12.29.2013

oksigen

Aku lah api. Aku sangar membakar. Aku sulap kayu jadi abu. Rumah ku lahap hingga atap


Aku tak terkalahkan. Tak pernah ada orang berani menyentuhku. Ku ubah air jadi angin. Ku ubah besi jadi angin. Ku ubah semua jadi angin.


Aku lah api. Orang teriak sana sini. Mereka menggeliat kepanasan. Mereka menangis kesakitan. Haha, aku lah si perkasa api.


.....

.....

.....


Hei api, aku lah yang membuatmu. Aku yang menyalakanmu. Aku lembut membalut. Aku segar. Aku yang membuat orang tersenyum setiap pagi.


Aku, aku lah yang kau perlukan. Kamu bergantung padaku. Mereka juga. Mereka menghirupku. Mereka menikmatiku.


Aku datang perlahan lalu beri kalian kehidupan.


12.18.2013

pulangpulangpulangakukekedirianyangpalingsendiri

Rumah. Pulang. Rumah. Pulang. Kediaman. Sendiri. Rumah. Pulang. Rumah. Pulang. Mari pulang hingga ke kedirian yang paling sendiri.


Saya tembahkan definisi ini itu. Kalau rumah bukan bangunan. Kalau pulang tidak berarti kembali. Atau kembali tak selalu ke rumah bahkan bisa berarti menuju pada titik dimana diri sendiri benar-benar ambil kendali. Duduk lah ia di kursi tahta. Maka yang lain: ego, rutinitas, apapun itu tunduk pada sabda pandita ratu. Semua pulang, kembali ke suasana rumah yang jauh lebih intim daripada sekedar persegi rumah singgah untuk berteduh kala hujan batu melagu.


Ada satu hal yang dimaknai dalam -sangat dalam- tentang suasana rumah untuk dipulangi. Kelak bakal tahu bahwa rumah untuk pulang ini ada di cikal bakal diri kita. Yang mendiami berhari-hari hingga bahkan topan di luar pun bak sepoi.


Ada perasaan ingin kembali tapi sendiri. Seperti sendiri itu rumah bagi diri sendiri dan berminggu-minggu selama sepuluh tahun penuh, diri akan terus menuju kediaman sendiri, rumah bagi kedirian.


Ada yang dibalut dan dimaknai sendu saat pulang ini benar menuju rumah kesendirian. Perban melingkari jasat yang hanya perupa di dunia, pemanis untuk lakon tiap harinya. Lakon ini bukan main-main. Seperti anak yang berperan jadi Sungai Bengawan. Diam dia diam. Riaknya yang menghatur segala yang rapuh. "Manusia rapuh, manusia peluh" ia teriak sambil bertelanjang dada. Maka terguyur sudah se-Surakarta.


Lalu ia kembali pulang. Bukan perupa,bukan pelagu. Namun ia rupa, ia lagu. Ketahuilah bahwa sesegera matahari menuju ubun-ubun ia akan datang berganti rupa. Lalu pilihan menyodorkan diri, menyerah, meminta diperkosa. Si anak melepas celana dan kepergok menjadi jutaan warna yang mengudara. Rumahnya, rumah bagi diri sendiri yang semua makhluk tahu itu rumah, jauh dari kesan murah atau mewah.


Pulang. Rumah. Rumah. Kembali. Intim. Sendiri. Rumah. Pulang.


Sini-sinilah rumahku. Tempat semua yang khusyuk berkumpul. Menawan biduan bersuara merdu. Mendekap perawan yang paling biru. Lalu membingkainya menjadi alur kehidupan yang berotasi tiap detik, jam, hari, minggu, bulan, tahun.


Sini-sini kedirian. Atur aku! Aku budakmu! Saya juga! Ane juga! Kula juga! Gue juga! Maka aku aku aku aku aku dan masih sejuta aku yang lain sepakat melepas baju dan pulang ke rumah.