5.17.2011


Si Katak dan Sang Konflik
May 11th, 2011

Tibalah kali ini si katak pada titik dimana dia sulit bedakan mana baik mana buruk, mana logika mana perasaan, maju atau mundur, bahkan pilihan ke “samping” pun tak ada. Semua, iya kesemuanya bercampur jadi satu rasa, katakan saja rasa tawar, seperti teh tanpa gula. Lucunya, ending konflik ini si katak sendiri yang harus tentukan. Ini semacam kebetulan, bukan pilihan.
Dalam situasi ini si katak mulai berpikir baik-baik. Setiap hari ia picingkan mata dan kerutkan kening. Akan tetapi, berapa lamapun ia berpikir ia hanya tahu satu hal bahwa konflik ini sulit untuk “selesai”. Kemudian ia mengasingkan diri, sendirian di dalam gua. Ternyata itupun tak membantu. Ia ganti mencari keramaian di pusat perbelanjaan ternama. Aduh, itu juga tak mengubah apapun.
“Mati aku!” keluh si katak putus asa.
“Tunggu dulu!” sambil terperanjat heboh ia lanjutkan monolognya.
Ia baru sadar bahwa inti permasalahan sebenarnya letaknya sangat dekat dengannya. Ketika dia mencari jawaban itu kemana pun, sebenarnya jawaban itu sudah ketemu tepat saat ia dihadapkan pada konflik ini. Ilustrasinya: si konflik datang bertamu, mengetuk pintu yang kemudian si katak buka. Di belakangnya si cantik jawaban muncul, tak terlihat karena terhalang oleh punggung si konflik. Ketiganya masuk, minum teh hangat, dan berbincang. Konflik lebih cerewet dan tentu saja si cantik jawaban adalah sosok yang pendiam. Beberapa jam: mereka tak perlu saling kenal untuk bicara ini itu.
Jawaban yang dicari si katak kemanapun, akhirnya disadari ada di dekatnya. Jawaban yang sekaligus inti permasalahan. Jawaban yang si katak harap mampu menerangkan gradien antara baik dan buruk. Jawaban yang akan mengakhiri semua konflik bedebah ini. Jawaban itu adalah: dirinya sendiri. Menyelesaikan masalah jadi sama artinya dengan menyelesaikan diri sendiri: mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar