Tiap pagi dia mengayuh pedal
sepeda tuanya melewati pematang sawah dan jalan kota. Keringatnya tak terlihat
karena sapu tangan biru tua selalu berada di tempatnya, saku kanan bajunya.
Penampilannya mungkin sudah tua untuk mengajar, tapi otot-otot di lengannya
masih terlihat kokoh menggoreskan kapur di papan tulis. Saban hari kecuali
Minggu dia lakukan rutinitas itu yang baginya mirip olahraga. Bukan hanya
olahraga fisik, tapi juga mental. Dia yang bernama Poniman, seorang guru SD
Negeri yang sekilas sama dengan guru-guru lain. Tapi coba lihat dia seksama,
dia berbeda, dia langka, dia… potret guru yang tersisa di zamannya.
Saya kelas 6 SD ketika
mendapatkan sosok orang ini sebagai wali kelas. Hari pertama masuk sekolah dan
belum terbayang siapa sosok Pak Poniman. Hanya desas-desus tentang cara
mengajar yang berbeda dari guru kelas 1 hingga kelas 5 yang lalu. Di tahun 2001,
anak SD masih banyak yang berjalan kaki, termasuk saya. Saya biarkan kaki saya
yang menuntun, menunjukkan arah sekolah. Dan 10 menit setelah saya menaruh tas
di kelas baru, bel masuk berbunyi, pertanda kelas baru, kelas yang
desas-desusnya berbeda, akan segera dimulai.
Pak Poniman, nama yang dia sebut
ketika memperkenalkan diri. Dia mulai mengajar IPA dasar, Bahasa Inggris,
Matematika, semuanya. Hingga bel pulang berbunyi saya sadar satu hal. Dia
memang berbeda, sangat berbeda. Perbedaan itu ketara terlihat. Tak ada yang
bisa ditutupi, karena memang dia berbeda. Bukan, dia bukan alien. Dia beda
karena dia disiplin.
Ketika keluar kelas, halaman
sekolah sudah tak bersuara. Suasananya terlalu hening untuk ukuran pulang
sekolah. Suasana yang tak pernah saya temui di kelas 1 sampai kelas 5. Ketika
semua siswa kelas 1 sampai 5 pulang lebih awal karena guru mereka yang malas
mengajar, Pak Poniman masih suka cita menerangkan saluran pernafasan makhluk
hidup. Di saat semua siswa kelas 1 sampai 5 sering kosong ditinggal guru
mereka, Pak Poniman masih berapi-api menjelaskan rumus luas dan keliling.
Ketika guru-guru lain sudah menyalakan motor dan membayangkan makan siang di
rumah bersama anak dan istri, Pak Poniman masih sibuk di ruang guru, mengoreksi
pekerjaan rumah anak didiknya.
Guru yang lain seperti acuh tak
acuh terhadap siswanya. Korupsi waktu, iya korupsi waktu. Saya baru sadar saat
ini, setelah 10 tahun berpisah dengan masa SD. Bahwa guru kelas 1 sampai kelas
5 lebih banyak meninggalkan siswa-siswanya ketika jam pelajaran. Pernah saya
melihat guru saya saat kelas 4 meninggalkan jam pelajaran untuk membeli sayuran
di depan sekolah. Waktu belajar kita dianggap tidak lebih penting dari waktu
memikirkan akan makan siang apa hari ini. Saya baru sadar, bahwa semua bentuk
korupsi yang ada di Indonesia, semua kelemahan jiwa, semua hal yang
mengagungkan kepentingan uang, semuanya, di mulai dari hal kecil, termasuk
korupsi waktu.
Dan Pak Poniman, terlepas dari
apapun, telah mengajarkan bahwa yang sedikit tapi benar akan lebih terasa
karena hal itu memang hal yang baik, hal yang bermuara dalam hati. Kerja
kerasnya mengayuh sepeda, perjuangannya mementingkan pendidikan siswanya dengan
tak meninggalkan kelas dan membubarkan kelas sesuai jadwal. Semua hal itu
mengajarkan saya bahwa kebaikkan memang harus diajarkan sejak dini. Iya, sejak
jauh-jauh hari agar tak ada kata “menyesal” yang mengekor setelahnya.
Semoga Bapak masih setia dengan
sepeda tua, baju resmi, sapu tangan di kantong kanan, tangan putih karena
kapur, dan… kedisiplinan.
...
Tulisan di atas menggambarkan
bagaimana korupsi menjadi model didikan sejak kecil. Tak usah ditanya lagi
bahayanya. Korupsi bukan lagi seperti ranjau yang meledak jika diinjak, tapi
sudah seperti bom nuklir yang imbasnya terasa selamanya. Didikan yang salah
sejak kecil akan melemahkan mental ketika dewasa. Contohnya korupsi waktu di
atas. Dan oleh sebab itu perlu orang orang seperti Pak Poniman yang walaupun
dia sendirian, dia minoritas, selama dia yakin benar akan tindakannya dia terus
maju. Peduli setan orang bicara jelek dibelakangnya.
Produk sejak kecil yang salah ini
yang seharusnya tidak kita biarkan. Guru-guru SD, orang tua, lingkungan sosial
harus membentuk mental yang baik sejak masa kanak-kanak. Jangan biarkan praktek
korupsi yang berbentuk apapun mengendap di otak anak-anak kita. Biarlah yang
tua yang korupsi, maka yang muda yang harus berubah. Tentu saja, berubah ke
arah lebih baik. Selama harapan itu ada kita masih boleh bernapas lega.
Mengutip kata orang “Tidak ada harapan untuk abadi di dunia ini, kecuali
harapan itu sendiri”. Sekian.