11.18.2011

THE PAST


Ceceran II
SATUTAHUN

Satu tahun ini tak bisa didefinisikan. Terlalu rumit. Satu tahun juga bukan waktu yang sebentar, bukan kalau durasi di bawah alam sadar tak berfungsi dengan benar. Waktu yang cukup untuk membuat pelangi yakin ia berjodoh dengan langit, rokok dengan kopi, adam dengan hawa.

Kisah ini tentang si anonim yang terlambat tahu kalau sebenarnya ia bukan tanpa nama. Kurang lebih setahun lalu.

Suatu waktu ia bertemu orang yang nantinya ia percayai sebagai orang paling asing. Orang ini yang ia tak kenal tetapi terasa intim, yang ia tak pernah tahu tetapi terasa akrab. Mereka bisa bahas topik sama hingga beberapa hari dengan diam. Mereka saling kenal dengan diam. Diam.

Satu sisi diam emas, sisi lain sampah. Ia akan terbiasa dengan diam. Diam bukan sekedar tidak melakukan apa-apa. Diam juga berarti tahu apa yang seharusnya ia lakukan, tetapi ia pilih diam.

Ia yakin diam ini sampah. Kehilangan sesuatu. Harapan. Tetapi penyakit tak sampai di situ. Semua ini rentetan, seperti endemik virus tanpa pembasmi.

Saat ia kehilangan, saat yang sama ia sadar kalau sangat membutuhkan. Motivasi, harapan, atau tanpa keduanya. Ia sadar hidup tak selalu tentang pilihan. Ada kalanya harus menerima takdir. Takdir. Atau mungkin ini hanya kebetulan. Ya, hanya kebetulan. Lalu apa bedanya? Keduanya dipaksa jalan oleh si keras kepala waktu.

11.12.2011

THE PAST

Ceceran I



SUATU WAKTU




     Rona, seperti pipinya yang kian merona. Satu per satu ia buka lembar hari. Sabar, lembar per lembar. Perlahan ia tapak satu kakinya ke depan belajar jalan. Hingga sekarang, lihatlah ia telah lincah berjalan. Kadang sesekali ia berlari, berjinjit, bahkan memutar. Seperti balerina, ia manis dan magis.
     Si payah cukup puas dengan hanya melihatnya tiap pagi, meski dari pojok ruang. Tiap kali melihat Rona tiap kali pula ia menulis. Tulisan yang baginya hidup mati. Tulisan yang tak pernah terbaca. Hanya ia dan diam yang tahu.
     Hari semakin dewasa, Rona semakin merona. Kini ia sangat tinggi. Benar, bunga itu kini mekar, tanpa sendu. Ia lebih ceria sekarang. Seceria pagi tanpa kabut dan siang tanpa terik.
     Setiap hari si payah tak bosan menjadi penonton di kursi paling pojok. Ia hanya melihat, lalu pulang. Menulis, lalu hilang. Hanya sesekali ia tunggu ruang sepi. Kemudian diam-diam ia berdiri tepat di tempat Rona beraksi. Ia rasakan jejaknya, ia kuntit harumnya.
     373 hari waktu bertambah dewasa. Tak ada yang berubah hingga akhirnya si payah sadar satu hal. Rona hanya ilusi ketika ia mati. Pagi tadi ia dapat kabar Rona tenggelam. Seketika Rona tiada tanpa tanda.
     Si payah terpukul sejadi-jadinya. Ia sedih sehebat-hebatnya. Kini tak ada lagi yang ia tunggu tiap pagi. Tak ada gerutu untuk ia tulis. Semua satu warna, blur, tanpa fokus.
     Hari terpaksa berganti tempat dengan hari lain. Si payah masih terpaksa diam. Pikirnya coba ulangi dari awal. Ia tak sadar hingga ia tak temukan tulisannya dulu. Ia juga tak temukan ruang dimana tiap pagi ia duduk di pojok sembari melihat Rona menari. Ini apa? Semua seperti tak sadar ratusan hari. Tidur yang saking lelapnya hingga lupa ini sebuah..?? Mentok pada kata itu, "sebuah". Lalu ini apa?
     Si payah terbangun, ia sadar satu hal. Ia sadar bahwa ia hidup di ruangan yang lebih luas. Ruangan yang semua tak selalu berjalan seperti yang ia inginkan. Inilah relitas, dimana sebenarnya manusia tinggal bersama waktu.
     Ia temukan masalahnya, waktu. Sekuat tenaga pada akhirnya sisa usia ia habiskan untuk membuat semacam mesin waktu. Ia bisa loncat ke sana kemari. Sesuka hati ia lahirkan Rona lagi. Kali ini ia tak sabar. Ada sesuatu yang ingin meluap, seperti bah siap luluh-lantakkan ribuan desa.
     Sebentar, ia tetap gagal. Apanya yang salah? Si payah lupa sesuatu. Ada hal yang tak terjangkau, bahkan oleh waktu sekalipun. Benar, perasaan.