Seperti kehilangan nyali untuk menulis. Seperti mati suri.
Seperti terkena cikungunya hingga mematikan sendi-sendi.
Sebenarnya banyak yang bisa termuat, sangat banyak malah.
Namun, lagi-lagi persoalan ada pada stimulus. Tentang bagaimana seorang yang
mencoba sahaja, mencabangkan pikirannya kemana-mana. Sedang stimulus yang bak
katalis tak nampak. Atau pikiran-pikiran ini yang tak mencoba melihat
sekeliling, tak memekakan diri.
Kita bahas si stimulus, bagaimana ia ada dan tiada. Stimulus
seperti makhluk lain dari planet lain, tak biasa dan aneh. Mungkin saja
dipengaruhi pikiran-pikiran inangnya yang tak mau tahu dunia. Inangnya yang
membuat stimulus beraksi, stimulus juga membuat inangnya beraksi. Ini semacam
mutualisme yang disadari atau tidak ia akan terus berada, ditempatnya.
Stimulus bukan orang yang ekstrofet yang mau membagi kisah
dengan siapapun. Ia lebih pendiam dan dalam kediamannya ia mendekorasi pikiran
inangnya tentang sesuatu yang inangnya mau. Kadang dengan warna-warni pastel
atau malah hitam muram tanpa lampu. Seperti ketika Romeo dan Juliet saling
mencintai, ia mendadak merah muda. Atau ketika Mein Fuhrer bunuh diri, ia hitam
pekat.
Bukan, ia bukan diperbudak inangnya. Ia hanya menjalankan
takdir Tuhan, firmanNya. Tuhan meyertakannya pada inangnya agar setiap yang
dilakukan inangnya dapat ia ketahui. Sementara tugas si inang jauh lebih mudah,
hanya menyadari keberadaannya dengan berbagai indera yang dipunyai. Indera
belum cukup hebat, maka Tuhan Maha Pengasih. Dia tambahkan indera keenam, ketujuh,
kedelapan, terserah inangnya mau taruh posisi mana stimulus. Benar, ia juga
termasuk indera.
Membicarakannya akan menjadi sedikit tabu, karena ia adalah
karya khusyuk Nya. Kalian tak pernah meragukan Tuhan pernah tidak khusyuk
melakukan sesuatu, bukan? Apapun namanya, ia lah misteriNya. Tuhan dengan
segala sesuatu yang misterius, Ia Maha Misterius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar