Jiwa dan raga, dua hal yang sering masuk-keluar gendang
telinga. Tapi lebih dari itu, manusia tak hanya punya keduanya, karena
diciptakan manusia itu multi dimensi. Anggap lukisan dua dimensi, patung tiga
dimensi, maka manusia ribuan dimensi. Yang menyebabkan manusia berubah tak
beraturan sewaktu-waktu juga karena itu. Manusia adalah ribuan jiwa dalam satu
raga, maka tak mungkin menjadi baik tanpa menjadi jahat. Yang ada hanya menjadi
baik untuk menutupi yang jahat, yang mengendap mengintip dari balik dinding
jiwa. Selama putih kuat, maka hitam larut dalam abu-abu.
Jiwa merasa kalau jasad hanya alat, seperti virus dengan
inangnya. Dan bukan berarti jiwa berbentuk layaknya jasad. Entah sebenarnya segitiga,
empat, lima, atau banyak sembarang. Yang pasti jiwa akan berwarna dua: putih
dan hitam, baik dan buruk, benar dan salah. Keduanya pun samar-samar. Ketika
kita tertarik mempersoalkan keduanya, sama saja kita membenturkan kepala ke
tembok bernama “tiada akhir”. Karena itu, keduanya sengaja dibiarkan Tuhan
samar-samar. Apa yang benar belum tentu benar, pun yang salah belum tentu
salah. Untuk membedakan keduanya ke gradien yang paling jelas perlu puasa tujuh
turunan (bukan tidak mungkin) dan tapi membedakan keduanya tak lantas menjadi
pondasi gerak selanjutnya. Hidup manusia bukan konstanta seperti alur yang maju
dan sedikit menengok spion sejarah kadang-kadang.
Manusia mengamati, meniru, memodifikasi. Ketiganya masuk
golongan belajar. Celaka dia yang tak mau belajar dan menyesuikan pelajaran
dengan jiwa masing-masing. Manusia disebut manusia karena bersinggungan dengan
manusia lain, seperti ada sistem yang super besar dan mengharuskan manusia
bertindak tidak sebagai dirinya. Sekali lagi, tak disangkal kalau ada porsi
lain di sini yang mengambil alih kontrol. Aturan main berlaku dan semuanya
diproses di jiwa. Dan harusnya mulai dari sini manusia tak mendewakan otak
sedang jiwa menjadi budak. Jiwa lah yang memanusiakan manusia, bukan malah
menjadi robot yang pandai integral.
Tuhan Maha Baik, tak lupa ketika ia membuat manusia, ia
sertakan cinta. Barang ini lah yang nantinya membuat hitam putih jiwa menjadi
warna-warni bianglala. Bahagialah dia yang tahu kalau manusia itu manusia,
sedang dirinya bukan manusia tapi mau jatuh bangun untuk menjadi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar