7.23.2012

My Film

Dia. Pernah kamu lihat dandelion di kutub utara? Tak kurang seperti itulah dia. Penggalan ini adalah sedikit kisah tentangnya, dari sudutku. Di sudut yang kurang ini, aku seperti pemutar film yang tak bosan-bosan memutar kisah itu.


Chapter 1
“Minggir, minggir!” Suara seorang tinggi besar yang tengah menenteng tas bagor sebesar beruang. Tanpa basa-basi pria itu berjalan sesukanya dan puluhan orang berdesakan mengekor di belakang. Dari arah berlawanan, tak kalah banyaknya orang juga mau keluar dari gerbong ini, setidaknya mencari udara segar. Seperti kapal yang diobrak-abrik gelombang besar, gerbong selebar  satu meter tampak tumpah ruah oleh manusia.

Di sudut ini, sudut yang aman dari desakan puluhan manusia tanpa otak, aku melihatnya terduduk lesu. Dia tak bergerak. Dia tergencet badan ratusan kilogram.

Aku coba menepis tangan bapak yang sedari tadi menghalangiku. Aku coba lawan arus ini, berdesak-desakkan. Sejurus itu aku lihat seketika dia masih diam meringis menahan badan yang menggencetnya. Aku lihat tangannya. Aku tarik dia di tempat aman dan punggung ini melindunginya beberapa menit.

Akhirnya semua mereda, walaupun tak seperti keadaan berangkat.


Setelah beberapa jam dan kereta berumur ini melaju, kami mulai akrab. Kami berdua hampir menceritakan semua. Berdiri? Memang, tapi sepertinya dia sudah mahir. Bahkan sesekali dia berjinjit karena pegal. Bibirnya tak henti bicara. Manis. Kulihat itu, semuanya dari sudut ini, tepat disampingnya. Dan ketika aku menghadap lurus, samar aku hanya bisa melirik tangannya.

Kereta sangat pelan. Tentu, karena ini kereta yang terkenal lambat. Tapi di kecepatan yang kurasa konstan ini ada yang bergerak sangat cepat masuk menyesaki dada. Apa ini? Seolah saling berkata dengannya membuat kereta ini menjadi cepat. Sangat cepat. Semakin cepat. Di luar, pohon-pohon, jalanan, sawah serba berlari berlawanan.

Bukan, bukan kereta yang semakin kencang melaju, tapi persepsi waktu yang buru-buru. Sekilas kemudian kami tiba di stasiun tujuan. Badan buru-buru pulang, tapi jiwa buru-buru tinggal.


Chapter 2
Menunggu, itulah hakekat hidup. Sayang kalau interval menunggu ini dihabiskan hanya dengan melamun atau duduk-duduk di bawah pohon sawit sambil mengharap durian runtuh. Inilah waktu menunggu yang berkualitas, saat menunggu tukang sate datang.

Di depan sanggar, samar-samar tukang sate terlihat. Mata memicing, otak memastikan. Sebentar, itu bukan tukang sate? Dia terlalu manis untuk ukuran tukang sate. Apalagi, tidak ada grobak untuk didorong. Hanya ada angin sore meniup rambut hitam panjangnya yang tergerai.

Dia datang, dari jauh menuju tepat di depanku. Dia tak mengatakan sekata pun, seenaknya duduk di sampingku. Aku masih berdiri 3 meter di sampingnya. Lama sekali waktu berlalu hingga mungkin dibenaknya dia bilang, “Hei kamu! Kamu laki-laki bukan? Kalau iya, buktikan. Awali pembicaraan!”

Hingga akhirnya orang-orang datang. Mereka saling berdiskusi ini itu dan yang terdengar di telingaku hanyalah suara-suara tak jelas. Bukan, bukan aku tak bisa mendengar mereka seksama, hanya saja fokusku di ambil alih oleh gadis ini.

Lalu, aku coba mengawali dengan bergumam sesuatu. “Oh iya, aku harus ibadah” sebuah kata yang aku piker itu seperti ironi. Ibadah? Mengapa ibadah? Tapi memang benar aku belum melakukannya dan senja hampir datang. Aku sibuk memikirkan kata “ibadah” dan, dia menyahut.

“Aku juga belum. Ayo ke masjid”. Itu pertama kalinya kita duduk begitu dekat. Di motor. Berdua, iya, kali ini hanya berdua.


Chapter 3
Sudah lama tak ada kabar apa-apa. Tapi ini bukan kamper yang ditinggal lama akan menyublim. Yang ini tetap padat dan mengendap di otak.

Aku andalkan mataku yang lain karena mata biasa tak bisa menembus jutaan tembok, sawah, pohon, jalan untuk melihat apa yang dia kerjakan setiap hari. Mata yang lain ini tidak lantas menjadi efisien, tapi apa daya, tinggal ini pengharapan.

Sambil menahan rasa sakit akibat benda padat di otak, aku mulai menyampaikan pesan-pesan. Satu permasalahannya, aku yang tak biasa semiotika berlagak memakai simbol dan tanda. Mampus lah aku, dia juga membalasnya dengan simbol dan otak ini tak bisa mengintrepetasikannya. Mampus aku.

Dan tibalah saya bercumbu dengan komputer ketika ada suara pertanda sebuah email datang. Mata mengusap tak yakin, tapi benar ini darinya. Bukan kata-kata biasa isinya, melainkan sebuah lagu. Lagu ini berlirik. Namun, apakah ini sebuah simbol? Sudahlah. Menyesal karena dulu tidak benar-benar mendengarkan kuliah “Dasar-Dasar Logika”- lah yang mengekor kemudian.

Satu hal yang pasti. “Oh, I Never Know”-nya Sarasvati  yang kemudian memenuhi gendang telinga pagi, siang, sore, malam.


Chapter 4
Hari berganti, cerita pun turut serta. Kali ini dia bukan hanya jadi benda padat yang mengendap di otak, seperti tumor, tapi dia juga bagian dari stimulus yang mendorong setiap organ tubuh untuk terus bekerja.

What if, kita pakai konsep klasik. Tengok saja “Carnival”-nya The Cardigans atau “Kiss Me”-nya Sixpence?” usulku di sebuah forum rapat kecil-kecilan membahas lagu apa yang akan dimainkan saat tugas Musical Show.

Tak penting membahas tugas Musical Show yang hanya sebuah tugas dari rentetan tugas Mata Kuliah Spesialisasi Video 4.

Setelah ini adalah bagian terpentingnya. Dia datang. Iya, kita lagi-lagi satu kelompok. Mukjizad? Ah, ini tak lebih dari sebuah kebetulan belaka. Kalau dihitung-hitung, ini kali ketiga kita kebetulan satu kelompok.

Tiba gilirannya untuk memberi usul konsep. Tanpa tahu konsep apa saja yang tertampung lebih dulu, dia mengusulkan sesuatu. Yang ini sepertinya dia sangat mantap. Terlihat muka seriusnya yang seperti memaksa yang lain untuk mencurahkan semua perhatian kepadanya.
“Bagaimana kalau konsep klasik misal Cardigans atau Sixpence…”

Sama.


Chapter 5
Gerimis menyapu jalan aspal lalu menghantar baunya hingga eus catius. Suasana? Mmm, oke. Tempat? Mmm, yang ini tidak layak, tapi siapa peduli. Kita berdua di SPBU. Ini kali ketiga kita hanya berdua saja dan orang-orang tak dikenal di sekitar ini, hanya kameo.

Kita bicara ini itu dulu sebelum akhirnya aku meminta izin untuk mewawancarainya guna tugas jurnalistik 2. Proses meminta izin pun bukan tanpa perjuangan. Di hari sebelumnya, terbesit untuk mengangkat profilnya dan mencoba mengirim pesan singkat lewat ponsel. Berkali-kali ponsel naik-turun tangan-kasur hingga akhirnya keberanian terkumpul di otak. Mencari diksi menjadi bagian yang sulit pula, sebelum akhirnya “dia” ketemu di penghujung jam sore. “Misal aku wawancarai kamu untuk tugas jurnalistik boleh?”

Bermenit-menit selanjutnya adalah siksaan.

Durasi melambat waktu itu ketika balasan yang ditunggu datang tanpa diantar pak pos. “Iya gak pa pa. Tapi aku gak ada yang spesial lho, biasa-biasa aja”.

Dari semua itu lah aku yang kali ini menatapnya dengan jelas mencoba mewawancarainya sembari menunggu hujan yang menderas ini berhenti. Beberapa kalimat tanya terlontar manis dari mulutku. Dia menjawab, kadang serius, senyum, bahkan cekikikan. Di saat seperti ini para kameo seperti tidak ada. Yang terdengar hanya suara gadis ini, tawanya, yang dibumbui suara hujan sebagai backsound.

Setelah semua pertanyaan selesai dijawab dan hujan berhenti, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan utama, berdiskusi dengan beberapa orang mengenai.. lagi-lagi konsep Musical Show.

Tugas satu, tugas dua, semua sudah tuntas. Saatnya mengantarnya pulang. Sebentar, aku ralat, dia yang sebenarnya mengantarku pulang karena yang kita naiki ini adalah skuternya. Hujan kembali terjungkal dari langit, tapi kali ini hanya si gerimis manis yang datang. Si gagah deras sepertinya masih nyaman bermain di mendung.

“Bagaimana kalau kita cari teh hangat dulu sebelum pulang?”

Kita sampai di sebuah wedangan dengan cahaya lampu minyak sebagai penerangan dan lagu pop berdendang nyaring dari sebuah radio yang tergantung di sampingnya. “Ini pas” kataku dalam hati. Suasana yang pas karena dengan orang yang pas.
Kita terlibat pembicaraan ini itu seperti biasa, hingga di suatu detik terbesit untuk mengatakan sesuatu yang sudah lama mengendap di otak. Iya, aku harus mengatakannya. Sekarang, harus sekarang. Kalau tidak, mau kapan lagi, pikirku.

Dan adegan selanjutnya..

“Hemmm, dengar-dengar ada yang dekat sama kamu. Kamu sudah berpacar ya sekarang? Hayo,” tanyaku bercanda mengawali pembicaraan. Aku bertanya itu karena hari ini juga, ada kabar kalau dia dekat dengan seseorang dan aku tak mau orang itu, entah siapa namanya, mendahuluiku untuk mengeluarkan tumor ini.
“Iya. Belum lama kok”


Dan sisa adegan di chapter ini hanya hening yang sebentar sebentar diobrak-abrik guntur.
2 Catatan:
  • 2 minggu tidak masuk kuliah kecuali mata kuliah video.
  • 2 lagu yang ada di playlist laptop, “Berhenti Berharap”-nya SO7 dan “Creep”-nya Radiohead.

Chapter 6
Hari per hari, minggu per minggu, bulan per bulan berlalu. Semua tertata rapi seperti biasa. Baju masih di lemari, kipas kamar masih berputar searah jarum jam.

Lalu ada yang berputar-putar di otak, mengendap masuk ke dada. Seperti kenyang karena angin. Seperti sesak karena asma.

Hari ini, bukan maksud mengesampingkan sesak nafas ini, tapi badan harus tegap berdiri melaksanakan tugas kuliah seperti seharusnya. Badan tergopoh berjalan memasuki stadion ternama di pusat kota. Seperti rencana, aku juga dia, yang karena kebetulan atau memang sedang sial, harus mengambil gambar pelatihan atlet di stadion ini.


Semua berjalan lancar. Kabel tergulung rapi di tas, kamera  di-off-kan, baju liputan juga sudah tertata rapi seperti selayaknya. Tapi ada yang masih berantakan, ditambah ketenangan ini yang alih-alih membawa angin sepoi-sepoi untuk melawan sesak nafas. Kita duduk berdua masih bicara tentang ini itu. Hingga petang menjelang, angin “hantu” ini makin menyeret ke pusaran jurang laut yang sangat dalam. Saking dalamnya, orang pun akan susah teriak minta tolong.


Chapter 7
Kami berdua. Entah kenapa rasa-rasanya suasana selalu damai pas kami hanya berdua. Petang, angin sembribit, langit oranye, keheningan ini, dan mata kita sesekali beradu. Ada beberapa detik yang membuatku sesak nafas dan kehilangan diksi. Aku tak mau terlalu yakin kalau sebenarnya dia tahu aku mengalami semua ini. Sesuatu di otak, sesak nafas ini. Mmm, sayangnya, aku tak pernah punya kamus bahasanya.

Hingga di saat yang tepat, setepat sekarang, aku akan tentu meminta waktunya dengan sangat halus. Menyita beberapa menitnya dan dengan sekuat tenaga menceritakan dari awal sampai akhir, dari A hingga Z.

Jujur, tak pernah terpikir tentang bagaimana reaksinya terhadap rencana aksiku nanti. Aku hanya coba pikirkan diri sendiri. Pikirkan bagaimana cara mengakhiri ini semua, menggempur sesuatu yang mengendap di otak, yang makin lama berubah menjadi bola raksasa.

Sesaat seperti sadar dari hipnotis. Aku bangun dan aku masih menjadi penggemar beratnya yang tak rela kehilangan satu momen pun ketika dia bercerita seperti ini.
Suasana tetap sepi dan kami melenggang pergi, sendiri-sendiri.


Chapter 8
Hari ini adalah hari dimana aku keluar dari sistemku, sistem yang mendasari bahwa bahasa non verbal lebih komunikatif dari yang lain. Hari ini adalah hari dimana semua kesungguhan akan diverbalkan.

Aku sudah janji akan ke rumahnya tepat pukul 8 malam. Berbalut kemeja berkerah dan jaket, aku siap mengendarai motorku untuk sampai di kotanya. Aku tak peduli betapa dinginnya di luar, betapa licinnya aspal karena gerimis, betapa guntur menyambar-nyambar gaduh. Aku, di jarak satu jam dari rumahnya ini, mantap mengambil udara dalam-dalam, menenangkan diri untuk awal sekaligus akhir.


Tiba di rumahnya. Semua tertata sederhana, tata ruang yang tak berkata banyak. Pas.
Dia mengajak masuk, tapi aku memilih duduk di luar. Kemudian kita sepakat akan berdiskusi di teras dengan burung yang sesekali berkicau dan tanaman hias yang seolah mati suri.
Sebelum mengambil ancang-ancang untuk mengeluarkan diksi yang sudah dijajal puluhan kali di cermin, aku keluarkan sesuatu dari dalam tas.

“Ini. Kado ulang tahun yang telat.” Ku seret buku Kartini-nya Pram, memaksanya untuk berpindah tangan.

“Terima kasih” Tanpa banyak kata yang lain, dia memilih diksi itu.

Dia tak pernah bisa menutupi wajah cantiknya yang hari ini, jujur, berlipat cantik. Wajah yang sempurna untuk mengakhiri semua ini. Tanpa menunggu aba-aba, aku mulai tarik nafas lagi, siap mengeluarkan diksi lagi.






Semua aku ceritakan tanpa mau diputus di tengah jalan. Aku ceritakan tentang sesuatu seperti tumor raksasa di otak. Aku ceritakan sesuatu yang menyesaki dada hingga sesak nafas. Aku ceritakan semua. Aku ceritakan berapa lama semua itu hinggap di tubuh ini dan menjadi penyakit. Aku katakan kalau sangat sulit dan hampir mustahil menemukan obatnya. Aku katakan kalau dia cantik malam ini.

Dan dengan sesekali guntur menderu dan gerimis yang tak henti-hentinya menangis, dia menutup dengan pertanyaan yang karenanya aku diam.

“Kenapa baru sekarang?”



Chapter 9/Ending
…………………………..????

Kalian tak pernah berpikir akan jadi seperti apa ending ini, bukan? Seperti kata Karl Marx: “Setiap sikap punya motif dan tujuan”, film juga punya maksud kenapa dia dibuat. Dan setelah ini akan coba kubuat film lain dengan alur baru, cerita baru, dan pemeran baru.

2 komentar:

  1. gantian komen ah, hihihi
    sebenernya film ini belum ada endingnya bro, yen arep mbok akhiri dewe yo gpp.
    hehe
    masih banyak ikan di laut..
    keep struggle boy!
    hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kowe kui lho, gek ganti film, ganti lawan main. Hehe

      Hapus