10.06.2011

SESUATU TANPA TEORI




Pernah suatu ketika seorang guru fisika SMA kota ternama memulai pagi dengan mengajar muridnya. Vektor, skala, hukum Newton, Kirchoff, tekanan Archimedes, bla bla bla. Di setiap kelasnya, seperti hari itu, ia tak lupa mengajarkan hakekat ilmu bahwa jika ingin mengenal ilmu, orang harus mau tahu alasan sesuatu itu berada. Namun, hari itu hari beda. Ia mulai membicarakan hal-hal diluar pakem kebiasaan. Lebih tepatnya ia berbicara tentang metafisika. Ia menjabarkan sesuatu yang tak ditangkap nalar, sesuatu yang irasional. Di akhir kalimatnya, terkutip kalimat manis. “Namun, sebenarnya di dunia ini ada beberapa hal yang tak perlu ditanyakan alasannya. Orang tak perlu tahu, tak perlu mengerti. Cukup yakin saja”. Kalimat yang cakupannya luas, tak hanya metafisika.

Sesuatu irasional seperti ketika jatuh dan tak tahu cara untuk berdiri. Ketika kamu bingung menentukan pilihan dan yang paling bedebah adalah bahwa sebenarnya kamu tak punya pilihan. Duduk sendiri di teras rumah, minum kopi buatan sendiri, menjepit kretek diantara jari telunjuk dan jari manis. Terus diulang setiap pagi, setiap hari.

Pertanyaannya adalah apakah kamu benar-benar merasakan sukacita? Atau kamu hanya menatap dengan topeng muram segala kejadian di depan pagar rumahmu? Kecelakaan, gurauan tukang jamu, bel sepeda pak pos, ibu-ibu berangkat ke Balai Desa. Ada hal-hal yang tak perlu alasan seperti kenapa kamu mau melakukan itu sepanjang hari.
Manusia butuh berjemur matahari. Manusia butuh berkejaran di halaman rumah. Manusia butuh itu. Manusia bukan makhluk otonom. Ia bukan robot. Sayang, semua hanya teori.

Teori yang terkontruksi pada pola pikir itulah yang menyebabkan manusia stagnan. Orang jatuh cinta tak akan peduli jauhnya jarak. Yakin, ia tak akan tahu alasan kenapa ia tak peduli. Ibu akan membela anaknya mati-matian walaupun jelas anaknya seorang maling. Ia membela juga tanpa alasan. Ada sesuatu dari mereka yang membuat mereka betah melakukannya. Rasa sayang? Suka? Apa kamu benar-benar suka melakukannya? Pilihan itu hanya untuk orang-orang normal yang otaknya terkonstruksi pakem tadi. Dunia ini terlalu gila untuk ditinggali orang-orang normal.

Dan pada dasarnya semua orang tahu apa yang mereka butuhkan, apa yang harus mereka lakukan. Tak perlu dilisankan, tak perlu jadi ikrar, sumpah, apalagi janji. Toh, keikhlasan turun temurun juga tanpa ikrar. Seperti kata orang jaman dulu, “ikhlas bukan ikhlas kalau diikrarkan”. Ikhlas datang dari sanubari. Peduli setan orang tahu atau tidak.

Orang hanya perlu melakukan apa yang ingin ia lakukan, selama itu benar-benar datang dari intuisi. Pembunuh sekeji apapun yakin tak mau jika disuruh membunuh ibunya. Penjahat sekeji apapun pasti tak mau mati, jasadnya tak ditemukan, dan ruhnya masuk neraka. Pastilah ia tak mau. Orang-orang yang mau melakukannya hanyalah orang yang tak pernah mau mendengar perkataan sang intuisi. Ia tak ubahnya orang-orang normal yang melakukan kebiasaan hidup. Lahir, mendapat pekerjaan, menikah, punya anak-cucu, mati. Intuisi sebenarnya jauh lebih sastrawi dari bunyinya. Intuisi yang akan menuntun seseorang melakukan sesuatu tanpa alasan. Hidup bukan matematika, hidup bukan teori.

Dan dunia ini, hidup ini, lebih layak disebut tanpa teori.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar