Bayangkan ketika bangun hari ini semua orang sudah tak ada
di tempat semestinya! Itulah saya. Kejadiannya pagi tadi, saya bangun seperti
biasa, enam lebih lima belas menit. Saya tidak sadar kalau orang-orang
menghilang hingga akhirnya saya berangkat ke kantor dan melihat di jalan
mobil-mobil tanpa penumpang berdesakan antara Thamrin-Sudirman. Saya jalan kaki
karena kontrakan saya dekat dengan kantor. Tentang orang-orang satu kontrakan
yang tak ada di kontrakan saya masih maklum. Kebiasaan anak-anak yang berangkat
ke tempat kerjanya masing-masing jauh pagi-pagi hari agar tidak terjebak macet.
Tapi ini, yang saya temukan hanya ratusan kendaraan yang beberapa masih menyala
mesinnya. Berbeda merk, berbeda warna, tapi ada kesamaan, sama-sama tak berpenumpang.
Jauh melangkah kaki saya untuk melihat apa yang terjadi di
ujung jalan. Saya ambil sepeda lipat yang tergeletak di trotoar. Tak mungkin
pemiliknya marah, karena pemiliknya pasti juga sudah ikut menghilang. Saya
kayuh sepeda berjam-jam dan saya kecewa. Pemandangan yang sama yang saya lihat.
Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Hembusan angin yang datang tiba-tiba membawa suara sirine
yang tengah meraung-raung. Arahnya berkebalikan dengan arah yang saya tuju.
Tentu saja, saya putuskan untuk kembali. Masih dengan sepeda lipat yang dengan
mudah melewati jalur trotoar. Sirine terdengar semakin lama semakin keras. Saya
yakin ada orang yang membunyikan sirine berharap ada orang lain yang
mendengarnya dan sadar kalau dia tak sendirian. Benar, ada sebuah mobil pemadam
kebakaran yang terparkir di pinggir Bundaran HI. Tapi lagi-lagi harus menahan
kecewa, mobil itu masih tak berpenumpang.
Perasaan bingung, pertanyaan-pertanyaan yang membumbung di
benak, ketakutan, semua campur aduk di kepala. Untuk situasi seperti ini yang
dibutuhkan adalah ketenangan jiwa, ketenangan berpikir jernih, dan bukan
kepanikan. Saya mulai berpikir, mungkin saja orang-orang tengah berkumpul di
suatu lapangan yang tengah menggelar konser besar, sebagian lain tengah
mengantri pembagian raskin besar-besaran, dan mungkin sebagian yang lain juga
berkumpul di suatu tempat dan melakukan sesuatu. Atau jangan-jangan ada invasi
alien yang menculik semua orang untuk dibawa ke planetnya. Hanya satu jawaban
dari semua itu, benar, mencari tahu.
Saya cari gedung paling tinggi, siapa tahu dari jarak saya
berada tersebut saya bisa melihat dimana sebenarnya orang-orang berkumpul. Saya
membuka mata selebar-lebarnya, memandang tatanan kota di bawah, dan garis
cakrawala yang membatasi semua benda dengan langit. Saya juga pekakan telinga,
mencoba mendengar sayup-sayup suara. Semua saya kerahkan agar dapat jawaban.
Mmm, tidak ada apa-apa sejauh saya melihat dan yang
terdengar hanyalah desingan angin yang begitu kuat di atap gedung ini. Saya
urung, saya menyerah, kenyataannya bahwa saya tidak tahu dimana mereka semua
berada. Saya putuskan untuk seperti biasa berangkat ke kantor, mengerjakan
sesuatu, kemudian kembali ke kontrakan. Seperi biasa.
…
“Dina Andirini”
“Wahyu Prihantoro”
“Iman Cahya Saputra”
…
Di samping itu, nama orang-orang dipanggil satu per satu dengan
urutan acak. Mereka masuk ke sebuah ruangan dengan sebuah timbangan besar di
sana. Katanya, timbangan itu dipakai untuk menimbang kebaikan dan keburukan.