Dalam sehari, sadar tak sadar kita banyak menemukan kesenjangan. Sederhananya ketika sebelumnya kita merasa sangat lapar, beberapa menit kita kenyang karena makan terlalu banyak. Saya tak tahu istilah yang lebih tepat, mungkin 'paradoks'.
Mandi I
Kamis siang saya tiba di Ibu Kota dengan wajah lelah karena berjam-jam di kereta. Cuaca panas Jakarta ditambah badan yang belum disapa air sangat cukup sebagai alasan merasa gerah. Berjalan kaki dari shelter TJ satu ke shelter yang lain juga membuat keringat bertambah banyak. Di saat seperti itu tak ada yang ingin saya lakukan, kecuali MANDI.
Setelah bertemu teman (Phytag) untuk melakukan perjalanan menuju wisuda teman lain (Jono), saya berhenti di Benhil. Dari Benhil menuju Senayan. OK, dan saya belum bertemu surga bernama kamar mandi. Setelah acara selesai barulah saya bisa melakukan pencarian kamar mandi dengan leluasa.
Kamar mandi masjid? tidak, karena terlalu ramai anak-anak TPA. Pasar Benhil? Baiklah, saya rasa tidak buruk-buruk amat. Saya putuskan mandi di WC umum Pasar Benhil. Gambaran tentang kamar mandi yang ini adalah gambaran tentang WC umum kebanyakan. Kurang terawat, banyak lumut, air berbau, dan kunci dari paku. Untuk ukuran keadaan saya saat itu, orang bakal maklum saya mandi di situ.
Mandi II
Kesegaran membuat saya bersemangat untuk jalan-jalan. Kali ini tujuannya adalah Epicentrum Kuningan. Sesuai konsep jalan kaki, kami (dengan Phytag) hanya menggunakan kaki untuk menyusuri Epicentrum. Keluar masuk Pasfes, melihat-lihat gedung hingga lelah, kemudian kami singgah di salah satu kedai kopi bersama teman fresh graduate kami (Jono).
Perasaan segar setelah mandi pertama tadi hilang sudah, diganti pegal, lelah, dan gerah. Tidak ada yang lebih saya inginkan selain mandi, lagi.
Sebelumnya ada teman (Cengik), anggaplah dia calon pejabat, menawari kami (kecuali Phytag) untuk bermalam di hotel. Ada anggaran dari dinasnya untuk melakukan semacam pembahasan RUU di hotel. Saya tak tahu hotel apa dan dimana, yang jelas saya bilang iya. Setelah mengantar teman (Phytag) kembali ke kontrakannya di Benhil, saya dan teman saya yang lain (Jono) menuju hotel yang dimaksud teman saya yang lain lagi (Cengik).
Hotel ketemu, tapi tak tahu bintang berapa, saya tak peduli yang penting saya harus mandi. Setelah bincang-bincang sana sini, kami bertiga seketika berada di kamar besar dengan kamar mandi besar pula. Ini hotel bintang empat! Plus jacuzzi dan air hangat. Malam itu, saya mandi sambil terkekeh membayangkan pagi hari mandi di WC umum Pasar Benhil.
Ini yang saya maksud paradoks dalam sehari. Ada kesenjangan antara perjalanan mandi I dengan II. Itu jelas! Dan sebenarnya dimanapun kalian berada, konsep mandi tak pernah berubah sama sekali. Hanya kadang orang menggunakan cara-cara berbeda untuk aplikasinya. Sekian.
Saya bercerita, kamu menyimak. Kamu bercerita, gantian saya yang menyimak. Hidup sebenarnya sangat sederhana.
2.26.2013
2.15.2013
Suatu Kisah di Wedangan
Di saat seperti sekarang, saat waktu seolah jadi sependek pensil, tak ada yang lebih baik dari pada menulis cerita yang sedikit kocak. This is it!
Saya biasa menghabiskan sore hari pas weekend di wedangan (: sejenis warung kopi) dekat
kontrakan. Maklum mahasiswa yang cuma nyambi
(: bekerja sambilan) jaga warnet kayak saya gak bisa nongkrong di café atau
resto mewah.Tapi gak apa-apa, memang sih jajanan yang dijual di tempat ini cuma
jajanan pasar, tapi kemesraannya itu lho yang bikin nagih. Kita bisa makan
sambil bincang-bincang ngalor ngidul,
mulai dari politik di Senayan hingga Mang Usep yang kemarin ketangkep basah
sama istrinya lagi judi gaple. Kata istrinya Mang Usep yang kebetulan lagi beli
pisang goreng begini,
“Judi gaple-nya sih gak masalah, Mas. Lha masak panci baru
beli kemarin dicomot sama Pakne Kempleng (: Bapaknya Kempleng alias Kang Usep)
dibuat taruhan. Sudah gitu yang lain juga taruhannya neko-neko, ada yang
taruhan gelas, piring, bedak, celana, semua dibuat taruhan”.
“Iya Mbakyu. Tapi sekarang Mang Usepnya kemana? Kok dari
tadi gak keliatan,” saya iseng nanya.
“Oalah. Saking gondok (:
jengkel) -nya sama Pakne Kempleng, dia saya suruh nyabutin suket (: rumput ilalang) depan rumah, biar kapok!,” katanya
menjawab.
Semua tertawa terpingkal mendengar nada bicara istri Mang
Usep alias Ibunya Kempleng yang naik turun kayak harga sembako.
Ya begini ini yang saya maksud dengan “kemesraan” di wedangan. Sabtu sore, di tempat ini
hampir lengkap pasukan berkumpul: Saya, Bejo dan Karno (: temen satu kontrakan),
Kang Ipin (: pemilik wedangan), Kang Jiran,
cuma kurang Kang Usep yang kena hukuman istrinya. Biasanya, Maghrib sampai
Isya’ wedangan tutup dulu, sholat dan ngaji dulu, habis itu baru buka lagi. Saya
jomblo, jadi gak heran kalau saya nongkrongnya di sini. Habis Isya’ saya
langsung nyangking gitar buat
nyanyi-nyanyi biar bincang-bincangnya ada backsound-nya.
“Kang Ipin, kopi lagi Kang! Sing puanas yo!” Saya pesan
gelas kedua kopi panas item.
“Ngopi terus kamu, gak takut sakit perut apa?” Kata Kang
Ipin.
“Lhoh, Kang Ipin itu lucu. Wong orang mau beli dagangannya
kok malah ditakut-takutin” Kata saya sambil tertawa.
“Iya itu, Kang Ipin kemarin juga kayak gitu. Saya mau beli
gorengan gak boleh banyak-banyak, kolesterol katanya” Imbuh Karno yang
tiba-tiba nongol kayak anak setan.
“Bukannya gitu…” Kang Ipin mulai nggambus “Saya itu gak mau kalau gara-gara jualan saya, kalian jadi
sakit. Yang pasti asal kalian tahu, yang berlebihan itu gak baik. Vitamin yang
gunanya seabrek aja bisa jadi avitaminosis alias penyakit kalau kebanyakan, itu
kan juga gak baik. Buat apa dapet untung banyak kalau orang lain jadi sakit, ya
to?”
“Salut Kang! Ceramahnya bagus!” sahut Karno.
“Iya Kang. Besok gantiin ceramah Pengajian Ahad Pagi di
Jami’ kalau Khotibnya gak datang” sambar Bejo sambil ngunci gerbang kontrakan.
Semua tertawa.
…
Malam itu udara pas banget buat nongkrong. Hujan bintang
tanpa mendung, sayang gak ada cewek yang menemani pas bintang lagi
banyak-banyaknya kayak sekarang. Separonya lagi nglamunin Khusnul anak Pak Haji
Dulah duduk jejeran sama saya, ada suara yang memecah lamunan. Suaranya
familiar, tidak salah lagi, itu Kang Jiran.
“Assalamu’alaikum” Kang Jiran datang dan dibelakangnya Kang
Usep dengan muka kecut ngikut.
“Wa’alaikumsalam”
“Wah, Kang Usep kayaknya lagi ceria ini?” canda Kang Ipin.
“Ceria gundulmu!
Ini tangan saya jadi merah-merah gini.
Istriku pancen kejem, lha wong
sama-sama namanya membersihkan halaman, saya mau pakai parang atau pacul, eh,
gak dibolehin sama dia. Katanya hukumannya memang harus pakai tangan kosong.
Kayak mau berkelahi aja pakai tangan kosong segala!” curhat Kang Usep.
“Setuju Kang. Istri saya juga kadang semena-mena. Masak
kemarin saya disuruh momong si Japri, sedangkan dia pergi arisan sama ibu-ibu
PKK. Semena-mena gak itu namanya? Gimana mau maju Indonesia kalau penjajahan masih
meraja lela. Penjajahan istri terhadap suami!” Sahut Kang Jiran.
“Kalian bertiga, Kucrut, Bejo, Karno, jangan sampai besok
pas milih istri kalian milih yang galak. Gak enak, sumpah. Kalian yang masih
pada ‘jongos’ alias ‘jomblo ngos-ngosan’ harus selektif milih wanita sebagai
pendamping hidup. Jangan sampai istri kalian nanti semena-mena, berani sama
suami”
“Nah itu dia Kang…” Karno turut menyahut “Jaman sekarang
milih cewek rada susah. Cewek jaman sekarang gampang terpengaruh TV. Mulai dari
dandanan sampai pola pikir. Kalau acara di TV aja banyak yang menampilkan cewek
yang semena-mena terhadap laki-laki, gimana nantinya. Contohnya aja, Wonder
Women? Itu cewek dah berani sama cowok. Ngasih pelajaran jelek itu”.
“Karno, temenku yang paling o’on, Saya kasih tahu. Wonder
Women itu memberantas kejahatan, bukan memberantas laki-laki. Jadi yang
diberantas itu orang jahat, mau itu laki-laki kek, wanita kek, banci kek, selama
dia jahat ya diberantas” Bejo agak pintar kali ini.
“Tapi yang dibilang Karno ada benernya itu Kang…” Saya
tiba-tiba nyahut kayak geledek.
“…TV mau gak mau menjadi media informasi yang
paling banyak dilihat Masyarakat Indonesia saat ini. Jaman dulu, saya hafal
acara yang disukai, jadi lihat TV kalau pas acara itu aja. Nah kalau sekarang, orang
lagi makan, lagi belajar, lagi iseng, sampai lagi buang air besar aja lihat TV.
Gak peduli acaranya apa, dibolak-balik aja kayak tempe lagi digoreng …”
“… Itu menjadikan segala info yang disampaikan di TV jadi
gampang banget ditiru, apalagi sama ABG. Makanya gak heran kalau ABG jaman
sekarang dandannya hampir mirip semua. Suka Korea, suka Korea semua. Bahasa
kerennya itu mainstream kalau gak
salah”
“Apa lagi itu Main Setrim?”
Mang Usep bertanya.
“Saya jelaskan Kang…” Giliran Bejo yang mahasiswa Sosiologi
menerangkan “… Mainstream itu
sederhananya niru-niru orang banyak. Gini, contohnya soal gaya berpakaian aja.
Karena sekarang jamannya baju warna-warni, anak ABG banyak yang beli baju
warna-warni. Yang niru-niru model kayak gitu yang disebut mainstream, Kang”
“Jadi dengan kata lain cewek jaman sekarang banyak yang mainstream, gitu?” Tanya Kang Ipin.
“Bisa dibilang gitu, Kang. Kalau mainstream-nya budaya yang baik sih gak pa pa, tapi kalau budaya
yang jelek, bisa berabe. Dan cewek jaman sekarang banyak yang punya cowok cuma
buat gaya-gayaan. Biasanya diadu sama cowok temennya, yang entah cara berpakaiannya
lah, selera musiknya lah, sampai-sampai tunggangannya” lanjut Bejo.
“Oalah, yang itu saya tahu. Ada lagunya itu cewek matre cewek matre ke laut aje…”
Mang Usep tiba-tiba nge-rap gak jelas “ Tapi emang gak ada temen cewek kalian
yang gak mainstream?”
“Ada sih Mang, tapi gak
mainstream bukan pathokan suka sama mahasiswa kasta terendah kayak kita” Bejo
berkata sambil rautnya biru muram.
“Santai Jo, dunia gak sempit-sempit amat buat ditinggalin
mahasiswa kasta rendah. Kalau banyak cewek yang nonton TV jaman sekarang, kita
cari aja cewek yang kemana-mana masih nenteng radio. Oh iya, ada itu anak radio
kampus, penyiar cakep. Dia pasti gak suka liat TV. Kamu pacarin aja Jo!” Karno
mulai godain Bejo.
“Gini-gini… “ Sebagai mahasiswa komunikasi Saya bersiap
menerangkan “… kalau masalah kepribadian, sifat, atau perilaku seseorang itu
gak cuma dipengaruhi TV atau media massa. Banyak yang mempengaruhi, seperti
misalnya lingkungan bermain, lingkungan pertemanan, dan lain-lain...”
“...Kalau media massa sendiri harusnya juga bisa intropeksi
diri. Gak cuma hiburan saja yang ditampilin, tetapi fungsi mendidik juga harus diperhatikan.
Contoh yang gak baik itu kayak acara yang nampilin bocah-bocah main bola sambil
gelundungan gak jelas. Hiburannya sih ada, tapi mendidiknya? Yang ada kemarin
Kang Rojali cerita kalau gara-gara nonton acara itu, anaknya jadi pengen masuk
sekolah sepak bola yang pemainnya jago nendang bola sambil terbang. Mana ada
itu?”
Kang Jiran, Kang Ipin, dan Mang Usep mengangguk. Bejo dan Karno masih sibuk garuk-garuk kepala.
“Oh, mengerti sekarang. Tapi yang jadi pertanyaan, Crut,
yang benar yang mana ini, antara penonton yang milih acara mendidik atau TV-nya
dulu yang bikin acara mendidik?” tanya Kang Jiran.
“Dua-duanya Kang. Penonton harus benar-benar cermat milih
tayangan yang mana yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. Begitu
juga stasiun TV harus mendidik penonton untuk memilih acara yang menghibur
sekaligus mendidik” jawab Saya.
“Lalu soal cewek tadi gimana?” Seruduk Bejo dan Karno
“Gampang lah. Asal kalian punya boyband, kalian pasti dapet
cewek” jawab Saya sambil nyengir kuda.
Tawa yang terpecah cuma berlangsung beberapa detik sebelum
suara melengking yang sudah kita kenal, datang dari ujung jalan.
“PAKNE KEMPLEEEENNNGGG!!!”
Tidak salah lagi, suara misterius ini hanya satu orang yang
bisa mengeluarkan. Benar sekali, istri Mang Usep. Tubuh kurus Mang Usep dengan
mudah diseret oleh istrinya yang gemuk minta ampun. Muka istrinya yang sangar
persis preman pasar membuat semua yang ada di wedangan Kang Ipin gak bisa leluasa tertawa. Kita hanya bisa
cengar-cengir gak jelas melihat muka Mang Usep yang takut sama istrinya.
“Bentar Mbakyu, kenapa lagi itu Mang Usep?” Kang Jiran
memberanikan diri bertanya
“Pakne Kempleng ini memang sudah kelewatan!” Jawab Istri
Mang Ujang.
“Kelewatan gimana Mbakyu?”
“Ya kelewatan!”
“Kita gak mudeng. Tadi sore kan Mang Ujang sudah ngebersihin
halaman sebagai hukuman. Terus, dimananya yang kelewatan?” Semua ikut serius.
“Gimana gak kelewatan, lha yang dibersihin kemarin sore
ternyata bukan halaman rumah sendiri. Eh, malah halaman janda samping rumah
yang dirapiin. Kelewatan gak itu?”
“HAHAHAHAHA. Ya udah, jewer aja Mang Usep, Mbakyu” Kang Ipin
menyambar.
“Nah itu, gak cuma cewek yang harus mengerti cowok, sebagai
cowok juga harus menghargai cewek. Kalau kasusnya kayak Mang Usep, wajar kalau
istrinya mencak-mencak gak karuan, lha wong, Mang Usepnya nuakal minta ampun”
Saya nerocos sambil ambil dompet mau membayar.
“HAAHHAHAHAHA” Jalanan sepi terpecah ramai.
2.08.2013
Bunga Sedap Malam
Ada yang menarik sebelum malam
Saat petang musnahkan padang senja
Dan renjana rapi datang sejuta
Nyanyi sini sana lakunya tebar suara
Benar, renjana pula kubur dalam dalam lamunan
Dilawan harum sedap malam
Ah, akhirnya petang mau turun juga
Dan sedap malam mengendap-endap sampai ke jiwa
Hari ini bakal susah tidur
Barangkali ada yang berputar mundur
Waktu, cita, rasa, alur
Sebagaimana lidah saya tak biasa bertutur
Kamu yang harumnya bagai sedap malam
Jika ini benar baumu, mohon usir baik-baik si kelam
Surakarta. 29 Januari 2013. 04:10
Niatnya, tulisan ini mau dikasih nada biar bunyi... Tapi urung, kalah sama musuh, namanya skripsi...
Langganan:
Postingan (Atom)