1.20.2012

THE PAST

ceceran III (dari eks-halamandepan)


Swinging Waltz


Ia-yang-menari. Lihatlah betapa lincahnya ia menari, swinging waltz, balerina yang kakinya mengayun melewati biduk-biduk hidup. Satu dua petak terlampaui manis. Tiga empat petak makin menyala jiwanya. Menghentak kadang mengalun lembut bak ginonjing dua-tiga abad lalu. Wajahnya berbinar. Tahukah kau lampiun beku jingga merona di Mangkunegaran saat malam dingin menggigil? Ya, rautnya sama seperti itu. Dia lah yang manis, yang berwajah pucat tapi manis, yang mewarnai putih hidupnya dengan crayon kesukaannya, menari. Dia melagu lembut. Hidupnya adalah lirik yang ia nyanyikan dengan kelembutan tutur dan sikap. Duh, betapa senang seorang pria jalang hanya sekedar mengenalnya. Pria jalang temukan segi baru pada bangunan hidupnya, segi yang vital hingga harus mulai menyusun bangunan itu dari awal.

Jauh sebelum itu, pria jalang seperti pria-pria lain, hanya saja ia tanpa harapan. Berdirinya goyah, berjalannya lemah. “Pekikkan yang mana semua orang suka. Dunia tak hiraukan saya,” pria jalang berbincang dengan tongkatnya. Dia ulangi saban hari, dalam sendiri, dalam patri di dipan keras pojok kamar. Alur tak berubah. Tak seperti ia-yang-menari, hidupnya tak menghentak dan mengalun.

Terima kasih ia-yang-menari, telah ajarkan pria jalang cara untuk menari


Kini pria jalang sedikit lebih lincah menari, lebih membiarkan dirinya larut dalam musik dunia. Bak Mozart hentakan piano sonata, ia tatap harinya sedikit tanpa rana. Hingga suatu senja jingga -warnanya runtuhkan harmoni lampiun lalu-, pria jalang beranjak dari dipan keras. Untuk kali pertama ia punya gelora. Bukan apa-apa, hanya ia-yang-menari tak menyana. Di ujung jalan penuh seroja, pria jalang tunjukkan padanya tarian balerina sama seperti saat diam-diam ia melihat ia-yang-menari melemparkan tubuhnya di udara. Pelan-pelan penuh asmaradana. Tak lama ia-yang-menari tersenyum mungil. Terlihat jelas wajah binar bagaikan terpahat mati di wajahnya. Sejurus kemudian ia-yang-menari ikut larut dalam tarian mistis. Ia gerakkan kakinya ikuti irama, gerakkan tangannya meraba angkasa. Mereka hampir sepadan, seperti berbincang dengan bahasa ayunan tangan-kaki yang hanya mereka dan Tuhan Maha Mengetahui yang tahu.

Senja tak berapa lama, malam seketika runtuhkan tahtanya. Tarian mistis mereda seperti langit panik kehilangan air mata. Duh sayang, kali ini tanpa bianglala. Pria jalang masih tetap jalang, ia hanya tak ungkapkan bahasa ayunan tangan-kaki yang lain, yang sungguhnya pun ia yakin benar. Atau mungkin pria jalang belum sempat tunjukkan bahasa itu pada ia-yang-menari, hingga malam yang keras kepala hentikan alunannya. Pria jalang terpukul. Dibuangnya jauh-jauh rautnya pada jalanan gagu. Ia-yang-menari pula bisu. Mereka saling sungkur, kemudian saling lalu, bawa bahasa masing-masing. Dari paling atas, Tuhan Maha Melihat melihat kekacauan ini. Dilerai-Nya mereka. Tangan-Nya menjimpit tengkuk keduanya, lalu dibawa keduanya pada alam tak-terjaga.

Mengapa Tuhan Maha Memberi tak beri keduanya kesempatan bercengkrama dengan bahasa ayunan tangan-kaki yang lain yang keduanya pula sama tahu?

1.17.2012

Teruntukmu, alam bawah sadarku


Hmm, kamu alam bawah sadarku, masihkah ada hawamu di sana? Ingin aku berbagi sesuatu. Tenang, ini bukan hanya tentang yang buruk, tapi juga bukan tentang hal yang baik saja. Ini tentang sungai yang rindu jauh akan air bening, tentang pohon di jantung kota yang mati tuli karena bising jalan.


Jika kamu di sini pastilah kamu akan tercengang karena masamu telah cepat berubah. Tak ada yang kamu banggakan di sini, saat ini, sekarang, detik ini. Apalah artinya rumah besar tinggi tapi penghuninya seteru saling tamak. Apalah guna masjid tapi orang-orang menutup kuping saat adzan yang besar itu saling gelegar. Ini dunia tak seperti dulu. Tak seperti saat kita bermain layang karena banyak yang lapang. Tanpamu di sini, waktu semakin sombong. Pernah suatu waktu aku memanggilnya keras-keras. Jangankan ia menyapa, menoleh saja ia tak pernah.


Di sini, di tempat... yang... baiklah aku mulai terbata, belum menemukan istilah yang tepat untuk menamainya. Begini saja, kupinjam istilahmu ketika kamu memaki orang-orang yang menghina masamu, "bedebah". Di tempat yang bedebah ini, mereka prajurit dan waktu adalah ratu. Di sini aku seperti dari dunia berbeda, jatuh dari langit, dan mencoba bergaul dengan bangsa baruku.


Bila suatu ketika nanti aku kembali ke duniaku. Aku mau kamu yang datang menjemput, di stasiun kota dengan puluhan cemara kecil di halamannya. Kamu bawakan aku mantel hangat buatan tanganmu dan kita saling cerita tentang berjuta tahunku dan berjuta tahunmu.


Kamu alam bawah sadarku, sabarlah. Demi sang ratu waktu, aku akan kembali untukmu, tentu.