9.15.2015

Saya Berbagi Lewat Cerita, Kamu?

glowglowlove.com

Rasa-rasanya sampai sekarang saya sudah berhasil memadukan jutaan kata, tapi masih saja merasa tak ada yang bermakna. Kadang penulis dan pembaca melupakan esensi dari bacaan. Sadarkah kalian bahwa ketika kalian membaca tulisan saya, kalian digiring untuk memahami pengalaman saya dengan versi kalian sendiri. Yang kalian baca adalah tanda, yang kalian baca hanyalah karakter yang disepakati oleh semesta sebagai definisi akan sesuatu. Dan inti dari semuanya adalah pengalaman saya sebagai penulis yang diolah kembali menggunakan imajinasi kalian sendiri.

Pengalaman saya yang akan saya tulis akan berbenturan dengan pengalaman kalian sebagai pembaca. Maka dari itu tantangan bagi seorang penulis untuk meminimalisir gap itu dengan pilihan kata yang bermakna, bersastra, tapi mudah dipahami seperti halnya saya memahami tulisan saya sendiri.

Hukum itu sebenarnya berlaku bagi setiap bentuk komunikasi, tak hanya soal tulisan. Kadang saya dibuat berpikir ketika menonton film “berat”. Pada saat itu ada gap antara pengalaman sutradara dengan pengalaman saya. Satu dua kesimpulan mungkin akan saya lontarkan, tapi itu kesimpulan pribadi saya sesuai dengan pengalaman saya. Bisa saja itu bukan kesimpulan seperti yang diharapkan oleh sang sutradara. Jika ternyata benar bahwa kesimpulan pribadi saya salah, bukan lantas berarti saya salah, bukan berarti juga sutradara yang salah. Mungkin saja memang film itu tidak diperuntukkan untuk orang-orang dengan pengalaman seperti saya. Kita bicara penyampaian pesan yang efektif yang di sana pasti ada “with who” atau kepada siapa kita menyampaikan pesan.

Tapi ingat, pendapat yang saya tulis di atas pun bukan fakta. Jangan terjebak, kalian jangan terlalu cepat manggut-manggut setuju. Bisa saja saya salah. Tapi tak usah pula dibahas mana yang benar. Tidak ada yang benar, yang ada hanyalah perspektif. Dan bila dibahas mana yang benar-benar benar, tulisan ini akan sangat panjang karena musti merambah filsafat dan sejarah bagaimana orang berpikir.

Kita ambil yang paling universal saja, setuju?. Pasti kalian sadar bahwa ada satu hal yang sama dalam setiap penyampaian pesan? Yap, cerita. Setiap hari kita mendengar, melihat, membaca, dan mencium cerita. Setiap kita berkomunikasi, kita mengindra cerita. Dan lagi, coba lihat, setiap kitab suci agama mengandung cerita, prasasti zaman dulu pun bercerita. Ada budaya yang sejak manusia pertama lahir tak pernah hilang, meskipun sarana penyampainya berganti, komunikasinya berganti, zamannya berganti.

Saya bercerita, kalian menangkap dengan indera kalian, kalian masuk dalam cerita saya. Setiap tulisan yang pernah, sedang, maupun akan dibuat adalah cerita. Cerita tak akan pernah mati, tidak selama manusia masih punya indra untuk menangkap dan otak untuk memproses setiap cerita yang disampaikan.

Setiap orang butuh cerita, mereka butuh menghidupkan imajinasi, menggambarkan dirinya pada situasi orang lain atau pempersonifikasi benda mati yang ada dalam cerita sesuai dengan apa yang ada dalam imajinasi pengalamannya. Dan karena semua alasan itu (pun karena saya lulusan komunikasi yang seharusnya mengerti bagaimana efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan) saya pun akan terus bercerita. Kalian cukup berimajinasi saja.


finallyinfirst.blogspot.com


Hari ini pun dimulai dengan hari baru yang seperti kebanyakan hari, menyebalkan dan kadang tak berarti apa-apa. Waktu ya waktu, berlalu. Saya pria dengan umur matang, 25 tahun. Seperempat abad terbilang waktu yang lama bila saya mengingat apa saja keputusan yang berarti yang pernah saya buat selama itu. Saya sering terlena dan lupa akan esensi waktu. Saya bisa tulis di sini bahwa esensi waktu adalah waktu itu sendiri. Manusia, makhluk lain, dan benda-benda yang ada di semesta ini sebenarnya tidak ada, yang kekal di dalamnya hanyalah waktu. Sekarang kita tahu, permasalahannya adalah waktu. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana manusia seharusnya mengisi keniscayaan waktu? Ada yang bilang mengejar kesuksesan, ada yang bilang membahagiakan orang sekitar, ada yang bilang berjalan di jalan Tuhan. Semuanya tidak salah, hanya bila disimpulkan bahwa apa yang tengah dipikirkan mereka untuk mengisi waktu adalah berbagi.

Tapi tahukah kalian, menulisnya sangat mudah, tapi tidak untuk mempraktekkannya. Berbagi merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilakukan. Ada yang pernah rela menyerahkan yang benar-benar disayangi untuk orang lain? Angkat tangan! Kalau pun ada, saya bertaruh, pasti itu sangat berat. Mungkin kita hanya harus mengubah perspektif. Merelakannya bukan sebagai sebuah kehilangan, tetapi sebagai unsur paling kuat dari waktu, yakni berbagi.

Saya bukan pribadi yang munafik, saya akui itu berat, sangat berat malah. Saya belajar, belajar berbagi agar ke depan bisa melakukannya lebih dan lebih lagi. Dan saya percaya bahwa Tuhan bersama orang-orang yang beriman, bersabar, dan mau belajar.