Otak yang akhir-akhir ini dilanda prahara skripsi mulai
berontak. Dia membuat semacam alat berat lalu dengan keras menggempur tembok planning dan mulai menyabangkan
aliran-aliran impuls. Ini awal dari rentetan perhelatan kemauan. Pertanyaan
yang kemudian datang bukan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak.
Diawali dari membuat daftar kemauan yang untuk ukuran orang
normal stratanya di bawah “hal-hal tidak penting”. Daftar ini dibiarkan kosong
agar si pengganggu yang sering disebut jadwal, tidak datang. Urutannya pun
dibuat tak beraturan, satu hingga tak terhingga.
Dimulai dari kemauan pertama yang datang diantar si ilham
dan intuisi. Mereka berdua tiba di depan pintu otak dengan membawa sepeda Polygon
buatan tahun 2004. Si Juki, namanya Si Juki. Dia kekar bagai anak Zeus. Dia
menawan bagai anak Ibrahim. Dia setia bagai Romeo. Dia yang akan membawa badan
75 kilogram ini menyusuri terang-gelap jalan Klaten-Solo.
Persiapan dilakukan sebelum 20.15 pun tiba, waktu berangkat.
Pamitan dilakukan sekhusyuk mungkin. Kayuhan pertama memberatkan, tapi berikutnya
semakin menyenangkan. Hingga tiba di pusat Kota Klaten, gemerlap merubah sayu
gelap menjadi kesan suka cita. Ada yang meriah di alun-alun, hingga otak
berpikir jauh ke belakang. Kenapa ada public
space bernama alun-alun? Mungkin pertanyaan ini lah yang akan menjawab
pertanyaan sebelumnya,” kenapa manusia itu makhluk sosial?”.
Perhatian kembali tertuju penuh pada jalan, pada roda depan
yang berputar. Sampailah pada sepanjang jalan yang gelap. Pastilah munafik bila
berkata tanpa rasa takut melewati jalan ini bersepeda sendirian. Urung
memikirkan hal tersebut, pikiran malah ingat pada filosofi gelap-terang yang
pernah tertutur seorang teman. Dia entah mendapat wangsit dari mana, menulis
sebuah kalimat yang bila diperhatikan dan didalami, maknanya menggugah rasa
takut, untuk apapun. Dia berkata lewat tulisan, “Coba pikir, gelap itu
sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah kekurangan cahaya”.
Satu jam kemudian, lampu kota mulai menyiangi. Sampailah badan
yang lelah dengan aroma bau ini di Delanggu. Di tempat ini pula diri dan batin
menuai kesepakatan. Kita sepakat untuk berhenti sejenak untuk menaruh tas
puluhan kilogram, agar badan bisa sedikit bernafas. Satu dua teguk air pun
mulai mengalir turun melewati kerongkongan yang kering. Seperti air hujan yang
tiba-tiba menjatuhi wadi.
15 menit waktu yang dirasa cukup untuk membetulkan urat
punggung yang geser. Setelah lelah sedikit dibasmi, perjalanan kembali
dilakukan.
Kesadaran kembali terbuai pada imaji. Setelah membaca “Psikologi
Imajinasi”-nya Sartre, baru tahu kalau ini lah yang disebut imaji. Saat
membayangkan sendiri di tempat yang kurang cahaya. Samping kiri parit dan
samping kanan banteng-banteng besi lalu lalang. Hanya sendiri di tempat seperti
ini, jujur, bukan hal yang patut dirayakan. Banteng besi ini juga kelihatan
angkuh. Imaji semakin liar hingga membayangkan mesin kendaraan tak pernah
ditemukan, dan semua orang di sini menaiki sepeda, jalan, atau berkuda. Ada bayangan
pula tentang orang-orang yang bersahaja, saling sapa walau tak tahu nama.
Lampu kota kembali berbinar. Kini tiba di Kartasura. Entah
dari mana datangnya, ada seseorang yang sama bersepeda sudah di depan. Dari
caranya mengayuh, yakin dia buru-buru. Dari caranya berpakaian di seperti
pulang dari bekerja. Tas pinggang dan stelan kemeja kotak-kotak cukup memberi tahu.
Ini sesuatu yang asing karena sejak tadi
hanya sendiri dan seperti kawan dia seolah mengajak bersepeda bersama.
Kuikuti ayuhan pedalnya yang untuk ukuran sepeda, itu sangat
kencang. Ajaib, badan ini tidak terasa lelah mengikuti ritmenya. Satu
kesimpulan yang sampai di otak, yakni melakukan perjalanan jangan sendirian,
bahasanya “share with”. Teringat pula dua film yang mengajarkan itu, “127 Hours”
dan “In to The Wild”. Dua film ini sama-sama mengajarkan untuk berpikir bebas,
merdeka, tanpa harus dikekang rutinitas. Bahwa rutinitas itu baik, tapi lebih
baik juga menyelanya dengan hal-hal spontan. Toh, Emanuel Kant juga akhirnya
mati karena ketakutan kronis akan penyakit yang diobatinya dengan memuja
rutinitas.
Berbeda tujuan, si penunggang sepeda asing itu akhirnya membanting kemudi ke
kiri. Kami lakukan ritual membunyikan
bel sepeda sebagai tanda berpisah.
Perjalanan yang tinggal beberapa menit harus kembali dihabiskan
sendiri. Sekarang tidak ada apa-apa untuk dipikirkan, hanya lelah menggelayuti.
Hingga akhirnya badan lunglai ini berhasil duduk manis di sebuah wedangan Pasar
Kembang pada jam yang menunjuk 22.30.
50 kilo meter yang ditempuh 2 jam 15 menit ini akan menjadi
ritual kemauan pertama. Bukan, bukan perjalanannya saja yang mengesankan, tapi
kesadaran imajinasi yang terbentuk sepanjang perjalanan juga patut
diperhatikan. Bahwa kita harus berkeringat dulu untuk mendapatkan sesuatu.
Bukan hanya sekedar uang yang banyak, jabatan yang tinggi, tetapi juga kepuasan
batin. Kepuasan ini yang menduduki peringkat pertama, yang melahirkan kata “senang”,
“bahagia”, “suka cita”, dan lain-lain. Dan kepuasan lah yang dapat ditempuh
dengan banyak jalan, tidak harus menurut pakem, selama itu jalan yang benar.
Nukilan dari film “K vs K” lah yang akhirnya layak menutup catatan ini.
“If you wanna do the right
thing, let’s do it the right way”
Sekian.
betul, crut...
BalasHapusorgasme itu lebih enak dari uang
haha...
wah, nek kui ra melu2 aku. Tp koyone bener. hehe
BalasHapusmaksut saya, "orgasme" dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan, anak muda...
BalasHapus#uhuk-uhuk