2.10.2016

Cerita UMK: Mulai Dering Telepon Dari Belanda Hingga Bahagianya Penjaja Wedangan

Mungkin tema tulisan ini bukan soal bagaimana Usaha Mikro Kecil (UMK) membantu saya dalam sebuah situasi atau mungkin malah kehidupan sehari-hari. Namun, saya ingin menambahkan, bahwa tulisan ini akan bercerita tentang bagaimana kami, saya dan UMK, saling membantu.

UMK memang tengah jadi primadona. Bila dirunut dari sejarah Orde Baru, peran UMK kala itu sungguh dahsyat. Masih ingat geger tahun ’98 dimana krisis terjadi di semua bidang kehidupan. Ekonomi makro Indonesia ambruk kala itu. Namun ekonomi mikro tetap gagah berdiri. Kalau bukan berkat para pengusaha UMK mungkin saja ketahanan pangan Indonesia ikut goyah, chaos bakal lebih lama, dan Indonesia tak secepat ini bangkit lagi.

Tahun demi tahun berlalu. Dulu para ekonom meramalkan kejatuhan UMK akibat globalisasi dan banyaknya perjanjian dagang lintas negara yang sebenarnya lebih ditujukan kepada pengusaha kelas kakap. Mereka bilang, UMK jelas akan kalah bersaing. Namun, kenyataannya lagi-lagi UMK mampu menangkis ramalan itu dan memperlihatkan tajinya.

UMK terus tumbuh, bahkan pertumbuhannya terbilang pesat, karena ternyata para pengusaha kelas kakap pun membutuhkan keberadaan UMK. UMK menjadi semacam vendor yang menjadi solusi permasalahaan perusahaan besar untuk meningkatkan jumlah produksi. UKM menjadi penggarap detail yang apik untuk permasalahan QC produk perusahaan. Mereka bermutualisme dan terus berkembang bersama hingga sekarang.

Nah, singkat cerita, suatu waktu saya berkesempatan melihat gerak-gerik UMK di Solo, kota yang sarat dengan konten budaya Jawa, termasuk karakteristik warganya yang senang usaha. Saking banyaknya UMK di Solo, sampai-sampai ada joke begini, “Kalau mau kerja jangan di Solo. Kerja itu di Jakarta. Nah, Kalau mau usaha, baru di Solo tempatnya”. Memang benar, bisa dibilang Solo adalah kota sejuta usaha dan saya beruntung menangkapnya melalui media yang bernama Terasolo.com.

Terasolo.com merupakan media yang khusus diperuntukkan bagi pelaku UMK sebagai wadah branding dan promosi mereka. Kurang lebih 3 tahun saya di Terasolo.com, pergi ke pusat kota hingga pelosok untuk meliput UMK dan keunikannya serta menjadikannya ulasan cantik untuk dibaca dan ditonton khalayak. Dari 3 tahun itulah saya berani bercerita disini dan ini dia cerita detail saya tentang saya dan UMK yang saling membantu satu sama lain.

Dering Telepon Dari Belanda

Seperti biasa saya harus bekerja meliput UMK, paling tidak satu UMK dalam sehari. Ilham datang tiba-tiba hingga saya pun mempunyai pikiran untuk meliput pengolahan kain perca menjadi barang jadi. Saya tanya jaringan saya, hingga akhirnya bertemu satu produsen kerajinan kain perca di Kampung Gandekan, Jebres, Solo. Namanya Bu Sumarsi. Beliau punya usaha rumahan membuat aneka aksesoris perabot rumah tangga seperti selimut, bed cover, tas, dan lainnya yang semuanya dibuat dari limbah kain atau kain perca.

Bu Sumarsi (Foto: Terasolo.com)

Dengan semangat mengangkat nama UMK saya buat ulasan produknya. Saya tulis bagaimana kiprah usaha Bu Sumarsi yang diniati dari hobi dan dimodali oleh uang sendiri (baca juga: Dari Limbah Kain Menjadi Bed Cover Cantik ). Di usianya yang tak lagi muda, beliau tetap menggelutinya dan bersyukur hasilnya bisa membiayai kebutuhan sehari-hari. Bu Sumarsi menjual produknya di pasar-pasar tekstil tradisional seperti Pasar Klewer. Selain itu, dia juga bergabung dengan Jarpuk (Jaringan Perempuan Usaha Kecil) untuk mengasah ilmu bisnisnya.

Waktu berselang. Suatu sore ada telepon masuk dari Bu Sumarsi. Nafasnya terengah-engah dan nadanya seperti orang yang kebingungan. Saya suruh Bu Sumarsi untuk pelan-pelan cerita. Dia bercerita bahwa hari itu juga, dia mendapat telepon dari Belanda. Bukan telepon nyasar, melainkan ada orang Indonesia yang tinggal di Belanda tertarik dengan kisah usaha Bu Sumarsi. Dia membaca berita yang saya buat dan berniat memesan bed cover dan selimut buatan Bu Sumarsi. Tak tanggung-tanggung jumlahnya sampai ribuan. Setelah mendengar cerita Bu Sumarsi itu saya paham kenapa beliau sampai terengah-engah dan tak fasih bercerita. Maklum, usaha Bu Sumarsi masih sangat kecil, skalanya masih mikro. Beliau mengerjakan produk hanya dibantu oleh anaknya. Wajar dia kaget tiba-tiba ada yang memesan ribuan dan dari Belanda pula.

Tak salah bila Bu Sumarsi menelpon saya. Beliau bingung, ditolak sayang, tapi bila diiyakan, mana mungkin bisa membuat ribuan produk dalam waktu yang singkat dan bagaimana caranya agar barang itu bisa sampai ke Belanda. Dan yang paling penting, ongkos produksinya dari mana. Kala itu Terasolo.com belum punya divisi penjualan, kami masih sekedar media. Akhirnya dengan berat hati, pesanan itu tak diambil Bu Sumarsi. Meskipun begitu, kami belajar bahwa kesulitas UMK tak hanya soal promosi dan branding, tetapi juga hal lain seperti modal dan kapasitas produksi. Masalah mereka tak selesai dengan hanya memberitakannya. Mereka harus belajar soal marketing, manajemen, finansial, dan lainnya agar terus merangkak naik level.

Kejadian itu tak sia-sia. Dari sana, tim inovasi Terasolo.com membuka divisi penjualan atau e-commerce yang tujuannya membantu UMK menjualkan produk-produk mereka dan menjaga kualitasnya. Setelah itu pun Bu Sumarsi tak lantas berkecil hati. Beliau terus menghubungi kami, mencari tahu adakah pelatihan maupun pameran yang bisa diikuti demi berkembangnya usaha beliau. Salut untuk Bu Sumarsi.

Belajar Guyub di Pinggiran Kota

Di hari lain, saya berkunjung ke kota asal saya, Klaten. Kebetulan saya kenal orang Dinas Sosial Kabupaten Klaten yang tengah mengurusi Program Keluarga Harapan atau PKH kabupaten. Dia bercerita di Kecamatan Bayat, kecamatan yang letaknya 15 km dari pusat kota, ada beberapa keluarga kurang mampu yang mengikuti PKH. Sebagai bentuk follow up-nya, mereka membentuk semacam KUBE atau Kelompok Usaha Bersama agar tak hanya mendapat bantuan finansial saja dari dinas, tetapi juga keterampilan usaha.

Ada tiga kelurahan yang masing-masing membuat KUBE dan terdiri dari puluhan ibu-ibu. Mereka memilih usaha dengan penyesuaian kemampuan dasar dan kekayaan di desa masing-masing. Kelurahan pertama membuat usaha di bidang pertanian. Mereka menanam berbagai macam mpon-mpon seperti jahe, kunyit, lombok, dan lain-lain. Kelurahan kedua membuat usaha telor asin dengan berbagai varian rasa dan dilabeli merk mereka. Kemudian kelurahan terakhir membuat usaha fashion yakni batik tulis warna alam dan lurik.

Dari Kota Solo saya mengendarai sepeda motor sekitar 2 jam untuk sampai ke kelurahan pertama. Jalan aspal naik turun dan kadang berlubang harus saya lahap. Untungnya ada hamparan hijau sawah kiri dan kanan yang lumayan menyegarkan mata. Seperti layaknya peliputan biasa, saya datang, wawancara, mengambil foto, lalu pulang membuat berita. Namun, setelah saya tiba di sana, ternyata teman-teman relawan PKH sudah menanti saya dengan pakaian seragamnya. Jujur, saya kaget waktu itu karena satu orang saya “dikeroyok” sekitar 6 orang relawan dan petugas dinas (baca juga: Cerita Tentang Perempuan-Perempuan Hebat di Bayat).

Mereka kemudian mengajak saya bertemu ibu-ibu KUBE kelurahan pertama. Setelah sampai, ternyata mereka juga ramai-ramai, sekitar 6 orang waktu itu. Resmi saya benar-benar merasa dirajakan sebagai tamu. Sambutan mereka luar biasa. Dengan ramahnya mereka bercerita tentang tanaman yang mereka tanam di tanah yang pinjaman kelurahan. Hasil panen nantinya akan diputar lagi untuk membeli pupuk, polybag, benih, dan lain sebagainya. Mereka menjual ke pasar terdekat. Memang hasilnya belum seberapa, tapi kalau melihat optimism mereka sepertinya usaha itu bakal berhasil. Mereka bilang, usaha di bidang pertanian sangat menyenangkan. Dasarnya mereka memang gemati, jadi merawat tanaman pun tak jadi soal.

Setelah selesai wawancara dan mengambil foto, saya datang ke ibu-ibu KUBE kelurahan kedua. Kali ini mereka tengah melakukan aktivitas produksi telor asin. Di rumah seorang anggota, saya dijamu lagi dan disuruh mencicipi telor asin yang sudah matang. Dan enak, saya tak bohong. Waktu itu banyak sekali ibu-ibu yang hadir, ada sekitar 10 orang  yang mendapat bagian pekerjaan sendiri. Ada yang merebus telor, ada yang mengolesinya dengan tanah liat, ada yang memendamnya ke tanah, dan ada yang membersihkan telor yang siap jual. Lagi-lagi mereka sangat bersemangat meski tahu margin produk mereka tak terlalu besar. Bila dipatok dengan harga yang lebih tinggi, mereka takut telor asin mereka tak laku. Mereka mengakali dengan menambah jumlah perkaliannya alias memperbanyak produksi dan melebarkan luasan pasar. Usaha kolektif itu pun membuahkan hasil dan terus meningkat setiap bulannya.


Ibu-ibu tengah membuat telor asin (Foto: Terasolo.com)

Hari sudah semakin sore. Peliputan itu menjadi peliputan terpanjang saya. Saya hitung, sudah sekitar hampir 4 jam saya di sekitaran Kecamatan Bayat dan masih ada satu lagi KUBE yang harus dikunjungi. Kami sampai di sana dan sejurus itu saya benar-benar takjub. Kali ini ada 25 ibu-ibu yang rela menunggu saya yang hanya seorang diri melakukan peliputan. Mereka tetap sumringah ketika saya datang, padahal katanya mereka sudah menunggu berjam-jam. Saya pun meminta maaf karena peliputan di dua kelurahan sebelumnya terlalu lama. Di sana saya dijamu dengan sangat baik.

Sepulang dari sana saya mendapat pelajaran tentang guyubnya para pelaku UMK dalam berusaha. Bayangkan ada puluhan kepala yang secara otomatis tersistem dan punya jobdesk masing-masing tanpa mereka punya keahlian manajemen sebelumnya. Sebuah bisnis alami yang lahir dari keguyuban antar tetangga. Kerukunan itu lah esensinya. Mereka sepertinya berusaha bukan untuk mencari uang, tapi mencari kerukunan. Bila ada untungnya, mereka anggap itu bonus. Dan yang paling mengharukan dari seharian itu adalah ketika saya pulang, saya masih diberi oleh-oleh gratis. Saya diberi jahe, telor asin, keripik, dan makanan lainnya. Betapa baiknya mereka.

Bahagianya Penjaja Wedangan Berusia Senja

Salah satu karakteristik masyarakat Solo yang khas adalah doyan begadang. Jangan heran bila di gang-gang sempit kalian masih menemui sekumpulan orang tengah berbincang ria. Karakteristik itu pun diakomodir oleh wedangan-wedangan yang seolah menjadi spot mereka. Wedangan sama dengan HIK atau angkringan yang menjual aneka wedang, gorengan, sate-satean, dan yang paling terkenal, nasi kucing.

Tak jauh dari Kota Solo, tepatnya di ruas jalan raya Karanganyar-Matesih, ada satu tempat wedangan yang katanya paling tua di Solo dan sekitarnya. Wedangan Mbah Loso sudah berumur 50 tahun lebih. Sang empunya sendiri sudah meninggal dunia dan kini digantikan oleh Mbah Wiji, istrinya. Mbah Wiji kira-kira berusia 78 tahun, usia yang tak seharusnya masih bekerja. Namun, bila tujuan mendirikan usaha hanya mencari materi, kalian salah menanyakannya ke Mbah Wiji.


Mbah Wiji tengah melayani pembeli (Foto pribadi)

Wawancara dengan Mbah Wiji tak seperti wawancara biasa, malah lebih seperti Simbah yang menasehati cucunya. Topik kita saat itu tetap seputar usaha wedangannya. Mbah Wiji dan Alm. Mbah Loso ternyata bukan tanpa perjuangan mendirikan usaha. Mereka sempat gonta-ganti jualan, mulai dari soto hingga akhirnya bertemu pikulan wedangan.

Zaman dulu, wedangan dipikul dan dijajakan berkeliling. Tak seperti sekarang yang menempati satu tempat kemudian pelanggan datang sendiri. Mereka berkeliling mulai dari alun-alun hingga tempat yang ada pertunjukkan wayangnya. Pokoknya dimana ada spot ramai, di sana mereka jualan. Perjuangan itu dilakukan mereka bertahun-tahun hingga akhirnya menetap dan punya banyak pelanggan. Tak hanya datang dari Solo dan sekitarnya saja, para pelanggan datang dari luar karesidenan seperti Jogja, Magelang, Madiun, dan lainnya. Bahkan tak jarang mereka sengaja datang ke sana untuk menikmati teh khas buatan Mbah Wiji.

“Wedangan Mbah Loso” memang terkenal dengan tehnya yang ginasthel; legi, panas, kenthel (manis, panas, dan kental). Teh itu merupakan ramuan dan campurannya ditemukan sendiri oleh Alm. Mbah Loso dengan menggabungkan beberapa merk teh.  Ramuan itu terkenal dengan sebutan Pak Jenggot Balapan Nyapu Gardu atau gabungan dari the Jenggot, Balapan, Nyapu, Gardu, dengan takaran yang hanya diketahui oleh Mbah Wiji dan Alm. Mbah Loso (baca juga: Terkenal Karena Pak Jenggot Balapan Nyapu Gardu).

Saya ke sana dan mencicipinya. Kebetulan sore itu hujan sangat lebat jadi teh buatan tangan Mbah Wiji terasa bertambah nikmat. Saya lontarkan satu pertanyaan tentang kenapa di usia yang sudah sangat senja beliau tetap bekerja. Dengan bahasa Jawa dia menjawab bahwa dia lebih senang berada di wedangannya. Alm. Mbah Loso sudah tak ada, temannya kini tinggal para pelanggan yang masih setia. Mbah Wiji mengaku selalu tak sabar menunggu sore hari tiba, demi bisa bercengkerama dengan para pelanggannya.

Kemudian saya lanjutkan pertanyaan, kira-kira sampai kapan Mbah Wiji tetap berjualan seperti ini? Dia bilang sampai dia tak dapat bekerja lagi atau kalau Tuhan menghendaki, sampai dia benar-benar tidak ada. Meski teh dibuat sendiri oleh Mbah Wiji, untuk melayani para pembeli, dia dibantu anaknya. Anak-anaknya itulah yang menjadi saksi hidup perjuangan Mbah Wiji dan Alm. Mbah Loso. Mereka bisa lulus sekolah dan akhirnya berkeluarga seperti ini juga berkat pikulan yang setiap hari dibawa berkeliling.


Di wedangan itu saya bercengkrama lama. Saya dapat berita bagus, dapat kenalan baru, dapat teh yang nikmat, gorengan yang hangat, ditambah bonus pelajaran tentang hidup. Dari Mbah Wiji saya mengerti bahwa apapun pekerjaanmu, bahagia itu harus nomor satu. Sekian.