senang”, “bahagia”, “suka cita”, dan lain-lain. Dan kepuasan lah yang dapat ditempuh dengan banyak jalan, tidak harus menurut pakem, selama itu jalan yang benar. Nukilan dari film “K vs K” lah yang akhirnya layak menutup catatan ini.

If you wanna do the right thing, let’s do it the right way

Sekian.

3 komentar:

  1. betul, crut...
    orgasme itu lebih enak dari uang
    haha...

    BalasHapus
  2. wah, nek kui ra melu2 aku. Tp koyone bener. hehe

    BalasHapus
  3. maksut saya, "orgasme" dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan, anak muda...
    #uhuk-uhuk

    BalasHapus