Baru kali ini si pungguk dihadapkan pada pilihan antara kehilangan tangan atau kaki. Pilih salah satu atau menderita seumur hidup! Kata Tuhan dengan raut serius. Ia terkejut, Tuhan tak pernah seserius ini padanya. Ia hanya bisa menduga, Tuhan mencobanya untuk tetap ikhlas. Si pungguk dibuat hening beberapa waktu, bukan beberapa, mungkin perlu berjuta tahun. Sering ia kehilangan uang harta benda, tapi kini ia harus kehilangan salah satu yang berharga, yang tak terbilang angka.
Sebenarnya garis bawah ada pada kata “memilih”,
bukan “kehilangan”. Berhari-hari ia duduk sendiri di depan pintu rumah yang
lebih seperti gua. Berhari-hari juga ia gila, mengumpat, kadang diam tanpa
gumam. Tapi waktu adalah waktu, ialah prajurit Tuhan, tunduk pada-Nya melebihi
iman manusia. Dan kali ini hampir tiba tenggat, saat ayam berkokok dan waktu….
tak ada kata “waktu” di kamus mana pun.
Pungguk coba ulang berjuta menit sebelum ini,
mengenai hidupnya yang hanya dihinggapi angan-angan meraih bulan. Tak ada yang
ia pikirkan selain bagaimana cara melempar tali panjang jauh-jauh dan menarik
bulan hingga serambi rumah, kemudian ia duduk-duduk minum kopi dan bangga kini
bulan jatuh cinta padanya. Tapi sekarang, bagaimana ia akan kuat menarik bila
tak ada tangan atau kaki. Ia memilih mati, tapi ini perintah Tuhan dan Tuhan
berikrar tiada pilihan mati.
Kini si pungguk akan menentukan mana yang akan
ia selamatkan, kaki demi setiap langkah mundur kecilnya dan topangan kuda-kuda
saat bulan terasa berat, atau tangan untuk melempar tambang berton-ton dan
otot-otot untuk menariknya jatuh. Ini tidak adil, dunia memang begitu
seharusnya, tetap pada pakem, pada istilah hidup adalah tentang pilihan dan setiap
pilihan, setiap penolakan, setiap… ah, pungguk tetap buruk ada atau tidak
keduanya. Kini ia berdoa apapun pilihannya ia akan tetap bisa menjaga asa
meraih bulan.
NB. Tulisan ini terinspirasi dari pergulatan kelompok video 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar