Namanya Desa Prajenan. Belasan
tahun yang lalu bapak sering membawa saya ke sana, entah hanya sekedar
bernostalgia tentang masa mudanya atau menengok nenek dan almarhum kakek.
Benar, Prajenan, sebuah desa di Kota Klaten ini adalah kampung halamannya,
kampung yang memiliki pohon-pohon rindang hijau dan sungai jernih yang mengalir
deras di bawahnya.
Setiap sore cerah, ada sesuatu
yang seolah mengajak mata kanak-kanak ini melihat kebiasaan pemuda desa melakukan
sebuah atraksi. Setiap berkunjung, tak sekalipun saya lewatkan yang satu ini.
Orang-orang sudah berkerumun di tepi sungai. Ada yang seperti bapak, yang
dengan suka cita mengantar anaknya menghabiskan sore. Ada pula ibu-ibu seumuran
kepala tiga menggendong anaknya yang masih balita sambil dengan hati-hati
menyuapinya. Remaja-remaja lain juga tak mau ketinggalan, berbondong-bondong
datang. Tak heran jika akhirnya berdiri satu dua warung penjaja makanan dan
minuman. Mereka semua berkerumun sore ini, seperti sore-sore biasanya.
“Satu.. Dua.. Tiga.. Byurrrr”
seorang pemuda kurus melompat dari sebuah pohon yang ujungnya menghadap ke
sungai. Pohon setinggi tiga meter itu seolah dijadikan papan loncat dan sungai
di bawahnya seolah menjadi kolam renang besar tanpa kaporit. Semua terlihat
menyegarkan. Di kedua tepi sungai, puluhan pemuda lain tertawa, sambil diikuti
riuh tepukan tangan puluhan penonton setia. Seperti wayang, mereka berjajar. Di
desa ini, iya, di desa ini semua serasa riang, waktu itu.
Hingga sekarang saya masih sering
ke sana, berbagi kegembiraan bulanan bersama handai taulan. Setiap ke sana, ada
yang sedikit demi sedikit berubah. Hingga sadar tiba sore hari yang sama
seperti belasan tahun lalu, saya tak melihat lagi riuh tepuk tangan penonton
atau teriakan semangat dari pemuda-pemuda bertelanjang dada.
Air sungai juga
tak berkecipak hebat seperti saat dijatuhi tubuh puluhan kilo. Ini beda.
Terlalu sepi.
Semua karena… bukan, bukan karena
pemuda-pemuda desa banyak yang merantau ke kota. Bukan juga karena mereka sudah
menemukan sungai lain yang lebih jernih. Mmm, ini semua karena sekarang banyak
plastik sampah yang berlayar di atasnya. Ikan-ikan juga tak terlihat lagi. Mungkin
mereka tertutup
air kotor. Mungkin mereka sudah pergi dari sungai. Atau mungkin
malah mereka sudah mati hanyut ke hulu.
Semakin hari,
air semakin kotor,
sungai semakin tak tenang. Parahnya, sampah semakin menimbun. Banyak warga
sekitar tak segan melempar bungkusan plastik hitam berisi sampah. Imbasnya ke
air sumur. Baunya tak sedap,
airnya tidak
sehat, berasa dan berwarna. Sering
almarhum kakek dan warga lainnya harus memompa kembali sumur mereka
masing-masing, tentu dengan biaya yang tak murah. Ibarat ini semua penyakit, memang
benar mereka sudah melakukan terapi, tapi kenapa kita tak mengobati sampai
tuntas lalu mencegahnya datang kembali? Jelas semua yang sudah dilakukan banyak
ruginya. Kalau masalahnya kesadaran, anggaplah saya sudah sadar. Tapi kalau
sendiri, bakal tak bunyi, bakal tak berarti. Butuh ratusan warga lain yang
mengekor.
Sekarang jelas saya kehilangan. Bukan
hanya saya, tapi ratusan warga di sini kehilangan sungai mereka yang jernih,
kehilangan gelak tawa dan tepuk tangan saban sore. Perlu waktu lama untuk
membangun mesin waktu dan mengembalikan semuanya seperti belasan tahun lalu.
Artinya, butuh kesadaran untuk merubah pola pikir dan kebiasaan tidak baik
seperti membuang sampah di sungai.
Di mulai dari hal-hal kecil yang
dapat dilakukan diri sendiri. Satu orang, kemudian dua, tiga, empat, dua puluh,
lima puluh, seratus, hingga akhirnya seluruh warga berhenti membuang sampah di
sungai. Syukur-syukur, warga menanam pohon kembali di tepinya dan soal sampah
bisa dikelola menjadi pupuk atau barang bermanfaat lainnya. Semua seperti
mimpi. Sulit, sangat sulit, tapi bukan berarti mustahil. Demi sungai jernih,
demi sore riang, demi
air minum, dan demi masa depan yang
sehat.