Mungkin tema tulisan ini bukan soal bagaimana Usaha Mikro
Kecil (UMK) membantu saya dalam sebuah situasi atau mungkin malah kehidupan
sehari-hari. Namun, saya ingin menambahkan, bahwa tulisan ini akan bercerita
tentang bagaimana kami, saya dan UMK, saling membantu.
UMK memang tengah jadi primadona. Bila dirunut dari sejarah
Orde Baru, peran UMK kala itu sungguh dahsyat. Masih ingat geger tahun ’98
dimana krisis terjadi di semua bidang kehidupan. Ekonomi makro Indonesia ambruk
kala itu. Namun ekonomi mikro tetap gagah berdiri. Kalau bukan berkat para
pengusaha UMK mungkin saja ketahanan pangan Indonesia ikut goyah, chaos bakal
lebih lama, dan Indonesia tak secepat ini bangkit lagi.
Tahun demi tahun berlalu. Dulu para ekonom meramalkan
kejatuhan UMK akibat globalisasi dan banyaknya perjanjian dagang lintas negara
yang sebenarnya lebih ditujukan kepada pengusaha kelas kakap. Mereka bilang,
UMK jelas akan kalah bersaing. Namun, kenyataannya lagi-lagi UMK mampu menangkis
ramalan itu dan memperlihatkan tajinya.
UMK terus tumbuh, bahkan pertumbuhannya
terbilang pesat, karena ternyata para pengusaha kelas kakap pun membutuhkan
keberadaan UMK. UMK menjadi semacam vendor yang menjadi solusi permasalahaan
perusahaan besar untuk meningkatkan jumlah produksi. UKM menjadi penggarap
detail yang apik untuk permasalahan QC produk perusahaan. Mereka bermutualisme
dan terus berkembang bersama hingga sekarang.
Nah, singkat cerita, suatu waktu saya berkesempatan melihat
gerak-gerik UMK di Solo, kota yang sarat dengan konten budaya Jawa, termasuk
karakteristik warganya yang senang usaha. Saking banyaknya UMK di Solo, sampai-sampai
ada joke begini, “Kalau mau kerja
jangan di Solo. Kerja itu di Jakarta. Nah, Kalau mau usaha, baru di Solo
tempatnya”. Memang benar, bisa dibilang Solo adalah kota sejuta usaha dan saya
beruntung menangkapnya melalui media yang bernama Terasolo.com.
Terasolo.com merupakan media yang khusus diperuntukkan bagi
pelaku UMK sebagai wadah branding dan promosi mereka. Kurang lebih 3 tahun saya
di Terasolo.com, pergi ke pusat kota hingga pelosok untuk meliput UMK dan
keunikannya serta menjadikannya ulasan cantik untuk dibaca dan ditonton
khalayak. Dari 3 tahun itulah saya berani bercerita disini dan ini dia cerita
detail saya tentang saya dan UMK yang saling membantu satu sama lain.
Dering Telepon Dari Belanda
Seperti biasa saya harus bekerja meliput UMK, paling tidak
satu UMK dalam sehari. Ilham datang tiba-tiba hingga saya pun mempunyai pikiran
untuk meliput pengolahan kain perca menjadi barang jadi. Saya tanya jaringan
saya, hingga akhirnya bertemu satu produsen kerajinan kain perca di Kampung
Gandekan, Jebres, Solo. Namanya Bu Sumarsi. Beliau punya usaha rumahan membuat
aneka aksesoris perabot rumah tangga seperti selimut, bed cover, tas, dan
lainnya yang semuanya dibuat dari limbah kain atau kain perca.
Dengan semangat mengangkat nama UMK saya buat ulasan
produknya. Saya tulis bagaimana kiprah usaha Bu Sumarsi yang diniati dari hobi
dan dimodali oleh uang sendiri (baca juga: Dari Limbah Kain Menjadi Bed Cover Cantik ). Di usianya yang tak lagi muda, beliau
tetap menggelutinya dan bersyukur hasilnya bisa membiayai kebutuhan
sehari-hari. Bu Sumarsi menjual produknya di pasar-pasar tekstil tradisional
seperti Pasar Klewer. Selain itu, dia juga bergabung dengan Jarpuk (Jaringan
Perempuan Usaha Kecil) untuk mengasah ilmu bisnisnya.
Waktu berselang. Suatu sore ada telepon masuk dari Bu
Sumarsi. Nafasnya terengah-engah dan nadanya seperti orang yang kebingungan.
Saya suruh Bu Sumarsi untuk pelan-pelan cerita. Dia bercerita bahwa hari itu
juga, dia mendapat telepon dari Belanda. Bukan telepon nyasar, melainkan ada
orang Indonesia yang tinggal di Belanda tertarik dengan kisah usaha Bu Sumarsi.
Dia membaca berita yang saya buat dan berniat memesan bed cover dan selimut
buatan Bu Sumarsi. Tak tanggung-tanggung jumlahnya sampai ribuan. Setelah
mendengar cerita Bu Sumarsi itu saya paham kenapa beliau sampai terengah-engah
dan tak fasih bercerita. Maklum, usaha Bu Sumarsi masih sangat kecil, skalanya
masih mikro. Beliau mengerjakan produk hanya dibantu oleh anaknya. Wajar dia
kaget tiba-tiba ada yang memesan ribuan dan dari Belanda pula.
Tak salah bila Bu Sumarsi menelpon saya. Beliau bingung,
ditolak sayang, tapi bila diiyakan, mana mungkin bisa membuat ribuan produk
dalam waktu yang singkat dan bagaimana caranya agar barang itu bisa sampai ke
Belanda. Dan yang paling penting, ongkos produksinya dari mana. Kala itu
Terasolo.com belum punya divisi penjualan, kami masih sekedar media. Akhirnya
dengan berat hati, pesanan itu tak diambil Bu Sumarsi. Meskipun begitu, kami
belajar bahwa kesulitas UMK tak hanya soal promosi dan branding, tetapi juga
hal lain seperti modal dan kapasitas produksi. Masalah mereka tak selesai
dengan hanya memberitakannya. Mereka harus belajar soal marketing, manajemen,
finansial, dan lainnya agar terus merangkak naik level.
Kejadian itu tak sia-sia. Dari sana, tim inovasi
Terasolo.com membuka divisi penjualan atau e-commerce yang tujuannya membantu
UMK menjualkan produk-produk mereka dan menjaga kualitasnya. Setelah itu pun Bu
Sumarsi tak lantas berkecil hati. Beliau terus menghubungi kami, mencari tahu
adakah pelatihan maupun pameran yang bisa diikuti demi berkembangnya usaha
beliau. Salut untuk Bu Sumarsi.
Belajar Guyub di Pinggiran Kota
Di hari lain, saya berkunjung ke kota asal saya, Klaten.
Kebetulan saya kenal orang Dinas Sosial Kabupaten Klaten yang tengah mengurusi
Program Keluarga Harapan atau PKH kabupaten. Dia bercerita di Kecamatan Bayat,
kecamatan yang letaknya 15 km dari pusat kota, ada beberapa keluarga kurang
mampu yang mengikuti PKH. Sebagai bentuk follow
up-nya, mereka membentuk semacam KUBE atau Kelompok Usaha Bersama agar tak
hanya mendapat bantuan finansial saja dari dinas, tetapi juga keterampilan
usaha.
Ada tiga kelurahan yang masing-masing membuat KUBE dan
terdiri dari puluhan ibu-ibu. Mereka memilih usaha dengan penyesuaian kemampuan
dasar dan kekayaan di desa masing-masing. Kelurahan pertama membuat usaha di
bidang pertanian. Mereka menanam berbagai macam mpon-mpon seperti jahe, kunyit,
lombok, dan lain-lain. Kelurahan kedua membuat usaha telor asin dengan berbagai
varian rasa dan dilabeli merk mereka. Kemudian kelurahan terakhir membuat usaha
fashion yakni batik tulis warna alam dan lurik.
Dari Kota Solo saya mengendarai sepeda motor sekitar 2 jam
untuk sampai ke kelurahan pertama. Jalan aspal naik turun dan kadang berlubang
harus saya lahap. Untungnya ada hamparan hijau sawah kiri dan kanan yang
lumayan menyegarkan mata. Seperti layaknya peliputan biasa, saya datang,
wawancara, mengambil foto, lalu pulang membuat berita. Namun, setelah saya tiba
di sana, ternyata teman-teman relawan PKH sudah menanti saya dengan pakaian
seragamnya. Jujur, saya kaget waktu itu karena satu orang saya “dikeroyok”
sekitar 6 orang relawan dan petugas dinas (baca juga: Cerita Tentang Perempuan-Perempuan Hebat di Bayat).
Mereka kemudian mengajak saya bertemu ibu-ibu KUBE kelurahan
pertama. Setelah sampai, ternyata mereka juga ramai-ramai, sekitar 6 orang
waktu itu. Resmi saya benar-benar merasa dirajakan sebagai tamu. Sambutan
mereka luar biasa. Dengan ramahnya mereka bercerita tentang tanaman yang mereka
tanam di tanah yang pinjaman kelurahan. Hasil panen nantinya akan diputar lagi
untuk membeli pupuk, polybag, benih, dan lain sebagainya. Mereka menjual ke
pasar terdekat. Memang hasilnya belum seberapa, tapi kalau melihat optimism
mereka sepertinya usaha itu bakal berhasil. Mereka bilang, usaha di bidang
pertanian sangat menyenangkan. Dasarnya mereka memang gemati, jadi merawat tanaman pun tak jadi soal.
Setelah selesai wawancara dan mengambil foto, saya datang ke
ibu-ibu KUBE kelurahan kedua. Kali ini mereka tengah melakukan aktivitas
produksi telor asin. Di rumah seorang anggota, saya dijamu lagi dan disuruh
mencicipi telor asin yang sudah matang. Dan enak, saya tak bohong. Waktu itu
banyak sekali ibu-ibu yang hadir, ada sekitar 10 orang yang mendapat bagian pekerjaan sendiri. Ada
yang merebus telor, ada yang mengolesinya dengan tanah liat, ada yang
memendamnya ke tanah, dan ada yang membersihkan telor yang siap jual. Lagi-lagi
mereka sangat bersemangat meski tahu margin
produk mereka tak terlalu besar. Bila dipatok dengan harga yang lebih tinggi,
mereka takut telor asin mereka tak laku. Mereka mengakali dengan menambah
jumlah perkaliannya alias memperbanyak produksi dan melebarkan luasan pasar.
Usaha kolektif itu pun membuahkan hasil dan terus meningkat setiap bulannya.
Ibu-ibu tengah membuat telor asin (Foto: Terasolo.com) |
Hari sudah semakin sore. Peliputan itu menjadi peliputan
terpanjang saya. Saya hitung, sudah sekitar hampir 4 jam saya di sekitaran
Kecamatan Bayat dan masih ada satu lagi KUBE yang harus dikunjungi. Kami sampai
di sana dan sejurus itu saya benar-benar takjub. Kali ini ada 25 ibu-ibu yang
rela menunggu saya yang hanya seorang diri melakukan peliputan. Mereka tetap
sumringah ketika saya datang, padahal katanya mereka sudah menunggu berjam-jam.
Saya pun meminta maaf karena peliputan di dua kelurahan sebelumnya terlalu
lama. Di sana saya dijamu dengan sangat baik.
Sepulang dari sana saya mendapat pelajaran tentang guyubnya
para pelaku UMK dalam berusaha. Bayangkan ada puluhan kepala yang secara
otomatis tersistem dan punya jobdesk masing-masing tanpa mereka punya keahlian
manajemen sebelumnya. Sebuah bisnis alami yang lahir dari keguyuban antar
tetangga. Kerukunan itu lah esensinya. Mereka sepertinya berusaha bukan untuk
mencari uang, tapi mencari kerukunan. Bila ada untungnya, mereka anggap itu
bonus. Dan yang paling mengharukan dari seharian itu adalah ketika saya pulang,
saya masih diberi oleh-oleh gratis. Saya diberi jahe, telor asin, keripik, dan
makanan lainnya. Betapa baiknya mereka.
Bahagianya Penjaja Wedangan Berusia Senja
Salah satu karakteristik masyarakat Solo yang khas adalah
doyan begadang. Jangan heran bila di gang-gang sempit kalian masih menemui
sekumpulan orang tengah berbincang ria. Karakteristik itu pun diakomodir oleh
wedangan-wedangan yang seolah menjadi spot mereka. Wedangan sama dengan HIK
atau angkringan yang menjual aneka wedang, gorengan, sate-satean, dan yang paling
terkenal, nasi kucing.
Tak jauh dari Kota Solo, tepatnya di ruas jalan raya
Karanganyar-Matesih, ada satu tempat wedangan yang katanya paling tua di Solo
dan sekitarnya. Wedangan Mbah Loso sudah berumur 50 tahun lebih. Sang empunya
sendiri sudah meninggal dunia dan kini digantikan oleh Mbah Wiji, istrinya.
Mbah Wiji kira-kira berusia 78 tahun, usia yang tak seharusnya masih bekerja.
Namun, bila tujuan mendirikan usaha hanya mencari materi, kalian salah
menanyakannya ke Mbah Wiji.
![]() |
Mbah Wiji tengah melayani pembeli (Foto pribadi) |
Wawancara dengan Mbah Wiji tak seperti wawancara biasa,
malah lebih seperti Simbah yang menasehati cucunya. Topik kita saat itu tetap
seputar usaha wedangannya. Mbah Wiji dan Alm. Mbah Loso ternyata bukan tanpa
perjuangan mendirikan usaha. Mereka sempat gonta-ganti jualan, mulai dari soto
hingga akhirnya bertemu pikulan wedangan.
Zaman dulu, wedangan dipikul dan dijajakan berkeliling. Tak
seperti sekarang yang menempati satu tempat kemudian pelanggan datang sendiri.
Mereka berkeliling mulai dari alun-alun hingga tempat yang ada pertunjukkan
wayangnya. Pokoknya dimana ada spot ramai, di sana mereka jualan. Perjuangan
itu dilakukan mereka bertahun-tahun hingga akhirnya menetap dan punya banyak
pelanggan. Tak hanya datang dari Solo dan sekitarnya saja, para pelanggan
datang dari luar karesidenan seperti Jogja, Magelang, Madiun, dan lainnya.
Bahkan tak jarang mereka sengaja datang ke sana untuk menikmati teh khas buatan
Mbah Wiji.
“Wedangan Mbah Loso” memang terkenal dengan tehnya yang ginasthel; legi, panas, kenthel (manis,
panas, dan kental). Teh itu merupakan ramuan dan campurannya ditemukan sendiri
oleh Alm. Mbah Loso dengan menggabungkan beberapa merk teh. Ramuan itu terkenal dengan sebutan Pak Jenggot
Balapan Nyapu Gardu atau gabungan dari the Jenggot, Balapan, Nyapu, Gardu,
dengan takaran yang hanya diketahui oleh Mbah Wiji dan Alm. Mbah Loso (baca juga: Terkenal Karena Pak Jenggot Balapan Nyapu Gardu).
Saya ke sana dan mencicipinya. Kebetulan sore itu hujan sangat
lebat jadi teh buatan tangan Mbah Wiji terasa bertambah nikmat. Saya lontarkan
satu pertanyaan tentang kenapa di usia yang sudah sangat senja beliau tetap
bekerja. Dengan bahasa Jawa dia menjawab bahwa dia lebih senang berada di
wedangannya. Alm. Mbah Loso sudah tak ada, temannya kini tinggal para pelanggan
yang masih setia. Mbah Wiji mengaku selalu tak sabar menunggu sore hari tiba,
demi bisa bercengkerama dengan para pelanggannya.
Kemudian saya lanjutkan pertanyaan, kira-kira sampai kapan
Mbah Wiji tetap berjualan seperti ini? Dia bilang sampai dia tak dapat bekerja
lagi atau kalau Tuhan menghendaki, sampai dia benar-benar tidak ada. Meski teh
dibuat sendiri oleh Mbah Wiji, untuk melayani para pembeli, dia dibantu anaknya.
Anak-anaknya itulah yang menjadi saksi hidup perjuangan Mbah Wiji dan Alm. Mbah
Loso. Mereka bisa lulus sekolah dan akhirnya berkeluarga seperti ini juga
berkat pikulan yang setiap hari dibawa berkeliling.
Di wedangan itu saya bercengkrama lama. Saya dapat berita
bagus, dapat kenalan baru, dapat teh yang nikmat, gorengan yang hangat,
ditambah bonus pelajaran tentang hidup. Dari Mbah Wiji saya mengerti bahwa
apapun pekerjaanmu, bahagia itu harus nomor satu. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar