Rasa-rasanya sampai sekarang saya sudah berhasil memadukan
jutaan kata, tapi masih saja merasa tak ada yang bermakna. Kadang penulis dan
pembaca melupakan esensi dari bacaan. Sadarkah kalian bahwa ketika kalian
membaca tulisan saya, kalian digiring untuk memahami pengalaman saya dengan
versi kalian sendiri. Yang kalian baca adalah tanda, yang kalian baca hanyalah
karakter yang disepakati oleh semesta sebagai definisi akan sesuatu. Dan inti
dari semuanya adalah pengalaman saya sebagai penulis yang diolah kembali
menggunakan imajinasi kalian sendiri.
Pengalaman saya yang akan saya tulis akan berbenturan dengan
pengalaman kalian sebagai pembaca. Maka dari itu tantangan bagi seorang penulis
untuk meminimalisir gap itu dengan
pilihan kata yang bermakna, bersastra, tapi mudah dipahami seperti halnya saya
memahami tulisan saya sendiri.
Hukum itu sebenarnya berlaku bagi setiap bentuk komunikasi,
tak hanya soal tulisan. Kadang saya dibuat berpikir ketika menonton film
“berat”. Pada saat itu ada gap antara
pengalaman sutradara dengan pengalaman saya. Satu dua kesimpulan mungkin akan
saya lontarkan, tapi itu kesimpulan pribadi saya sesuai dengan pengalaman saya.
Bisa saja itu bukan kesimpulan seperti yang diharapkan oleh sang sutradara.
Jika ternyata benar bahwa kesimpulan pribadi saya salah, bukan lantas berarti
saya salah, bukan berarti juga sutradara yang salah. Mungkin saja memang film
itu tidak diperuntukkan untuk orang-orang dengan pengalaman seperti saya. Kita
bicara penyampaian pesan yang efektif yang di sana pasti ada “with who” atau
kepada siapa kita menyampaikan pesan.
Tapi ingat, pendapat yang saya tulis di atas pun bukan
fakta. Jangan terjebak, kalian jangan terlalu cepat manggut-manggut setuju.
Bisa saja saya salah. Tapi tak usah pula dibahas mana yang benar. Tidak ada
yang benar, yang ada hanyalah perspektif. Dan bila dibahas mana yang
benar-benar benar, tulisan ini akan sangat panjang karena musti merambah
filsafat dan sejarah bagaimana orang berpikir.
Kita ambil yang paling universal saja, setuju?. Pasti kalian
sadar bahwa ada satu hal yang sama dalam setiap penyampaian pesan? Yap, cerita.
Setiap hari kita mendengar, melihat, membaca, dan mencium cerita. Setiap kita
berkomunikasi, kita mengindra cerita. Dan lagi, coba lihat, setiap kitab suci
agama mengandung cerita, prasasti zaman dulu pun bercerita. Ada budaya yang
sejak manusia pertama lahir tak pernah hilang, meskipun sarana penyampainya
berganti, komunikasinya berganti, zamannya berganti.
Saya bercerita, kalian menangkap dengan indera kalian,
kalian masuk dalam cerita saya. Setiap tulisan yang pernah, sedang, maupun akan
dibuat adalah cerita. Cerita tak akan pernah mati, tidak selama manusia masih
punya indra untuk menangkap dan otak untuk memproses setiap cerita yang
disampaikan.
Setiap orang butuh cerita, mereka butuh menghidupkan
imajinasi, menggambarkan dirinya pada situasi orang lain atau pempersonifikasi
benda mati yang ada dalam cerita sesuai dengan apa yang ada dalam imajinasi
pengalamannya. Dan karena semua alasan itu (pun karena saya lulusan komunikasi
yang seharusnya mengerti bagaimana efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan)
saya pun akan terus bercerita. Kalian cukup berimajinasi saja.
![]() |
finallyinfirst.blogspot.com |
Hari ini pun dimulai dengan hari baru yang seperti
kebanyakan hari, menyebalkan dan kadang tak berarti apa-apa. Waktu ya waktu,
berlalu. Saya pria dengan umur matang, 25 tahun. Seperempat abad terbilang
waktu yang lama bila saya mengingat apa saja keputusan yang berarti yang pernah
saya buat selama itu. Saya sering terlena dan lupa akan esensi waktu. Saya bisa
tulis di sini bahwa esensi waktu adalah waktu itu sendiri. Manusia, makhluk
lain, dan benda-benda yang ada di semesta ini sebenarnya tidak ada, yang kekal
di dalamnya hanyalah waktu. Sekarang kita tahu, permasalahannya adalah waktu.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana manusia seharusnya mengisi keniscayaan
waktu? Ada yang bilang mengejar kesuksesan, ada yang bilang membahagiakan orang
sekitar, ada yang bilang berjalan di jalan Tuhan. Semuanya tidak salah, hanya bila
disimpulkan bahwa apa yang tengah dipikirkan mereka untuk mengisi waktu adalah
berbagi.
Tapi tahukah kalian, menulisnya sangat mudah, tapi tidak
untuk mempraktekkannya. Berbagi merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi
sulit untuk dilakukan. Ada yang pernah rela menyerahkan yang benar-benar
disayangi untuk orang lain? Angkat tangan! Kalau pun ada, saya bertaruh, pasti
itu sangat berat. Mungkin kita hanya harus mengubah perspektif. Merelakannya
bukan sebagai sebuah kehilangan, tetapi sebagai unsur paling kuat dari waktu,
yakni berbagi.
Saya bukan pribadi yang munafik, saya akui itu berat, sangat
berat malah. Saya belajar, belajar berbagi agar ke depan bisa melakukannya
lebih dan lebih lagi. Dan saya percaya bahwa Tuhan bersama orang-orang yang
beriman, bersabar, dan mau belajar.