Sepertinya baru kemarin saya teriak-teriak girang ketika
lihat pesawat melayang di atas ubun-ubun. Seperti baru kemarin pinjam pekerjaan
matematika teman untuk menjawab soal dari guru super galak. Atau disuruh duduk
di depan kelas karena telat masuk jam pelajaran.
Ada yang lewat begitu saja. Beberapa memori tentang yang pernah terekam indera. Waktu, pikiran, ‘aku-aku yang lain’. Seperti sebuah
puzzle Maha Karya Sang Perkasa. Kita sebut apa itu semua? Dimensi? Yang pasti
semua seperti sinergi yang wuussss, hilang sekejap disapu angin.
Tapi ada potongan-potongan yang menempel di otak, seperti
karat mungkin. Bedanya yang ini sulit hilang. Andai kapasitas otak terbagi atas
slot-slot, entah jutaan atau milyaran, dan bisa diisi sesuka hati.
Ada beberapa ingatan yang berdiri di punggung ingatan lain
yang lebih besar. Entah kemarin, seminggu, sebulan, atau bertahun-tahun yang
lalu. Semuanya seperti garis lurus, tapi samar-samar. Ketika sadar, ternyata
ada yang tak semestinya di sini. Saya menduga, dimensi saya berbeda dengan
dimensi-dimensi orang lain dan tak tahu dimensi mana yang paling… ‘normal’. Ini
baru dugaan. Dan ketakutan ada pada ‘aku-aku yang lain’ yang saling berebut
dominasi karena tak mau berbagi sama rata. Mampuslah saya, ketika suatu waktu
saya sadar ternyata saya bukan lah seorang mahasiswa atau ketika sadar kalau
ternyata muka-muka yang saya kenal ternyata hanya khayalan. Mampus lah saya.
Semua baru sebatas kekhawatiran dan khawatir itu proses yang
manusiawi. Beruntung mereka yang masih khawatir di sisa-sisa hidupnya karena
mereka yang masih khawatir berarti masih punya hakekat sebagai manusia. Manusia,
iya manusia, sesuatu yang bersiklus, yang berdiri sendiri padahal tak sendiri.
Ada yang khayal dan nyata disampingnya. Yang pasti, setiap manusia butuh
manusia lain yang mau mengingatkan mana khayal mana nyata.