5.28.2011

-Monolog-

Kita bahas konflik ini pakai semiologi.
Kita bahas petanda dan penanda di sini.
Kita pilih semiologi pragmatik, “karena ini komunikasi,” kata Roland Barthes.
Aku komunikator, kamu komunikan.
Seingatku kita belum sepakat kalau komunikan tidak harus memberi feedback.
Kita mulai.
Aku komunikator yang memberi sinyal pesan melalui tanda.
Normalnya kamu tahu tanda itu lalu kamu intrepetasikan.
Tidak perlu semiotika Pierce untuk membahas tanda yang aku beri.
Tanda itu cukup universal.
Normalnya kamu tahu itu.
Tapi mungkin ekspetasiku terlalu jauh.
Seperti ada perbedaan persepsi.
Kamu tahu aku butuh feedback, apa saja, terserah kamu.
Kamu bisa pakai tanda lalu aku intrepetasikan.
Tapi komunikasi ini seolah jadi satu arah.
Sebentar, tunggu dulu.
Persoalannya, apakah pesanku itu sampai?
Apakah pesanku lancar melewati perantara media?
Apakah tidak ada barier yang mengganggu intrepetasi pesanku?
Apakah kamu tahu aku memberi pesan kepadamu?
Ah, sepertinya kamu yang terlalu bebal.
Aku tahu sebenarnya kamu tahu.
Terlihat ada efek yang kamu tunjukkan, mungkin kamu tidak sadar.
Ingat, kamu diam saja itu juga penyampaian pesan.
Tapi aku butuh pesanmu yang benar-benar pesan.
Terserah pesanmu kamu bungkus tanda seperti apa, asal mudah aku intrepetasikan.
Aku sudah “iya”, kamu?
Konflik bedebah ini, intrepetasi yang salah ini.
Hingga suatu waktu aku sadar aku lupa sesuatu.
Aku baru ingat, kita memang tidak pernah pandai semiologi.

5.17.2011

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Ah, biasa ia bicara dengan huruf A
Seperti Al Fatihah menjadi pembuka
A juga huruf pembuka
Terdengar ceria

Rasa, Rana, Mala, Hura
Pilih empat-empatnya!
Terutama Hura
Maka akan terlihat bahagia ketimbang merana

Rona, rona bukan hanya untuk citra
Tapi di muka
Paras, wajah, kesemuanya
Lama sekali ia terlihat jingga

Ia juga A
Maka ia adalah pembuka
Untuk Selasa hingga selasa
Hingga selanjutnya, seterusnya

Kini jiwa lena olehnya
Hanya mantra sedikit hibur jiwa
Terus, teruslah bahagia
Maka apapun itu, hidup ini akan lama

Si Katak dan Sang Konflik
May 11th, 2011

Tibalah kali ini si katak pada titik dimana dia sulit bedakan mana baik mana buruk, mana logika mana perasaan, maju atau mundur, bahkan pilihan ke “samping” pun tak ada. Semua, iya kesemuanya bercampur jadi satu rasa, katakan saja rasa tawar, seperti teh tanpa gula. Lucunya, ending konflik ini si katak sendiri yang harus tentukan. Ini semacam kebetulan, bukan pilihan.
Dalam situasi ini si katak mulai berpikir baik-baik. Setiap hari ia picingkan mata dan kerutkan kening. Akan tetapi, berapa lamapun ia berpikir ia hanya tahu satu hal bahwa konflik ini sulit untuk “selesai”. Kemudian ia mengasingkan diri, sendirian di dalam gua. Ternyata itupun tak membantu. Ia ganti mencari keramaian di pusat perbelanjaan ternama. Aduh, itu juga tak mengubah apapun.
“Mati aku!” keluh si katak putus asa.
“Tunggu dulu!” sambil terperanjat heboh ia lanjutkan monolognya.
Ia baru sadar bahwa inti permasalahan sebenarnya letaknya sangat dekat dengannya. Ketika dia mencari jawaban itu kemana pun, sebenarnya jawaban itu sudah ketemu tepat saat ia dihadapkan pada konflik ini. Ilustrasinya: si konflik datang bertamu, mengetuk pintu yang kemudian si katak buka. Di belakangnya si cantik jawaban muncul, tak terlihat karena terhalang oleh punggung si konflik. Ketiganya masuk, minum teh hangat, dan berbincang. Konflik lebih cerewet dan tentu saja si cantik jawaban adalah sosok yang pendiam. Beberapa jam: mereka tak perlu saling kenal untuk bicara ini itu.
Jawaban yang dicari si katak kemanapun, akhirnya disadari ada di dekatnya. Jawaban yang sekaligus inti permasalahan. Jawaban yang si katak harap mampu menerangkan gradien antara baik dan buruk. Jawaban yang akan mengakhiri semua konflik bedebah ini. Jawaban itu adalah: dirinya sendiri. Menyelesaikan masalah jadi sama artinya dengan menyelesaikan diri sendiri: mati.

Saya Sebut Si Sederhana Itu Ibu




“Hei, sepahit apapun, senyum itu indah”, kalimat sederhana dari mulut sederhana. Ia yang sederhana, ia yang merenda hari-hari kami hingga jadi jaring yang kuat. Ia yang memasang hiasan dinding dan membersihkan debunya setiap hari. Memang tak sempurna, tapi teduhnya melebihi randu, lebih dari rasamala, lebih dari apapun. Saya sebut si sederhana itu, Ibu.
Tiap pagi buta ia selalu bangun lebih awal dari yang lain. Seperti hari ini, ia bangun pukul 3 pagi. Diawalinya dengan sholat Tahajud, melafalkan Al Qur’an, dan sholat Subuh, kemudian langkah kecil membawanya bersiap untuk menjemput rejeki. Benar, ia bekerja. Ia berjualan pakaian di tempat yang jaraknya 4 jam dari rumah. Berangkat pagi pulang sore. Dengan bus kota ia sertakan harapan, terutama harapan kami.
Kami bodoh, setiap pulang bekerja sering kami lupa memasak air untuk ia mandi, lupa menyiapkan secangkir teh untuk penghangat badan, lupa untuk mencium tangannya, lupa untuk memijat pundaknya. Tapi aneh, ia tak lupa mendoakan anak-anaknya agar jadi orang yang berhasil. Saban hari, saban jam, saban menit, saban detik ia berdoa.
Saya paling ingat saat ia tersenyum simpul ketika saya bercerita. Ia menyimak dengan seksama, kata per kata. Saya akui, ia memang pendengar yang baik.
Saya juga ingat saat rautnya membiru saat saya tenggelamkan harapannya. Sambil menangis ia bilang, “apapun itu, asal kamu bahagia”.
Itu hanya sedikit dari pesonanya. Sulit dideskripsi, atau kertas ini tak muat sama sekali.
Sedikit titipan untuk ibu di seluruh dunia:



Saya Sebut Si Sederhana Itu IBU

Kau yang lunglai karena jaman
Kau yang kuat juga karena tahu seperti apa lunglai
Hei, tak apa-apa bersedih, tapi jangan larut
Wajah itu terlalu cantik untuk basah

Kau yang menanam ekaliptus di dada kami
Walaupun seringkali kami tebang sembarangan
Kau yang membuat kolam di jiwa kami
Sering kami lupa mengganti airnya

Tapi apa yang kau katakan?
“yang penting kamu bahagia, Nak”




P.S. Terima kasih untuk sarapannya setiap pagi, telponnya ketika saya telat pulang, terima kasih untuk semua